Kilau mentari senja itu, cukup
menyilaukan mata. Maka ku raih tas tanganku dan ku letakkan tepat di samping
kepalaku yang terkena seberkas sinar matahari. Sebentar lagi, mentari akan
benar-benar terbenam. Mengubah siang yang cerah binar menjadi malam yang gelap
berbalut bintang-bintang dan sebuah pencahayaan terang mempesona yang disebut
bulan.
Warna mentari saat senja sungguh
indah. Lebih indah dari kerlap-kerlip lampu kota di malam hari, juga lebih
cantik dari paras kecil, imut dan menggemaskan milik boneka Barbie.
Keindahannya mampu mengguncang ketenangan jiwaku. Aku sungguh menyukainya.
Menyukai warna oranye pada mentari yang mulai terbenam serta suasana yang
nyaman yang selalu kurasakan kala menikmatinya.
Aku tiba tepat waktu. Saat
mentari benar-benar akan menghilang dan membiarkan para bintang-gemintang
menggantikan pekerjaannya menerangi bumi. Kumasuki kafe yang terletak tepat
menghadap pantai yang luar biasa indahnya saat senja. Sinarnya khusus terpapar
pada kafe ini dan beberapa macam tempat yang berbaris indah di kiri dan kanan
kafe. Ada florist shop, sport shop, dan masih banyak lagi.
Semuanya berbaris indah menghadap lautan lepas.
Bibir pantai terlihat indah dan
menawan dengan banyak orang yang duduk menatap ke mentari yang hanya sebentar
lagi akan terbenam itu. Semua orang menikmatinya. Menikmati suasana
menyenangkan serta menenangkan yang terjadi setiap senja.
Senja adalah salah satu
favoritku. Merupakan salah satu duniaku. Dunia yang nyaman untuk tempat
kumenetap sepanjang waktu. Menghabiskan seluruh kisah terindahku dengan
orang-orang yang ku sayangi.
Cepat-cepat kukeluarkan sketchbook dari dalam tas, beserta
pensil kesayanganku. Maka ku mulai membuat guratan-guratan indah dengan objek
luar biasa yang terbentang di depan mataku. Para orang-orang yang bersantai di bibir
pantai, menunggu mentari terbenam. Aku tersenyum sepanjang melakukan
kegiatanku.
Hal yang rutin ku lakukan pada hari libur. Aku datang ke kafe ini
saat senja, lalu membiarkan jari-jemari melakukan hobiku sejak kecil ini; menggambar.
Menggambar memang adalah hobiku.
Tetapi aku belum pernah berani mencoba untuk melakukannya pada kanvas putih.
Aku belum mampu. Atau mungkin, takut kalau mendapatkan hasil yang buruk. Semua
keluarga dan teman-teman selalu memintaku untuk melakukannya. Tapi aku masih
belum bisa. Entah kapan aku akan mulai membuka diriku untuk melakukan hal itu.
Untuk sedikit melangkah kedepan.
Dimanapun, kapanpun, dalam
keadaan apapun, jikala ide menyusup masuk ke kepalaku, aku akan langsung menuangkannya
pada sketchbook-ku tersayang. Dan
tempat ini, kafe ini, adalah yang menjadi favoritku. Tempat ini begitu nyaman
dan indah. Bagai memancing semua kemampuan menggambarku untuk dapat ku tuangkan.
Sangat banyak ide yang bisa ku temukan ditempat ini. Apalagi pantai yang
terbentang luas di depan mata, mempunya ribuan, jutaan, bahkan miliaran ide
yang tersimpan rapi dan sesegera mungkin menyergap relung hatiku yang langsung
saja merasa bahagia dan ingin sekali menggambar.
Hari ini
tidak seperti biasanya. Ada suatu hal yang menyusup masuk ke dalam relung
hatiku. Bukan sebuah ide untuk menggambar. Tapi… hal itu sangat indah. Sangat
pekat terasa di kedalaman hati. Menyentil kecil pada relung hati, dan seketika
itu juga jantungku memompa dengan kecepatan diatas rata-rata. Cepat sekali.
Membuat seluruh tingkahku menjadi aneh dan kacau.
Objek mengagumkan itu berada
tepat di depan mataku. Memberi senyuman hangat pada seorang teman yang kemudian
berlalu. Ia memesan sesuatu pada seorang pelayan kafe. Dengan mata sayu yang
berbinar dan senyum manis yang terlukis jelas diwajahnya. Tanpa sadar, aku
membuka lembar berikut dari sketchbook-ku
yang masih kosong. Tanpa terasa pula, hatiku yang menggambar objek indah itu
diatas sketchbook-ku. Bukan tanganku
lagi yang melakukannya, melainkan hatiku.
