Sabtu, 21 Desember 2013

Surga-ku

Ini adalah salah satu fiction story yang menceritakan tentang luar biasanya hati seorang yang sangat mulia, yang kita sebut 'Ibu'.

      Surgaku, adalah segalanya yang ku punya. Aku sangat menyayanginya. 

      Jalanan ini selalu sepi. Bahkan di hari kerja sekalipun. Tak sering kujumpai orang yang berjalan melewati jalanan ini. Angin bertiup selaras dengan langkah kaki yang menaklukkan jalanan berbatu dengan cukup banyak pasir di sekitarnya. Anginpun membuat helai demi helai rambutku beterbangan kesana-kemari. Entah sudah seperti apa rupaku saat ini. Tapi aku sangat menikmatinya.

      Sekarang aku telah berdiri di ujung jalanan sepi yang kulewati tadi. Kehirukpikukan mulai terasa. Suara yang berteriak, kendaraan yang berisik, juga angin yang tak kunjung bertiup lagi.

      Aku mendapati surgaku tengah duduk dipeluk keringat yang mengucur kencang di dahinya. Telapak tangan kanan disandarkannya ke dahi, guna untuk mengelap keringat yang semakin deras mengucur. Keringat yang menjadi saksi bisu hidupnya, hidup kami. Bahkan sinar mentari tak memberikan toleransi sedikitpun. Hanya terus memancarkan sinar terangnya.

      Kupegang tangannya, kuciumi kulit keriputnya, lalu aku duduk tepat di sampingnya. Hatiku serasa sakit setiap kali melihat pemandangan seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi? Kami butuh hidup.

      Ia, surgaku, setiap pagi hingga siang hari, selalu menjejalkan dagangannya di tempat ini. Tempat yang begitu ramai ini. Tempat yang sering disebut pasar oleh orang-orang. Dagangan yang sederhana, yang belum pasti akan dibeli orang-orang yang lewat. Tapi kami hanya punya modal yang cukup untuk membeli kerupuk itu, dan menggorengnya, lalu menjualnya.

      Aku sendiri, sebenarnya bisa menggunakan tenagaku untuk mencari pekerjaan lain, untuk membantu surgaku, agar kami bisa tetap hidup. Tapi ia, surgaku, selalu memarahiku jika aku mengatakan niatku itu. Katanya, tugasku hanyalah belajar dan bukan untuk bekerja. Katanya pula, ia masih sanggup untuk memberikan kehidupan bagi keluarga kecil kami. Maka aku hanya diperbolehkan untuk membantu menemaninya saja. Tidak untuk bekerja.

      Seharusnya, saat ini aku duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Tapi karena keterbatasan biaya, aku harus rela menghentikan semuanya. Semua penunjang mimpiku. Tetapi tidak untuk mengehentikan mimpiku. Mimpiku terus ada di sini, di dalam hatiku, dan aku jaga ketat dengan sebaik-baiknya.

      Aku, benar-benar berbeda dari kebanyakan remaja seumuranku. Mereka pergi ke-mall, bersenang-senang dengan teman-teman, mempercantik diri di sebuah tempat yang disebut salon, dan masih banyak lagi. Aku tidak sanggup untuk dapat merasakan semua itu. Tapi aku pun tidak keberatan dengan kehidupanku sekarang ini. Karena kata surgaku, segala sesuatu patut disyukuri. Cukup dengan kita masih bernafas di hari berikutnya, berarti Tuhan sangat menyayangi kita. Aku berbeda dengan kebanyakan remaja di usiaku saat ini. Tapi itu bukanlah sebuah masalah.

      Pada sore hari, surgaku bekerja untuk membersihkan sebuah toko buku dengan bangunan yang berukuran sangat kecil di sebelah kiri, tepat pada ujung jalan, dengan upah sebuah buku setiap tujuh hari. Ia sudah menegosiasikan semuanya dengan pemilik toko buku mini itu. Buku itu diberikannya padaku agar aku tetap terus belajar walau bukan di sebuah pusat pendidikan. Betapa luar biasanya surgaku itu…

      Ayahku, seorang tulang-punggung yang seharusnya, tengah terbaring lemah di atas tempat tidur yang hanya terbuat dari anyaman. Ia tak kuat lagi untuk bangkit karena sesuatu hal yang disebut penyakit.

