Alexandria Anastasia. Begitulah kedua orang tua tercinta menamaiku. Sungguh indah, bukan? Terus-menerus aku mengagumi nama yang ku miliki itu, kala masa remaja mulai menyentuh kehidupanku. Kata Mama,
sih, aku dilahirkan di Alexandria, salah satu kota besar di Mesir saat Ayah dipindahtugaskan ke sana selama 2 tahun, tepat di tahun pertama Ayah menikahi Mama. Betapa cemerlangnya pula alasan pemberian nama itu, bukan?
Masa-masa remaja pun berlalu dengan indahnya. Aku berhasil merasakan cinta dari semua orang yang benar-benar tulus mencintaiku. Namun, hanya ada dua cinta yang masih bertahan sampai sekarang, saat aku tengah duduk di bangku kuliah. Cinta dari Ayah dan Mama, serta cinta dari dua orang sahabatku, Milita dan Sevia. Walau kami bertiga telah memilih jalan hidup kami masing-masing, persahabatan itu masih saja terjalin manis hingga saat ini. Milita meneruskan pendidikannya di Fakultas Kedokteran. Sevia, sekarang tengah menekuni bisnis keluarga mereka, yaitu
Bakerry shop. Aku sendiri, sekarang tengah berkuliah di Fakultas Teknik, Jurusan Informatika di Kota ini. Aku memilih jurusan itu hanya karena satu hal; aku menjadikannya sebuah mimpi yang akan kujadikan nyata di masa depan.
“
Mbak, minta sendok sama garpunya,
dong!” kataku pada seorang pelayan saat aku, Milita dan Sevia berhasil bertemu hanya untuk sekedar menghabiskan akhir pekan yang sungguh mahal harganya. Jumat, Sabtu dan Minggu. Hanya 3 hari dalam seminggu aku bisa menghilangkan penat. Hanya 3 hari dalam seminggu aku bisa benar-benar merasa santai. Hanya 3 hari dalam seminggu, kami bisa bertemu. Kecuali, saat tugas mulai mengurungku hanya dalam sebuah ruang berbentuk persegi; kamarku sendiri.
“Itu, di tempat sendok masih ada,
Mbak,” jawab si pelayan.
“Iya.. itu tinggal sendok, kan? Aku juga butuh garpu!” Aku bersihkeras.
“Lex, lihat,
nih,
ya,” kata Milita sembari membuka
tissue yang melilit garpu dan sendok bersamaan. “Jangan bikin malu,
deh!” tambah Milita. Sevia menggeleng-gelengkan kepalanya.
Mbak pelayan pun berlalu.
Aku tersipu malu. Pipiku memanas, dan seketika itu berubah kemerahan. Aku tidak menyangka kalau garpu dan sendok dibungkus secara bersamaan dengan satu helai
tissue.
“Ya, jangan
gitu, lah, Mil. Aku, kan, malu sama
Mbak-Mbak yang tadi,”
“
Lah, habis
gimana? Kamu jadi kayak asal
nuduh tahu,
nggak!”
Seperti itulah Milita. Ia tidak pernah berpikir betapa malunya orang yang katanya adalah sahabatnya saat Ia mulai berulah. Sevia pun tidak kalah menyebalkannya. Bahkan Sevia pernah mengomentari
style-ku dengan begitu terbukanya di depan banyak orang. Waktu itu, aku memang sedang terburu-buru. Maka aku hanya mengambil secara acak bajuku di lemari dan mengenakannya. Tak kusangka, warna baju dan
jeans yang aku kenakan saat itu sangat tidak cocok. Tapi apakah tidak bisa Sevia membisikkannya saja padaku, tanpa diketahui oleh orang lain di sekitar kita?
Entah mengapa, apapun yang mereka lakukan, aku masih saja sangat menyayangi mereka seperti terhadap saudara-saudara perempuanku sendiri. Namun, semuanya bukanlah tanpa alasan, karena mereka adalah orang-orang yang selalu ada untukku, apapun yang terjadi. Mereka adalah orang-orang yang membagi tawa denganku tanpa ragu, mereka tidak akan bersenang-senang dan melakukan hal-hal bodoh tanpaku. Kami telah melalui banyak sekali cerita bersama. Dan aku tidak akan pernah menemukan alasan untuk meninggalkan mereka. Mungkin saja mereka melakukan hal semacam itu agar aku segera sadar atas kebodohanku sendiri yang kurang teliti.
*
“
Kok nggak kasih tau dari tadi,
sih? Aku, kan, malu sama orang-orang yang ketawa tadi,” kataku pada Radisa, salah seorang temanku.
“Aku
nggak enak juga,
sih, mau kasih tahu kamu,” Radisa agak takut.
“Tapi, kan, sekarang aku lebih malu lagi. Karena orang-orang ketawa
nfeliat restletting belakang aku
kebuka, dan kamu yang dari tadi tahu dan ada di dekat aku, malah diam
aja.”
“Aku
nggak enak kalau aku bilang tadi, kamu pasti malu
banget.”
“Mendingan mana sama sekarang? Satu koridor
udah lihat tadi. Kalo dari awal kamu kasih tahu, aku
nggak bakal semalu ini.”
Aku benar-benar kecewa terhadap Radisa. Ia sudah tahu sejak awal kalau terjadi sesuatu yang akan membuatku malu, namun ia tidak menyampaikannya segera. Sekarang, aku benar-benar malu.
Aku menjadi serba salah. Aku tidak suka dengan Milita dan Sevia yang terlalu jujur dan terbuka, tapi aku juga tidak suka dengan Radisa, yang karena tidak enak hati, Ia tidak bersikap jujur dan terbuka. Entah kesalahannya berada di mana. Pada diri mereka dengan pemikiran yang mereka anut masing-masing, atau pada diriku yang belum bisa mengerti mana yang sebenarnya baik untukku.
Namun dari semua hal itu, aku banyak belajar. Semua hal yang terjadi padaku, pada kehidupanku, tergantung dari beberapa faktor. Faktor dari luar, dan faktor dari dalam. Faktor dari luarnya adalah orang-orang yang berlaku sesuai dengan pemikiran mereka masing-masing terhadapku, yang akan berdampak pada kehidupanku, dan faktor dari dalamnya adalah bagaimana aku bereaksi terhadap faktor-faktor dari luar itu sendiri.
Sekarang, hanya ada satu orang yang akan memperbaikinya, yaitu diriku sendiri. Hanya diri ini yang pantas memilih jalinan persahabatan macam apa yang diinginkannya.
All the choice, is on my hand.
I dedicated this story for my dear friend, ayu's short movie assignment. So I hope the best for your assignment's score :)))
(((CERPEN)))