Sekalian, aku mau post cerpen terakhir yang berhasil kutulis.
Newest means better than the all before. Semoga yaaaa...
Walau tentu saja masih sangat amatir dan membutuhkan begitu banyak kritik, semoga bisa dinikmati.
So, enjoy! ;)
Yang Terpendam
Seseorang yang tengah duduk
di sebuah bangku pun berdiri. Tanpa berpikir lagi, aku bergegas mendekati bangku
yang sekarang sudah kosong itu, lalu langsung mendudukinya.
Entah beberapa saat kemudian,
lelaki yang kulihat mondar-mandir tadi pun duduk di sebuah bangku kosong
di sampingku saat penghuni bangku sebelumnya telah beranjak pergi.
Angin bertiup cukup kencang,
sehingga dedaunan kering diatas tanah bertiup beriringan ke arahku. Maksudku,
ke arah kami yang sedang duduk berdampingan. Kami tetap diam. Aku sibuk
memainkan tombol-tombol yang berbaris teratur di atas permukaan ponselku,
sedangkan dia hanya duduk termangu menatap dedaunan yang sudah berserakan
di sekitar kakinya.
“Ehem, mau ambil kiriman?” Sebuah
suara dari sisi kanan cukup membuatku terkejut.
Perlahan kuangkat wajahku, lalu
kutatap si pemilik suara tadi yang juga tengah menatapku, menunggu jawaban.
“Aku hanya menemani teman,”
jawabku, masih saling pandang.
“Menemani teman…” Ia mengulang
jawabanku sembari menoleh kedepan. Menghindari tatapanku.
“Iya. Kamu sendiri?” Aku pun
menanyakan hal yang sama, sekedar untuk berbasa-basi.
“Bukankah aku terlihat sendirian?
Tentu kiriman yang kutunggu adalah untukku.” Ia berkata tanpa sedikit pun
menoleh ke arahku. Hanya menatap nanar ke depan, ke kerumunan orang-orang yang
sedang mengambil barang atau kiriman milik mereka. Kami sedang berada di sebuah
tempat yang menyediakan jasa pengiriman barang, surat-surat, atau apapun yang
semacamnya.
Aku hanya terdiam menyimak
jawabannya yang benar-benar langsung menuju ke sebuah tanda baca yang tidak
bisa dibantah lagi; titik. Aku tidak tahu lagi harus berkata apa setelah itu.
Maka aku hanya terdiam.
“Sudah dua bulan ini aku
menunggunya. Tapi, mereka tak kunjung mengirimkannya ke alamatku. Maka aku
berniat untuk mengambilnya saja sendiri.” Ia berkata-kata lagi.
“Temanku saja, sudah menunggu
kiriman itu lima bulan lamanya.”
“Dimanakah letak kesalahannya? Si
pengirirm, atau jasa pengriman ini?”
“Entahlah.”
“Aku Aaron,” katanya pelan.
Bahkan tanpa menatapku. Sepertinya, ia adalah tipe orang yang tidak suka
menatap lawan bicaranya ketika sedang berbicara. Itu tidak sopan, bukan?
“Evyta.” Aku pun menyebutkan
namaku tanpa menoleh ke arahnya yang beberapa detik setelah itu bangkit dari
tempat ia duduk.
Brak!!!
“I’m sorry,” kata lelaki yang mengaku bernama Aaron tadi, setelah
berhasil melempar keras tubuhnya ke arah seorang perempuan yang berjalan dari
arah berlawanan dengannya. Ia hanya berkata ‘maaf’ lalu berlalu begitu saja.
Aku menyimak semuanya dalam tawa yang tak bisa kutahan lagi. Wajah perempuan
itu terlihat bingung bercampur kaget. Sangat lucu!
“Sakit, Mei?” tanyaku saat Meisa,
sahabatku, sudah duduk disampingku.
“Iya sih. Tapi, satu kata maafnya tadi sangat keren.” Meisa menerawang.
“Keren apanya?”
“Itu berarti, dia adalah
laki-laki yang keren. Begitu saja kamu nggak
mengerti.”
“Kamu terlalu banyak menonton
film, Mei.” Aku tidak menghiraukannya lagi.
*
Pepohonan rindang,
bercabang-cabang, hijau, tinggi, menyejukkan, tergambar jelas didepan
penglihatanku. Sungguh sebuah pemandangan yang indah. Begitu pun dengan
rerumputan hijau yang membentang sejauh mata memandang. Anak-anak yang
berlarian riang gembira, para orangtua yang bermain-main dengan anak-anak
mereka, begitu menyenangkan melihat itu semua.