*

      Begitu pilu hati ini melihat orang yang sangat kusayangi terus bekerja tanpa henti di sepanjang hari. Pagi, siang, sore, malam, ia selalu bekerja. Menjual kerupuk, membersihkan toko buku mini, serta menjadi seorang pemulung di malam hari. Tidak termasuk pekerjaan-pekerjaan tak terduga yang ia temui dan ia lihat sebagai sebuah kesempatan, lalu diambilnya.

      Seperti menjadi tenaga tambahan untuk menjual koran-koran milik seorang bandar koran, menyemir sepatu untuk membantu anak kecil, penyemir sepatu yang sebenarnya yang sedang kelelahan, mencabuti rumput liar di rumah-rumah yang ia lewati, dan masih banyak lagi. Entah tenaga dari mana yang ada pada dirinya, yang bisa melakukan hal sebanyak itu. Termasuk memikirkan nasib keluarga kami.

      Wajah penat itu, keringat yang mengucur deras itu, kulit keriput itu, kulit yang semakin menghitam karena hantaman sinar matahari, tubuh yang kurus itu, yang hanya tulang berbalut kulit, aku sudah terbiasa dengan semua itu. Tapi tak henti-hentinya hati ini serasa ditampar saat menyaksikan semuanya.

      Maka aku tidak bisa berdiam diri untuk tidak mencari pekerjaan tambahan walau ia, surgaku, akan memarahiku. Aku bekerja secara diam-diam di sebuah rumah yang memakai jasaku untuk membersihkan keseluruhan rumah mereka yang cukup besar itu. Aku selalu melakukannya dengan sepenuh hati. Bagaimana bisa surgaku melakukan pekerjaan yang sangat berat setiap harinya dan aku harus merasa keberatan hanya untuk membersihkan sebuah rumah?

      Ia, surgaku, mengajariku banyak hal. Sangat banyak hal untuk tetap bertahan hidup. Untuk tetap bermimpi walau dalam balutan serba keterbatasan. Untuk tetap tersenyum pada semua orang, juga pada diri sendiri. Ia mengajarkan semuanya dalam diam.

      “Amaryllis,” begitulah orang sering memanggilku. Itu adalah nama pemberian orang tuaku yang sangat aku syukuri. Mereka bilang, mereka menamaiku Amaryllis, nama dari sebuah jenis bunga yang indah. Bunga Amaryllis oleh banyak orang dianggap sebagai simbol kecantikan yang bersinar karena keindahannya. Tetapi, aku sendiri merasa tidak seindah bunga itu. Bahkan aku tidak pantas untuk menyandang nama seindah itu.

      “Iya, bu?” jawabku.

      “Saya mau keluar bersama keluarga. Tolong sehabis membersihkan rumah, kamu tetap berada disini untuk menjaga rumah saya, ya. Nanti saya berikan bonus,”

      “Baik, bu.” Hal-hal seperti ini juga sering terjadi. Aku diminta menjaga rumah mereka, mendapat pekerjaan lebih dari sekedar membersihan rumah, dan mereka akan memberiku upah yang lebih. Alasanku sendiri saat pulang dan membawa uang, adalah karena aku membantu orang dan orang itu memaksaku untuk menerima tanda terima kasihnya. Walau alasan yang sama terus-menerus tidaklah efektif, setidaknya semua masih dipercayai hingga saat ini.

      Sesungguhnya, saat aku harus berbohong, mengucapkan sebuah kebohongan, hatiku terasa teramat sakit. Apalagi jika harus berbohong pada orang-orang yang sangat aku sayangi. Tapi itulah hal terbaik yang bisa aku lakukan saat ini. Bukan berarti tidak ada pilihan, namun itulah pilihan yang aku ambil. Karena aku percaya, akan selalu ada pilihan. Tinggal bagaimana kita dengan bijak mengambil sebuah pilihan yang tepat.

*

      Seluruh kehidupan keluarga kami, yang kami rasakan, terlalu pekat terasa. Setiap hal, bahkan hal kecil, sangat terasa saat kami melaluinya. Hidup kami terasa begitu sulit. Tapi aku percaya, bahwa kami akan menemui sebuah cahaya terang di penghujung nantinya. Ini adalah ujian kehidupan? Aku rasa bukan. Ada beberapa macam kehidupan yang ada di dunia ini. Hidup enak, maupun hidup serba berkerkurangan seperti hidup keluargaku sekarang. Aku tidak mau menyebutnya ‘sebuah hidup yang tidak enak’ karena dalam sebuah kehidupan, pasti ada positif-negatifnya.