Mataku mulai menekuri satu per
satu keindahan yang tergambar jelas disana tanpa sedikitpun memalingkan wajah.
Indah sekali. Sekarang ia disibukkan dengan sebuah kamera Digital Single Lens Reflex atau yang kita kenal dengan kamera DSLR
yang menggantung mantap di lehernya.
Aku belum pernah melihatnya
disini. Entah sudah berapa kali aku datang ke tempat ini selama 6 bulan
terakhir, dan baru hari ini aku diperkenalkan dengan seorang lelaki berparas
malikat super tampan yang berada tepat di depan mataku sekarang.
*
“Permisi,” kata sebuah suara yang
cukup menggangguku yang sedang asik-asiknya menggambar.
Aku sedikit menoleh, “Iya?”
tanyaku sembari coba mengenali wajah seseorang yang berdiri di samping tempat
aku duduk.
“Boleh aku duduk disini? Tempatnya
penuh semua. Sebentar aja, kok. Aku hanya perlu mengedit beberapa
foto.”
“Silahkan.” Tidak salah lagi! Dia
adalah laki-laki kemarin. Lelaki yang kusebut berparas malaikat itu.
Bagaimana ini? Jantungku saling
berpacu lagi dengan aliran darah yang mengucur deras di dalam tubuh. Apakah ini
adalah cara Tuhan untuk mendekatkan kami? Ah, terima kasih, Tuhan. Engkau maha
baik.
“Aku Razy,” kata lelaki berparas malaikat itu
sembari mengulurkan tangan kanannya untuk ku jabat.
“Arizah,” kataku sembari
menyebutkan namaku dan menjabat tangan dinginnya.
“Kamu sedang apa?”
“Menggambar.”
“Wah, hobi kita hampir sama, loh! Kamu menuangkan objek indah yang
kamu lihat dalam sebuah sketchbook,
sedangkan aku, dengan menggunakan sebuah kamera.”
“Oh, iya. Kemarin aku sempat
lihat kamu. Dan tanpa lupa membawa kamera itu.”
Razy hanya tersenyum lalu kembali
memberikan seluruh perhatiannya pada sebuah laptop yang duduk manis di depannya.
“Ah, aku pergi duluan, ya,
Arizah.” Razy menyebutkan namaku dengan sedikit keraguan. Mungkin dia cukup
melupakan nama yang ku sebutkan tadi.
Razy lalu berlalu dengan cepatnya
setelah berpamitan padaku. Tapi, rasanya aku masih belum mau berpisah
dengannya. Mengapa peristiwa yang selalu ku tunggu-tunggu sejak pertemuan
pertama kami kemarin, berlalu dengan begitu cepatnya? Aku masih sangat dibuat
penasaran oleh lelaki berparas malaikat bernama Razy itu.
Seakan seluruh alam semesta
meminta, menyuruh, mengharuskanku untuk bangkit dan pergi mengejar Razy. Untuk
mengetahui apa yang membuat Razy harus pergi terburu-buru. Maka aku bangkit
dari tempat dudukku, mengabaikan keindahan senja yang masih bisa ku rasakan dalam
beberapa menit lagi, lalu berlari menaiki sebuah taksi dan mengejar motor Razy
yang berlalu begitu cepat.
Entah berapa lama, motor Razy
berhenti di sebuah perkampungan kumuh. Banyak anak-anak dengan pakaian ‘seadanya’
berlarian riang kesana-kemari. Sangat menyentuh relung hatiku yang membuat mata
ini mulai berkaca-kaca. Aku memutuskan untuk tidak keluar dari taksi.
Sepertinya, aku bisa walau hanya menyaksikan apapun yang dilakukan Razy dari
balik kaca jendela taksi.
Razy memasuki sebuah rumah lalu
keluar dengan dua orang anak, laki-laki dan perempuan yang terlihat luar biasa
bahagianya. Mereka duduk di depan rumah yang baru saja Razy masuki. Keduanya
tertawa gembira saat Razy menunjukkan sesuatu dalam kameranya. Beberapa saat
kemudian, seorang gadis berparas cantik dan lembut keluar dengan baki yang
berisi cangkir seadanya yang lalu diberikannya pada Razy. Razy menyambutnya
dengan sebuah senyuman lalu menyesapnya perlahan. Gadis yang kira-kira seumuran
denganku itu lalu duduk di samping Razy. Mereka berdua dikelilingi oleh kedua
anak kecil tadi. Seperti sebuah keluarga yang sangat bahagia. Tapi aku yakin
seratus persen mereka bukanlah sebuah keluarga. Karena kedua anak disamping
merekapun lebih pantas disebut adik-adik mereka daripada anak.