Hal semacam itulah yang kerap
terjadi ditaman berukuran sangat besar ini dikala akhir pekan menyergap.
Suasana ramai namun menenangkan. Aku sangat suka melihat anak-anak. Tawa
mereka, kegembiraan tanpa tara yang terpancar dari raut wajah tak berdosa itu,
dan masih banyak lagi hal menakjubkan yang sangat kukagumi dari seorang anak
kecil.
“Aku punya adik. Dia adalah
saudara satu-satunya milikku.”
“Benarkah? Apa kalian sangat
dekat?”
“Benar-benar dekat. Mungkin
karena dia seorang laki-laki, dan usia kami nggak
jauh berbeda.”
Iya. Dia adalah Aaron. Seseorang
yang tengah melakukan perbincangan denganku. Kami sengaja memilih taman ini
untuk bertemu setelah waktu itu Aaron berhasil mendapatkan nomor pin blackberry-ku dengan mudahnya. Aku yang
memberikan saat ia memintanya. Maka sejak saat itu, kami sering melakukan
perbincangan singkat via blackberry
messenger, sebelum memutuskan untuk bertemu lagi. Katanya, ia jatuh cinta
dengan sebuah tatapan dihari perkenalan kita. Tatapan itulah yang mengantarnya
berada disini untuk menemuiku hari ini.
“Berbeda berapa tahun?”
“Dua tahun. Sekarang aku tengah
bekerja di sebuah perusahaan advertising
setelah lulus kuliah setahun yang lalu. Dan adikku, dia tengah berkuliah
sekarang.”
“Oh, begitu.” Hanya itulah
kata-kata yang mampu kukatakan saat ini.
“Dia orang yang sangat hebat.
Maksudku, aku menyukai perilakunya, sifatnya, cara dia mengambil keputusan…
Lucu bukan? Aku mengagumi adikku sendiri.”
“Semenyenangkan itukah adikmu?”
“Begitulah.”
*
“Liatin apa sih? Liatin cowok terus nih kerjaannya.” Meisa membuyarkan
lamunanku.
“Enak aja!” Aku langsung saja membantahnya.
Suara riuh terdengar dari sudut
demi sudut ruangan kelas yang berukuran persegi panjang ini. Para mahasiswa dan
mahasiswi yang lalu lalang, berteriak, tertawa, semua dapat terdengar jelas
disini.
“Aku seneng banget deh, Vyt. Makasih, ya,” kata Meisa
sembari merangkulku pelan. Aku sangat mengerti dengan apa yang tengah
membuatnya terbang melayang diawan-awan.
Berbeda denganku, yang entah
kapan akan mendengarkan sebuah kata itu dari mulutnya. Berangan setiap hari,
memikirkannya sepanjang hari, membayangkan setiap sisi dari raut wajahnya
sepanjang waktu yang kupunya, bahkan saat aku terlelap sekalipun.
Garis-garis wajah itu selalu saja
datang menyapa. Sapaan lembutnya membuat hatiku mencair seperti sebongkah es di
kutub utara. Perlahan, tapi pasti.
Rasanya mustahil aku dapat
menahan gejolak didada ini ketika saling menatap dengannya. Kita bercerita, tapi hanya itu. Tidak ada yang lain. Membuatku seperti
terombang-ambing dilautan lepas tanpa arah dan tujuan. Hanya menunggu kapal
yang lewat dan sudi untuk mengangkatku.
Semua terasa serba salah. Maju,
mundur, diam, aku tidak tahu harus memilih yang mana. Karena apapun yang aku
pilih, aku tidak akan mendapatkan apa-apa. Aku hanya akan tetap berada,
terapung, dilautan lepas yang entah dimana ujungnya. Tak berujung.
“Kenapa terus menatapku?” tanyaku
pada Jupiter, saat aku menyadari bahwa Meisa sudah tak berada di sampingku lagi,
melainkan Jupiter yang menatapku pekat dari jarak yang tidak begitu jauh di depan.
“Ah, enggak,” jawab Jupiter seadanya dengan wajah terkejut.
“Kenapa sih, Pit?” Aku pun berjalan mendekat kearah Jupiter.
“Nggak apa-apa, Vyt. Kamu aja
yang melamun dari tadi.”
“Melamun apa?” Aku tersenyum
malu. Aku benar-benar mengerti dengan hobi anehku yang satu itu. “Jangan
sering-sering memperhatikanku. Nanti kamu suka lagi,” kataku, bercanda.
Jupiter hanya tersenyum tipis.
*
“Kamu mengerti, kan, Evyta? Hal
itu sangat membuatku terganggu.” Aaron sedang bermain-main dengan tombol-tombol
di laptop-nya sembari menyampaikan
berbagai kata-kata terhadapku yang sedang asyik dengan makananku.