      Tuhan terlalu adil dalam segala hal. Jadi, jangan pernah berpikir kalau hidupku, atau hidupmu adalah sebuah kesengsaraan. Karena kita pasti akan menemukan sebuah titik terang di penghujung nantinya. Tergantung bagaimana kita menyikapi semua hal yang terjadi di dalam hidup kita.

      Suatu hari, setelah bertahun-tahun kami melalui hidup yang tak kunjung berkembang, hidup yang begitu-begitu saja, akibat kerja keras dan cucuran keringatnya, kami berhasil menemukan titik terang itu. Titik terang di penghujung jalan yang mengubah segalanya. Yang mengubah keseluruhan kehidupan kami.

      “Kerupuknya enak, bu. Saya boleh pesan banyak?” kata seorang bapak-bapak yang menjadi satu-satunya orang yang membeli kerupuk ibu hari itu.

      “Sebanyak apa, pak?” tanya ibu dengan suara yang melemah.

      “Ya, cukup banyak. Sekitar 10 toples?”

      “Saya tidak punya modal sebanyak itu untuk membeli kerupuknya, pak.” Sahut ibu dengan penuh kejujuran.

      “Kalau saya yang memodali? Saya akan memberi ibu uang yang cukup untuk membeli semuanya.”

      “Bapak akan kasih uang saya, begitu?”

      “Iya, benar.”

*

      Bapak itu pun membawa kesepuluh toples penuh berisi kerupuk yang ibu, surgaku buat.

      Dalam beberapa hari, bapak itu kembali dengan wajah penuh binar. Ia menghampiri ibu dengan senyuman yang merekah.

      “Eh, bapak lagi. Mau pesan kerupuk lagi, pak?” tanya ibu yang memaksakan senyuman di tengah-tengah kepenatannya.

      “Kenalkan, nama saya Sujono. Sebenarnya, saya adalah seorang penjual kerupuk juga. Jadi, saya punya semacam dapur untuk memasak kerupuk-kerupuk dan menyebarkannya ke warung-warung, bahkan tempat-tempat makan. Lalu ke-10 toples kerupuk yang saya pesan dari ibu beberapa hari yang lalu, saya sebarkan. Dan saya mendapat banyak sekali pujian, bu. Saya senang sekali.”

      “Oh, bapak Sujono ini pengusaha kerupuk, toh. Saya Ningsih, pak.” Ibu menjabat tangan pak Sujono yang direntangkannya dari tadi.

      “Saya punya tawaran kerja untuk ibu. Bagaimana kalau ibu bergabung dengan saya? Kita jadi partner kerja, bu. Penghasilannya akan kita bagi sama rata.”

      “Benar begitu, pak? Tapi saya belum terlalu mengerti.”

      Mereka melakukan negosiasi besar di bawah sengatan mentari.

      “Seperti biasa, saya akan memberi modal. Saya akan membeli banyak kerupuk mentah yang kemudian akan ibu olah menjadi kerupuk yang sudah bisa dimakan. Bagaimana, bu?”

      “Bapak serius?” mata ibu terbelalak kaget.

      “Tentu saja. Bagaimana? Ibu setuju?”

      “Tentu saya setuju. Alhamdulillah, ya Allah!” Ibu menengadahkan kedua telapak tangannya.

      “Lalu apakah ibu setuju dengan penghasilan yang akan kita bagi rata?” tanya bapak Sujono lagi.

      “Ya, tidak toh, pak.”

      “Maksud ibu?”

      “Bagaimana kalau 60-40? 60% untuk bapak dan 40% untuk saya?”

      “Kenapa begitu?” tanya bapak Sujono heran.

      “Lah modalnya dari bapak. Saya kan hanya bantu menggorengnya. Tidak sepadan lah, pak.”

      “Tapi saya tidak keberatan jika harus membaginya sama rata,”

      “Tidak usah, pak. 60-40 saja.” Ibu tetap bersih-keras.

      “Baiklah. Terima kasih banyak, bu. Ini alamat kantor saya. Besok ibu boleh langsung kesana, ya.” Bapak Sujono memeberikan secarik kertas pada ibu.

      Ibu, surgaku, sangat beruntung karena dipertemukan dengan bapak Sujono oleh Tuhan. Bapak Sujono adalah seorang partner kerja yang jujur serta baik. Usahanya pun semakin berkembang. Sehingga membuatnya membelikan keluarga kami sebuah rumah yang lebih layak lagi untuk kami tempati. Ayah pun tengah menjalani perawatan di sebuah rumah sakit.