Tatapan Razy berbeda terhadap
perempuan itu. Tatapan yang penuh arti. Apakah perempuan itu adalah kekasihnya?
Entahlah. Tapi bagaimana bisa mereka saling berkenalan? Kepalaku kacau.
Kepalaku pusing. Aku tidak tahu lagi mana yang benar dan mana yang salah.
Kepalaku hanya bisa sibuk mengira-ngira tanpa tahu kebenarannya.
*
“Hey!” teriak Razy saat baru saja
tiba dan langsung menduduki bangku di sampingku.
“Razy? Habis motret lagi?” tanyaku.
“Iya dong!” kata Razy dengan semangat sembari mengarahkan lensa
kameranya ke arahku dan, “krik,” Razy memotretku.
“Apa, sih? Bilang-bilang dulu dong
kalau mau foto. Kan biar bisa gaya dulu,” kataku cemberut.
“Ngapain gaya? Kamu punya bentuk wajah yang bagus, tau! Apalagi dagu runcing kamu, tuh. Nge-gemesin
banget…” Razy mencubit daguku. Aku
tersipu malu.
“Bohong banget sih. Pasti
kata-katanya sama deh yang di bilang
kesemua cewek,” kataku, mencoba bercanda.
“Ih, dibilangin juga! Beneran,
beneran. Wajah kamu tuh bagus banget buat jadi objek foto. Mau kamu
kasih lihat muka kayak gimana juga, tetep
bagus hasil fotonya.” Razy berkata jujur.
Aku semakin tersipu malu. Bahkan
lelaki berparas malaikat yang kukagumipun, mengagumi wajahku. Bagaimana ini?
Benarkah dia yang Kau sediakan untukku, Tuhan?
“Kamu mau ikut aku, nggak?” tanya Razy yang masih saja sibuk
dengan kamera kesayangannya .
“Ikut kemana?”
“Suatu tempat,”
“Okay,”
Akupun menaiki motor besar milik
Razy yang seketika itu melaju kencang. Angin bertiup lebih kencang lagi.
Membuat rambut panjang yang kugerai melayang kemana-mana, menutupi wajahku.
Aroma khas lelaki tercium pekat dihidungku. Aku menikmatinya.
“Tempat apa ini, Raz?” tanyaku
saat Razy menghentikan dan memarkir motornya. Ini adalah tempat waktu itu.
Tempat yang dikunjungi Razy waktu itu. Pemukiman kumuh ini. Mengapa Razy
mengajakku ke tempat ini? Untuk memperkenalkan dunianya padaku? Sesuatu yang ia
senangi? Ia akan membaginya denganku?
“Mungkin rasa peduliku terhadap
sekitar yang mengantarku pertama kali ke tempat ini dua tahun yang lalu.” Razy
menerawang.
“Kamu punya jiwa sosial yang
tinggi, ya,”
“Nggak juga. Aku hanya merasa sedikit lebih beruntung dari mereka.
Dan tidak sanggup hidup di atas segala keberuntungan yang aku punya, sedangkan
masih banyak orang seperti mereka di sekelilingku. Rumahku tepat berada dibalik
pemukiman ini. Sebuah perumahan real
estate yang dibanggakan orang-orang yang hanya mementingkan diri mereka
sendiri.”
Aku hanya mencoba mendengarkan
Razy sebaik mungkin tanpa mengalihkan penglihatanku dari paras malaikat yang
dimiliki Razy itu.
“Ayo, aku perkenalkan dengan
sebuah keluarga yang sudah sangat akrab denganku.” Razy lalu berjalan lurus
menuju rumah yang ia masukki waktu itu. Aku mengikutinya dari belakang.
Razy langsung saja disambut oleh
kedua anak-anak yang ku lihat waktu itu.
“Mas Razy. Selamat sore,” kata
suara lembut milik perempuan yang ku lihat pula waktu itu. Razy tersenyum
menatap si pemilik suara lembut tadi sembari mengelus pundaknya.