“Hahahaha, aku benar-benar
mengerti,” kataku yang terus saja terfokus pada makanan kesukaanku di atas meja.
“Sebentar lagi dia kesini lho!”
“Kenapa nggak datang sama-sama aja
sih?”
“Aku kan
langsung dari kantor.”
“Hei,” kata
sebuah suara yang benar-benar ditunggu-tunggu olehku dan Aaron.
Pemilik suara dengan badan tegap
dan cukup tinggi itu berdiri tepat disamping Aaron, agak menghadap kearahku
yang tengah mengunyah makanan. Ia adalah seorang laki-laki yang membuat kedua
bola mata ini hampir meloncat keluar, juga membuat aku menelan makananku
sesegera mungkin tanpa cukup lama mengunyahnya
“Ah, Dek,
ini Evyta, yang sering aku ceritakan. Tampak luar biasa, bukan?”
Aku dan
laki-laki yang katanya adalah adik dari Aaron hanya saling melempar pandangan.
Hanya saling menatap dalam diam. Terus menatap, dan terus saling menatap.
“Pit, jadi
kamu seorang adik luar biasa yang sering diceritakan Aaron itu?” Aku mulai
membuka mulutku, mengucapkan kata demi kata yang berbaris rapi untuk keluar
secara beraturan lewat mulut ini.
“Ternyata
benar-benar kamu, ya, Vyt. Aku sempat melihat foto kalian berdua di ponsel
Aaron. Aku pikir, hanya mirip. Ternyata itu memang kamu,” jelas Jupiter.
Jupiter
masih tetap berdiri tanpa berniat untuk menduduki bangku kosong yang ada. Aaron
hanya sibuk mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi didepan matanya. Teman dan
adiknya yang ternyata sudah saling mengenal, atau apa.
“Ah, iya.
Aku sudah cukup mengenal kakakmu. Dia berbicara banyak tentangmu. Tapi aku nggak pernah sedikitpun terpikirkan
kalau yang Aaron maksud itu kamu.” Aku berbicara sambil sesekali menyisipkan
senyuman tipis dari bibir ini.
“Tak
kusangka kalian sudah saling mengenal,” kata Aaron setelah berhasil
menyimpulkan sesuatu.
“Iya, Aar.
Jadi, aku ternyata sekelas di kampus sama Piter.”
Aku tidak suka namanya yang
begitu panjang. Aku tidak suka namanya yang mempunyai tiga ketukan itu, seperti
namaku. Aku lebih suka mencari nama pendeknya agar terdengar lebih akrab. Dan
karena Jupiter membiarkannya, aku terus saja hanya memanggilnya ‘Piter'.
Jupiter sudah memutuskan untuk
menduduki bangku yang tidak menghadap kearahku, juga tidak menghadap kearah
Aaron. Ia duduk menghadap ke orang-orang yang datang berkerumun sambil
menyantap makan siang mereka bersama-sama.
“Baguslah.
Itu lebih baik, bukan?” kata Aaron.
“Kakakku
orang baik. Kamu pasti bahagia bersamanya,” kata Jupiter.
Jupiter
yang dikenal sangat pendiam, bahkan lebih pendiam dari dinding yang tak kunjung
berpindah dari tempatnya, hari ini cukup berbicara banyak. Berbicara hal-hal
baik mengenai Aaron, kakaknya. Sekarang, aku bisa menyimpulkan kalau mereka
saling mengagumi satu sama lain. Itu sangat jarang sekali terjadi. Sangat
jarang sekali ada kakak-beradik yang sangat saling mengagumi seperti Aaron dan
Jupiter. Itu artinya, mereka saling mengerti satu sama lain. Mereka saling
menyayangi.
“Maksud
kamu apa, sih?” kata Aaron yang
tersipu.
Jupiter pun
tak jarang mengeluarkan senyuman mahalnya. Iya, senyuman Jupiter memang sangat
mahal harganya. Aku, kami dikelas, harus menunggu saat-saat paling baik untuk
dapat melihat Jupiter menyunggingkan bibir tipisnya. Ia sangat jarang
mengeluarkan senyum, bahkan berbicara.
*
“Aku sangat
suka melihatmu dan Aaron saat sedang berbicara. Kalian hanya saling mengagumi
satu sama lain.”
“Akulah
yang mengaguminya. Bukan sebaliknya,” kata Jupiter.
“Bukan itu
yang aku lihat. Kalian terlihat sangat saling mengagumi. Kalian terlihat saling
mernyayangi. Itu hal luar biasa menurutku.”