*

      Sekarang, kebahagiaan mulai menyelimuti keluarga kecil kami.

      Seperti aku saat ini, akhirnya aku berhasil meluncurkan buku pertama dalam karirku sebagai penulis. Karena buku-buku yang diberikan ibu waktu itu, membuatku menemukan sebuah mimpi yang tersimpan rapi di dalam diriku. Menulis.

     Setiap hari, di atas lembar demi lembar kertas bekas yang aku kumpulkan saat sedang berjalan, aku menulis tanpa henti dengan penuh kebahagiaan yang membuncah di dalam dada. Aku merasa, inilah hidupku. Aku telah menemukan duniaku.

     Kehiduan telah memberiku banyak hal. Termasuk lebih mencintai tulang-punggung keluargaku yang tanpa henti, tanpa keluh kesa, terus berusaha demi kelangsungan hidup keluarganya.

     Tuhan pun telah menganugerahiku seseorang yang sangat menyayangiku dan berniat untuk menikahiku secepatnya. Ia adalah Aditya Sujono, anak sulung bapak Sujono.

     Aku bertemu dengannya dalam diam. Hanya tatapan kami yang berbicara kala itu. Kami terus saling menatap tanpa mengeluarkan sepatah-katapun. Benar, hati ini luluh hanya oleh sebuah tatapan.

     Hidup kami benar-benar berubah karena semua kerja kerasnya. Seorang ibu, seorang yang menjanjikan surga bagiku, seorang yang paling hebat yang pernah aku ketahui. Kasih sayangnya terhadapku, terhadap ayah, terhadap keluarganya, tak lekang oleh waktu.

     Aku, adalah orang yang paling merasakan bagaimana sulitnya hidup ibu. Lebih sulit dari hidupku. Walau ayah tidak bisa lagi membantu kelangsungan hidup keluarga kami, ibu tetap menyayanginya dengan sepenuh hati. Walau lelah yang ibu rasakan saat pulang ke rumah, ibu tak pernah lupa untuk memberi makan ayah, membasuh tubuhnya dengan air hangat yang sebelumnya telah ibu panaskan, serta mengajak ayah berdoa bersama untuk kesembuhannya saat menjelang tidur. Ibu menghadapi hidup tanpa memperlihatkan sedikitpun air mata.

Ia, surgaku, ibu terbaik yang pernah aku punya.

Selamat hari ibu. :)



(((CERPEN)))

Rabu, 06 November 2013

Secercah Kebahagiaan

Kilau mentari senja itu, cukup menyilaukan mata. Maka ku raih tas tanganku dan ku letakkan tepat di samping kepalaku yang terkena seberkas sinar matahari. Sebentar lagi, mentari akan benar-benar terbenam. Mengubah siang yang cerah binar menjadi malam yang gelap berbalut bintang-bintang dan sebuah pencahayaan terang mempesona yang disebut bulan.

Warna mentari saat senja sungguh indah. Lebih indah dari kerlap-kerlip lampu kota di malam hari, juga lebih cantik dari paras kecil, imut dan menggemaskan milik boneka Barbie. Keindahannya mampu mengguncang ketenangan jiwaku. Aku sungguh menyukainya. Menyukai warna oranye pada mentari yang mulai terbenam serta suasana yang nyaman yang selalu kurasakan kala menikmatinya.

Aku tiba tepat waktu. Saat mentari benar-benar akan menghilang dan membiarkan para bintang-gemintang menggantikan pekerjaannya menerangi bumi. Kumasuki kafe yang terletak tepat menghadap pantai yang luar biasa indahnya saat senja. Sinarnya khusus terpapar pada kafe ini dan beberapa macam tempat yang berbaris indah di kiri dan kanan kafe. Ada florist shop, sport shop, dan masih banyak lagi. Semuanya berbaris indah menghadap lautan lepas.

Bibir pantai terlihat indah dan menawan dengan banyak orang yang duduk menatap ke mentari yang hanya sebentar lagi akan terbenam itu. Semua orang menikmatinya. Menikmati suasana menyenangkan serta menenangkan yang terjadi setiap senja.

Senja adalah salah satu favoritku. Merupakan salah satu duniaku. Dunia yang nyaman untuk tempat kumenetap sepanjang waktu. Menghabiskan seluruh kisah terindahku dengan orang-orang yang ku sayangi.