“Riz, kenalin. Ini Karina, dan
anak-anak kecil yang lucu-lucu ini Fahra dan Fahri, adik-adik Karina. Mereka
berdua kembar.” Razy memperkenalkan semuanya padaku. Akupun menjabat tangan
mereka satu per satu. Entah perempuan macam apa yang ada di hadapanku saat ini,
yang katanya bernama Karina, sungguh mengeluarkan karisma luar biasa saat
matanya menatapku. Aku bahkan bisa merasakannya saat ia menyebutkan namanya dan
tersenyum manis kepadaku. Aku merasa sudah sangat dekat dengan perempuan yang
memiliki tingkat keramahan di atas rata-rata ini. Ramah sekali… dan sopan.
“Mereka nggak punya orangtua lagi. Karina yang menjadi tulang-punggung
keluarga ini. Karina mau bekerja dimana saja, menjadi apa saja, asalkan halal.
Ia bahkan pernah bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Karina sangat bertanggungjawab
pada keluarganya. Pada kedua adik-adiknya ini,” jelas Razy.
Kami semua duduk dilantai yang
beralaskan tanah. Razy tidak merasa risih sedikitpun. Ia seperti menikmati
semuanya. Tertawa bahagia sembari bergurau dengan Fahra dan Fahri yang juga tertawa
gembira. Karina hanya terus melesakkan senyum manisnya. Benar-benar terlihat
seperti sebuah keluarga. Sebuah keluarga yang bahagia.
Aku mencoba membangun percakapan
dengan Karina yang bisa langsung nyambung.
Karina benar-benar perempuan cerdas. Apakah perempuan seperti ini yang disukai
Razy? Tidak. Aku tidak boleh membuat kesimpulan apapun. Tadi saja Razy tidak
memperkenalkan Karina sebagai siapapun apalagi pacarnya. Jadi, tidak mungkin.
Seandainya saja Karina adalah
seorang wanita paruh baya, orang tua dari Fahra dan Fahri, aku tidak akan
mungkin sekhawatir ini. Entah kapan aku
mampu membongkar seluruh rasa cinta yang kupunya terhadap Razy, batinku.
*
Hari ini benar-benar ku habiskan
bersama Razy, lelaki berparas malaikat itu. Aku diajaknya berfoto-foto di pantai,
ia memintaku untuk melukiskan wajahnya, kami berbagi hobi yang kami punya sore
tadi. Aku benar-benar merasa senang. Aku merasakan secercah kebahagiaan yang
diberikan Razy. Tapi, apakah Razy merasakan kebahagiaan yang sama denganku? Tentu
saja! Aku tahu benar kalau Razy sangat menikmati hari ini. Begitupun aku. Belum
pernah ada hari semacam ini di dalam hidupku. Biasanya orang-orang yang sudah
‘ber-label’ pacarkulah yang menghabiskan hari semacam ini bersamaku. Belum
pernah ada lelaki asing, berparas malaikat, membuat kata-kataku meghilang
seketika, dan entah kapan akan memaksaku memberikan ‘label’ pacar pada dirinya,
yang menjadi teman dihari semacam ini bagiku. Hari yang sangat menyenangkan,
hari yang sangat berkesan, hari yang tidak terlupakan.
“Lihat, nih, jelek banget! Hahaha.”
Tawa Razy menghambur setelah menunjukkan foto wajah cemberut yang sengaja
diambilnya tadi.
“Dihapus, ah, dihapus!” kataku,
memamerkan tampang serupa dengan yang ada pada foto itu.
Razy hanya terus tertawa sambil
sesekali menyuapi mulutnya dengan ayam goreng di depannya.
“Nyebelin banget sih!”
“Nggak kok, enggak. Kamu kan selalu cantik. Ingat! Wajah yang kamu
punya itu bagus. Unik!”
“Mulai deh..”
“Makan dulu, Riz.”
“Iya, Raz.”
“Iya doang tapi nggak dimakan.”
“Makanya jangan nyebelin dong!”
“Iya deh, iya. Hahahahaha.” Razy tertawa lagi.
Aku mencoba membuat sebuah
keajaiban dunia lagi. Kucoba membuat garis demi garis pada sketchbook-ku. Terbang melayang di kedalaman hati, mencoba memahami
setiap garis per garis yang kuciptakan dan tersusun rapi dalam balutan cover
hitam penuh harapan.
Perlahan, sebuah wajah tertera di
atas kertas putih dalam sketchbook
ber–cover hitam milikku. Sebuah wajah
milik malaikat yang tersenyum manis di depanku selama aku mencetaknya di permukaan
kertas putih bersih ini.