“Untuk apa
kamu duduk disitu dan ingin berbicara panjang lebar denganku?”
“Apa itu
salah? Aku hanya ingin berbicara denganmu.”
“Untuk apa?”
“Haruskah punya alasan untuk hanya sekedar berbicara dengan seorang teman?”
“Untuk apa?”
“Haruskah punya alasan untuk hanya sekedar berbicara dengan seorang teman?”
“Kalau menurutmu aku dan Aaron
saling menyayangi, seharusnya kamu mengerti.”
“Aku nggak mengerti apa yang sedang kamu bicarakan.”
“Aku nggak mengerti apa yang sedang kamu bicarakan.”
“Aku yakin kamu mengerti.”
“Kenapa? Kamu menyukaiku? Kamu
cemburu terhadap Aaron?!”
Jupiter terdiam. Cukup lama. Aku terus menunggunya untuk mengeluarkan suara lagi.
Jupiter terdiam. Cukup lama. Aku terus menunggunya untuk mengeluarkan suara lagi.
“Kamu nggak berhak mengatakan hal tadi.” Jupiter menatapku lekat sebelum
akhirnya membuang tatapannya kearah lain.
“Lalu kenapa?!”
“Pergilah! Jangan berbicara
padaku lagi. Jangan pernah melakukannya lagi.”
Tidakkah ia tahu? Tidakkah
Jupiter tahu bahwa kalimat yang baru saja ia ucapkan mampu membuatku ingin
merontah kesakitan? Tidakkah ia mengerti betapa bahagianya aku saat mengetahui
bahwa ia adalah adik yang sangat dibanggakan Aaron? Tidakkah ia memikirkan perasaanku?
Perasaan yang belum pernah sekalipun
perpindah dari dirinya semenjak beberapa tahun yang kita jalani sebagai classmate? Tidakkah ia tahu apa yang
baru saja ia lakukan padaku? Pada hatiku?
*
Aku ingin semuanya jelas hari ini. Temui
aku ditaman waktu itu sekarang juga.
Begitulah isi pesan singkat yang
baru saja di kirim Aaron ke ponselku.
Maka aku bergegas pergi ke tempat
yang dijanjikan Aaron dalam pesan singkat itu.
Setelah aku menghentikan sebuah
taksi yang berhasil membawaku kemari, aku berjalan menuju bangku taman yang
menjadi favoritku dan Aaron.
Disana telah ada Aaron yang duduk
termangu bersama seorang laki-laki yang begitu akrab dalam ingatanku. Mereka
sedang duduk membelakangiku.
“Hey,” sapaku pelan.
Mereka berdua berdiri beriringan menyambutku.
Entah hanya beberapa detik
berlalu, yang hanya kita lalui dengan diam dan saling pandang, seorang
perempuan datang mendekat kearah kami, berdiri disamping kananku dengan satu
lengan yang merangkul akrab diatas pundakku.
Perlahan Aaron meraih lengan
perempuan itu yang kemudian berjalan mendekati Aaron.
“She’s what we’ve been talking about along the time. Me and Evyta.”
“Jadi, aku berbicara tentangmu
pada Evyta untuk berterima kasih karena apa yang telah Evyta lakukan untukku
dan Meisa.” Lanjut Aaron setelah terhenti beberapa detik.
Meisa tersenyum menatap Jupiter
yang juga sangat akrab dengannya itu. Aku tidak tahu harus menunjukkan ekpresi
macam apa di saat seperti ini. Aaron hanya terus berbicara. Terus meluruskan
semua yang terjadi.
“Menurutku, Evyta sangat baik
untuk adik terbaikku. Maka aku berniat untuk mengenalkan kalian. Tapi ternyata,
Tuhan telah lebih dulu memperkenalkan kalian satu sama lain,” sambung Aaron.
“Begitukah?” Akhirnya Jupiter
mengeluarkan suaranya.
“Aku mencintai Meisa. Hanya
mencintai Meisa. Aku jatuh cinta pada sebuah tatapan yang mendekapku lembut
waktu itu. Sebuah tatapan yang membuatku tak dapat bekata lebih banyak lagi
selain satu kata ‘maaf’. Tatapan yang mengantarku sering sekali bertemu dengan
Evyta, sahabat si pemilik tatapan itu.”
Entah apa yang terjadi
di kedalaman hatiku saat ini, aku hanya mampu mengeluarkan sebuah senyuman
termanis sembari menatap Jupiter, mimpiku.
Jupiter melakukan hal yang sama.
Melesakkan senyuman khas miliknya dengan mata yang tak sekalipun terlepas dari
kedua mataku.
(((CERPEN)))