Cepat-cepat kukeluarkan sketchbook dari dalam tas, beserta pensil kesayanganku. Maka ku mulai membuat guratan-guratan indah dengan objek luar biasa yang terbentang di depan mataku. Para orang-orang yang bersantai di bibir pantai, menunggu mentari terbenam. Aku tersenyum sepanjang melakukan kegiatanku.             
Hal yang rutin ku lakukan pada hari libur. Aku datang ke kafe ini saat senja, lalu membiarkan jari-jemari melakukan hobiku sejak kecil ini; menggambar.

Menggambar memang adalah hobiku. Tetapi aku belum pernah berani mencoba untuk melakukannya pada kanvas putih. Aku belum mampu. Atau mungkin, takut kalau mendapatkan hasil yang buruk. Semua keluarga dan teman-teman selalu memintaku untuk melakukannya. Tapi aku masih belum bisa. Entah kapan aku akan mulai membuka diriku untuk melakukan hal itu. Untuk sedikit melangkah kedepan.

Dimanapun, kapanpun, dalam keadaan apapun, jikala ide menyusup masuk ke kepalaku, aku akan langsung menuangkannya pada sketchbook-ku tersayang. Dan tempat ini, kafe ini, adalah yang menjadi favoritku. Tempat ini begitu nyaman dan indah. Bagai memancing semua kemampuan menggambarku untuk dapat ku tuangkan. Sangat banyak ide yang bisa ku temukan ditempat ini. Apalagi pantai yang terbentang luas di depan mata, mempunya ribuan, jutaan, bahkan miliaran ide yang tersimpan rapi dan sesegera mungkin menyergap relung hatiku yang langsung saja merasa bahagia dan ingin sekali menggambar. 
            
            Hari ini tidak seperti biasanya. Ada suatu hal yang menyusup masuk ke dalam relung hatiku. Bukan sebuah ide untuk menggambar. Tapi… hal itu sangat indah. Sangat pekat terasa di kedalaman hati. Menyentil kecil pada relung hati, dan seketika itu juga jantungku memompa dengan kecepatan diatas rata-rata. Cepat sekali. Membuat seluruh tingkahku menjadi aneh dan kacau.

Objek mengagumkan itu berada tepat di depan mataku. Memberi senyuman hangat pada seorang teman yang kemudian berlalu. Ia memesan sesuatu pada seorang pelayan kafe. Dengan mata sayu yang berbinar dan senyum manis yang terlukis jelas diwajahnya. Tanpa sadar, aku membuka lembar berikut dari sketchbook-ku yang masih kosong. Tanpa terasa pula, hatiku yang menggambar objek indah itu diatas sketchbook-ku. Bukan tanganku lagi yang melakukannya, melainkan hatiku.

Mataku mulai menekuri satu per satu keindahan yang tergambar jelas disana tanpa sedikitpun memalingkan wajah. Indah sekali. Sekarang ia disibukkan dengan sebuah kamera Digital Single Lens Reflex atau yang kita kenal dengan kamera DSLR yang menggantung mantap di lehernya.

Aku belum pernah melihatnya disini. Entah sudah berapa kali aku datang ke tempat ini selama 6 bulan terakhir, dan baru hari ini aku diperkenalkan dengan seorang lelaki berparas malikat super tampan yang berada tepat di depan mataku sekarang.

*

“Permisi,” kata sebuah suara yang cukup menggangguku yang sedang asik-asiknya menggambar.
Aku sedikit menoleh, “Iya?” tanyaku sembari coba mengenali wajah seseorang yang berdiri di samping tempat aku duduk.
“Boleh aku duduk disini? Tempatnya penuh semua. Sebentar aja, kok. Aku hanya perlu mengedit beberapa foto.”
“Silahkan.” Tidak salah lagi! Dia adalah laki-laki kemarin. Lelaki yang kusebut berparas malaikat itu.

Bagaimana ini? Jantungku saling berpacu lagi dengan aliran darah yang mengucur deras di dalam tubuh. Apakah ini adalah cara Tuhan untuk mendekatkan kami? Ah, terima kasih, Tuhan. Engkau maha baik.