Sembari menyunggingkan senyum,
aku memperlihatkan hasil karyaku padanya. Ia melompat kegirangan. Melihat betapa
indah wajah milik malaikat yang ada pada dirinya. Menjadi sebuah identitas
utama selain nama untuk dapat dikenali.
“By the way, sekali-sekali aku mau dong diajak kerumah kamu,” kata Razy lagi.
“Untuk apa?”
“Aku ingin melihat-lihat lukisan
yang kamu punya. Pasti kamu punya banyak, kan?”
Aku terdiam. Tetapi wajah itu terus
saja memintaku untuk menjelaskan sesuatu smapai akhirnya aku memutuskuskan
untuk membuka suara, “Sampai sekarang, aku belum punya keberanian untuk melukis
di atas kanvas,” kataku sembari menundukkan kepalaku.
“Benarkah? Kenapa?” tanya Razy,
cukup kaget.
“Entahlah. Aku hanya belum
berani.”
“Tapi kapan? Keberanian nggak akan pernah datang begitu aja tanpa sebuah kemauan. Gambar kamu
bagus-bagus semua kok. Jadi kapan
kamu akan mengundang keberanian itu datang?”
Kata-kata Razy cukup menyentil
batinku. Apakah sekarang sudah saatnya? Melangkah satu langkah lebih maju? Tapi
aku harus mulai darimana?
*
“Kesini lagi?” tanyaku.
“Yup. Kamu nggak keberatan, kan?” Razy mencoba menilitik wajahku.
“Enggak,” jawabku pelan.
Aku keberatan. Iya, aku
benar-benar keberatan jika harus di ajak ketempat ini terus-menerus. Aku merasa
minder setiap aku bertemu Karina. Ia
adalah perempuan yang mempesona. Aku tak sanggup melihat Razy dan Karina kala
saling menatap. Apa aku harus mengatakan pada Razy semua rasa yang kupunya
untuk memperjelas semuanya? Juga untuk membuang jauh-jauh rasa khawatir yang
kian hari, kian menyergap batinku. Aku tidak mampu. Melukis diatas kanvas saja
aku belum mampu. Apalagi untuk mengumpulkan keberanian semacam itu.
Tapi kali ini berbeda. Razy
bahkan tidak mengajakku masuk ke rumah Karina dan bertemu mereka semua. Kami
hanya berdiri di seberang jalan menghadap kerumah yang sangat sederhana milik
Karina. Kami hanya berdiri bersandar di motor milik Razy sambil mengobrol.
“Kita nggak kesana, Raz?” Akhirnya aku menanyakannya juga.
“Aku ingin kita disini aja. Maukah kamu mendengarkan curahan
hatiku?” Razy mengatakannya tanpa sedikitpun memalingkan wajahnya dari rumah
sederhana milik Karina.
“Tentu saja, Raz,” balasku.
“Aku ingin membahagiakan mereka.
Membahagiakan Fahra, Fahri, juga Karina. Aku ingin membuat mereka merasa
menjadi orang paling bahagia di dunia ini.”
“Kamu sangat menyayangi mereka,
ya?”
“Mungkin lebih dari itu. Aku
tidak mampu kehilangan mereka.”
Pembicaraan macam apa yang sedang
berlangsung ini. Apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh Razy? Aku terus
menunggu hingga ujung pembicaraan.
“Aku sangat menyayangi Fahra dan
Fahri. Aku sangat menyayangi Karina. Ternyata, hubungan yang kami bangun
buru-buru satu setengah tahun yang lalu, bukanlah sebuah kesalahan. Malah
sekarang, aku benar-benar sangat bersyukur karena memiliki mereka. Karena
memiliki Karina.” Razy tersenyum menatapku.
Tapi kali ini, senyuman itu
bukanlah senyuman menenangkan batin lagi bagiku. Melainkan senyuman yang sangat
tajam, melebihi ketajaman pisau yang seketika menusuk-nusuk hatiku. Hatiku
menjerit. Sakit… Sakit sekali. Bisa-bisanya senyuman menenangkan batin yang
selalu kutunggu-tunggu, sekarang menjadi pisau paling tajam yang pernah ada.
Razy baru saja menyobek-nyobek relung hatiku. Meruntuhkan seluruh harapan yang
berdiri kokoh berbingkai yang kubangun dalam tanah lapang di permukaan hatiku.