“Aku  Razy,” kata lelaki berparas malaikat itu sembari mengulurkan tangan kanannya untuk ku jabat.
“Arizah,” kataku sembari menyebutkan namaku dan menjabat tangan dinginnya.
“Kamu sedang apa?”
“Menggambar.”
“Wah, hobi kita hampir sama, loh! Kamu menuangkan objek indah yang kamu lihat dalam sebuah sketchbook, sedangkan aku, dengan menggunakan sebuah kamera.”
“Oh, iya. Kemarin aku sempat lihat kamu. Dan tanpa lupa membawa kamera itu.”
Razy hanya tersenyum lalu kembali memberikan seluruh perhatiannya pada sebuah laptop yang duduk manis di depannya.
“Ah, aku pergi duluan, ya, Arizah.” Razy menyebutkan namaku dengan sedikit keraguan. Mungkin dia cukup melupakan nama yang ku sebutkan tadi.

Razy lalu berlalu dengan cepatnya setelah berpamitan padaku. Tapi, rasanya aku masih belum mau berpisah dengannya. Mengapa peristiwa yang selalu ku tunggu-tunggu sejak pertemuan pertama kami kemarin, berlalu dengan begitu cepatnya? Aku masih sangat dibuat penasaran oleh lelaki berparas malaikat bernama Razy itu.

Seakan seluruh alam semesta meminta, menyuruh, mengharuskanku untuk bangkit dan pergi mengejar Razy. Untuk mengetahui apa yang membuat Razy harus pergi terburu-buru. Maka aku bangkit dari tempat dudukku, mengabaikan keindahan senja yang masih bisa ku rasakan dalam beberapa menit lagi, lalu berlari menaiki sebuah taksi dan mengejar motor Razy yang berlalu begitu cepat.

Entah berapa lama, motor Razy berhenti di sebuah perkampungan kumuh. Banyak anak-anak dengan pakaian ‘seadanya’ berlarian riang kesana-kemari. Sangat menyentuh relung hatiku yang membuat mata ini mulai berkaca-kaca. Aku memutuskan untuk tidak keluar dari taksi. Sepertinya, aku bisa walau hanya menyaksikan apapun yang dilakukan Razy dari balik kaca jendela taksi.

Razy memasuki sebuah rumah lalu keluar dengan dua orang anak, laki-laki dan perempuan yang terlihat luar biasa bahagianya. Mereka duduk di depan rumah yang baru saja Razy masuki. Keduanya tertawa gembira saat Razy menunjukkan sesuatu dalam kameranya. Beberapa saat kemudian, seorang gadis berparas cantik dan lembut keluar dengan baki yang berisi cangkir seadanya yang lalu diberikannya pada Razy. Razy menyambutnya dengan sebuah senyuman lalu menyesapnya perlahan. Gadis yang kira-kira seumuran denganku itu lalu duduk di samping Razy. Mereka berdua dikelilingi oleh kedua anak kecil tadi. Seperti sebuah keluarga yang sangat bahagia. Tapi aku yakin seratus persen mereka bukanlah sebuah keluarga. Karena kedua anak disamping merekapun lebih pantas disebut adik-adik mereka daripada anak.

Tatapan Razy berbeda terhadap perempuan itu. Tatapan yang penuh arti. Apakah perempuan itu adalah kekasihnya? Entahlah. Tapi bagaimana bisa mereka saling berkenalan? Kepalaku kacau. Kepalaku pusing. Aku tidak tahu lagi mana yang benar dan mana yang salah. Kepalaku hanya bisa sibuk mengira-ngira tanpa tahu kebenarannya.

*

“Hey!” teriak Razy saat baru saja tiba dan langsung menduduki bangku di sampingku.
“Razy? Habis motret lagi?” tanyaku.
“Iya dong!” kata Razy dengan semangat sembari mengarahkan lensa kameranya ke arahku dan, “krik,” Razy memotretku.
“Apa, sih? Bilang-bilang dulu dong kalau mau foto. Kan biar bisa gaya dulu,” kataku cemberut.
Ngapain gaya? Kamu punya bentuk wajah yang bagus, tau! Apalagi dagu runcing kamu, tuh. Nge-gemesin banget…” Razy mencubit daguku. Aku tersipu malu.
“Bohong banget sih. Pasti kata-katanya sama deh yang di bilang kesemua cewek,” kataku, mencoba bercanda.
“Ih, dibilangin juga! Beneran, beneran. Wajah kamu tuh bagus banget buat jadi objek foto. Mau kamu kasih lihat muka kayak gimana juga, tetep bagus hasil fotonya.” Razy berkata jujur.
Aku semakin tersipu malu. Bahkan lelaki berparas malaikat yang kukagumipun, mengagumi wajahku. Bagaimana ini? Benarkah dia yang Kau sediakan untukku, Tuhan?
“Kamu mau ikut aku, nggak?” tanya Razy yang masih saja sibuk dengan kamera kesayangannya .
“Ikut kemana?”
“Suatu tempat,”
Okay,”

Akupun menaiki motor besar milik Razy yang seketika itu melaju kencang. Angin bertiup lebih kencang lagi. Membuat rambut panjang yang kugerai melayang kemana-mana, menutupi wajahku. Aroma khas lelaki tercium pekat dihidungku. Aku menikmatinya.

“Tempat apa ini, Raz?” tanyaku saat Razy menghentikan dan memarkir motornya. Ini adalah tempat waktu itu. Tempat yang dikunjungi Razy waktu itu. Pemukiman kumuh ini. Mengapa Razy mengajakku ke tempat ini? Untuk memperkenalkan dunianya padaku? Sesuatu yang ia senangi? Ia akan membaginya denganku?
“Mungkin rasa peduliku terhadap sekitar yang mengantarku pertama kali ke tempat ini dua tahun yang lalu.” Razy menerawang.
“Kamu punya jiwa sosial yang tinggi, ya,”
Nggak juga. Aku hanya merasa sedikit lebih beruntung dari mereka. Dan tidak sanggup hidup di atas segala keberuntungan yang aku punya, sedangkan masih banyak orang seperti mereka di sekelilingku. Rumahku tepat berada dibalik pemukiman ini. Sebuah perumahan real estate yang dibanggakan orang-orang yang hanya mementingkan diri mereka sendiri.”

Aku hanya mencoba mendengarkan Razy sebaik mungkin tanpa mengalihkan penglihatanku dari paras malaikat yang dimiliki Razy itu.
“Ayo, aku perkenalkan dengan sebuah keluarga yang sudah sangat akrab denganku.” Razy lalu berjalan lurus menuju rumah yang ia masukki waktu itu. Aku mengikutinya dari belakang.
Razy langsung saja disambut oleh kedua anak-anak yang ku lihat waktu itu.
“Mas Razy. Selamat sore,” kata suara lembut milik perempuan yang ku lihat pula waktu itu. Razy tersenyum menatap si pemilik suara lembut tadi sembari mengelus pundaknya.
“Riz, kenalin. Ini Karina, dan anak-anak kecil yang lucu-lucu ini Fahra dan Fahri, adik-adik Karina. Mereka berdua kembar.” Razy memperkenalkan semuanya padaku. Akupun menjabat tangan mereka satu per satu. Entah perempuan macam apa yang ada di hadapanku saat ini, yang katanya bernama Karina, sungguh mengeluarkan karisma luar biasa saat matanya menatapku. Aku bahkan bisa merasakannya saat ia menyebutkan namanya dan tersenyum manis kepadaku. Aku merasa sudah sangat dekat dengan perempuan yang memiliki tingkat keramahan di atas rata-rata ini. Ramah sekali… dan sopan.
“Mereka nggak punya orangtua lagi. Karina yang menjadi tulang-punggung keluarga ini. Karina mau bekerja dimana saja, menjadi apa saja, asalkan halal. Ia bahkan pernah bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Karina sangat bertanggungjawab pada keluarganya. Pada kedua adik-adiknya ini,” jelas Razy.

Kami semua duduk dilantai yang beralaskan tanah. Razy tidak merasa risih sedikitpun. Ia seperti menikmati semuanya. Tertawa bahagia sembari bergurau dengan Fahra dan Fahri yang juga tertawa gembira. Karina hanya terus melesakkan senyum manisnya. Benar-benar terlihat seperti sebuah keluarga. Sebuah keluarga yang bahagia.

Aku mencoba membangun percakapan dengan Karina yang bisa langsung nyambung. Karina benar-benar perempuan cerdas. Apakah perempuan seperti ini yang disukai Razy? Tidak. Aku tidak boleh membuat kesimpulan apapun. Tadi saja Razy tidak memperkenalkan Karina sebagai siapapun apalagi pacarnya. Jadi, tidak mungkin.

Seandainya saja Karina adalah seorang wanita paruh baya, orang tua dari Fahra dan Fahri, aku tidak akan mungkin sekhawatir ini. Entah kapan aku mampu membongkar seluruh rasa cinta yang kupunya terhadap Razy, batinku.