Dengan mudahnya, Razy menancapkan pedang tajam, membuat goncangan maha dahsyat
yang seketika meruntuhkan semuanya. Semua yang kubangun penuh harap.
“Kok diam?” tanya Razy saat aku tidak menjawab.
Ia tidak tahu sedang ada bencana
besar yang terjadi di dalam hatiku. Bencana yang meluluh-lantahkan permukaan hati
yang indah berhias bunga-bunga yang kutanam seiring waktu berjalan. Seiring
waktu yang kulalui hanya bersama Razy.
“Sepertinya aku nggak enak badan. Tolong antarkan aku
pulang, Raz.” Suaraku benar-benar melemah. Kekuatan yang tersisa hanyalah
sebuah kekuatan yang mampu menopang diriku yang sebentar lagi akan terjuntai
lemah di tanah.
“Kamu sakit? Kamu kenapa, Riz?!”
Razy cukup panik. Lalu seketika ia melajukan motornya dan membawaku ke rumah.
*
Setelah hari itu, aku tidak
pernah melihat Razy lagi. Entah kenapa setelah beberapa hari kuhabiskan untuk
memikirkan semuanya, aku masih saja mempunyai secercah harapan di dalam hatiku.
Harapan bahwa Razy diciptakan Tuhan hanya untukku. Bahkan hal picik lewat di kepalaku
dengan kasarnya. Aku sempat berpikir bagaimana mungkin keluarga Razy
mengizinkan perempuan sesederhana itu yang menjadi wanita pendamping hidup
Razy. Aku benar-benar menjadi korban sinetron-sinetron picik yang banyak
beredar. Untungnya, aku masih punya Tuhan. Aku tidak boleh sekalipun berpikiran
seperti tadi. Tuhan saja tidak pernah membanding-bandingkan setiap ciptaannya,
apalagi aku yang benar-benar tidak punya hak atas kehidupan orang lain.
Setelah hari itu pula, aku masih
terus mencari Razy. Di kafe; tempat pertama kita bertemu, bahkan di sekitar
rumah Karina. Aku tidak pernah melihat Razy lagi. Aku merindukannya. Merindukan
hari-hari indah yang ku lalui bersamanya. Razy yang memperlakukanku dengan
begitu baik, mengagumi bentuk wajahku, dagu runcingku, memotret tanpa
sepengetahuanku, Razyku, menghilang. Menghilang ditelan kemelut hatiku. Tapi
apakah Razy tidak menghawatirkanku? Aku sakit waktu itu.
Satu bulan, dua bulan, tiga bulan
berlalu. Aku tidak pernah lagi melihat Razy hingga aku penat mencari. Mencoba
membuka diriku untuk hal-hal lain. Untuk apa aku terus memikirkan Razy yang
belum tentu juga memikirkanku? Bagaimana kalau Razy tidak mengubah semua yang
ia katakan waktu itu? Kata-kata yang menyakitkan hatiku, sedangkan aku masih
sangat berharap ia akan melakukannya. Aku tidak mau menanggung resiko itu. Hidupku
masih terbentang luas di depan mata. Setidaknya, ada secercah kebahagiaan yang
telah kurasakan bersama dengan Razy. Kalau memang Razy yang Tuhan sediakan
untukku, tentu ia akan kembali padaku.
*
Ada satu hal yang pernah
dikatakan Razy, yang belum mampu kuhapus dari dalam kepalaku. Bahkan hal itu
mengaung-ngaung sepanjang hari mengusik bantinku, “Jadi kapan kamu akan
mengundang keberanian itu datang?” begitulah kira-kira pertanyaan yang pernah
Razy lemparkan padaku. Hal itu pula yang membuatku sekarang sudah berani
mencobanya. Menuangkan hobiku diatas kanvas putih bersih yang bersandar kokoh
di depanku. Senyumannya. Itulah hal pertama yang coba kulukis di atas kanvas
berukuran 60cm x 30cm in.
“Undangan kawinan siapa, ma?”
tanyaku saat mendapati sebuah surat undangan berwarna putih di atas meja, di ruang
tamuku.
“Nggak tahu, sayang. Mama belum sempat lihat tadi,” jawab mama dari
dalam kamarnya yang memang terletak di samping ruang tamu.
Perlahan kubuka sampul depan
kertas undangan itu. Menekuri satu per satu nama yang tertera diatasnya, “Razy
& Karina”.
(((CERPEN)))
Tidak ada komentar:
Posting Komentar