*

Hari ini benar-benar ku habiskan bersama Razy, lelaki berparas malaikat itu. Aku diajaknya berfoto-foto di pantai, ia memintaku untuk melukiskan wajahnya, kami berbagi hobi yang kami punya sore tadi. Aku benar-benar merasa senang. Aku merasakan secercah kebahagiaan yang diberikan Razy. Tapi, apakah Razy merasakan kebahagiaan yang sama denganku? Tentu saja! Aku tahu benar kalau Razy sangat menikmati hari ini. Begitupun aku. Belum pernah ada hari semacam ini di dalam hidupku. Biasanya orang-orang yang sudah ‘ber-label’ pacarkulah yang menghabiskan hari semacam ini bersamaku. Belum pernah ada lelaki asing, berparas malaikat, membuat kata-kataku meghilang seketika, dan entah kapan akan memaksaku memberikan ‘label’ pacar pada dirinya, yang menjadi teman dihari semacam ini bagiku. Hari yang sangat menyenangkan, hari yang sangat berkesan, hari yang tidak terlupakan.

“Lihat, nih, jelek banget! Hahaha.” Tawa Razy menghambur setelah menunjukkan foto wajah cemberut yang sengaja diambilnya tadi.
“Dihapus, ah, dihapus!” kataku, memamerkan tampang serupa dengan yang ada pada foto itu.
Razy hanya terus tertawa sambil sesekali menyuapi mulutnya dengan ayam goreng di depannya.
Nyebelin banget sih!”
Nggak kok, enggak. Kamu kan selalu cantik. Ingat! Wajah yang kamu punya itu bagus. Unik!”
“Mulai deh..”
“Makan dulu, Riz.”
“Iya, Raz.”
“Iya doang tapi nggak dimakan.”
“Makanya jangan nyebelin dong!”
“Iya deh, iya. Hahahahaha.” Razy tertawa lagi.

Aku mencoba membuat sebuah keajaiban dunia lagi. Kucoba membuat garis demi garis pada sketchbook-ku. Terbang melayang di kedalaman hati, mencoba memahami setiap garis per garis yang kuciptakan dan tersusun rapi dalam balutan cover hitam penuh harapan.

Perlahan, sebuah wajah tertera di atas kertas putih dalam sketchbook ber–cover hitam milikku. Sebuah wajah milik malaikat yang tersenyum manis di depanku selama aku mencetaknya di permukaan kertas putih bersih ini.

Sembari menyunggingkan senyum, aku memperlihatkan hasil karyaku padanya. Ia melompat kegirangan. Melihat betapa indah wajah milik malaikat yang ada pada dirinya. Menjadi sebuah identitas utama selain nama untuk dapat dikenali.

By the way, sekali-sekali aku mau dong diajak kerumah kamu,” kata Razy lagi.
“Untuk apa?”
“Aku ingin melihat-lihat lukisan yang kamu punya. Pasti kamu punya banyak, kan?”
Aku terdiam. Tetapi wajah itu terus saja memintaku untuk menjelaskan sesuatu smapai akhirnya aku memutuskuskan untuk membuka suara, “Sampai sekarang, aku belum punya keberanian untuk melukis di atas kanvas,” kataku sembari menundukkan kepalaku.
“Benarkah? Kenapa?” tanya Razy, cukup kaget.
“Entahlah. Aku hanya belum berani.”
“Tapi kapan? Keberanian nggak akan pernah datang begitu aja tanpa sebuah kemauan. Gambar kamu bagus-bagus semua kok. Jadi kapan kamu akan mengundang keberanian itu datang?”
Kata-kata Razy cukup menyentil batinku. Apakah sekarang sudah saatnya? Melangkah satu langkah lebih maju? Tapi aku harus mulai darimana?


*

“Kesini lagi?” tanyaku.
“Yup. Kamu nggak keberatan, kan?” Razy mencoba menilitik wajahku.
Enggak,” jawabku pelan.

Aku keberatan. Iya, aku benar-benar keberatan jika harus di ajak ketempat ini terus-menerus. Aku merasa minder setiap aku bertemu Karina. Ia adalah perempuan yang mempesona. Aku tak sanggup melihat Razy dan Karina kala saling menatap. Apa aku harus mengatakan pada Razy semua rasa yang kupunya untuk memperjelas semuanya? Juga untuk membuang jauh-jauh rasa khawatir yang kian hari, kian menyergap batinku. Aku tidak mampu. Melukis diatas kanvas saja aku belum mampu. Apalagi untuk mengumpulkan keberanian semacam itu.

Tapi kali ini berbeda. Razy bahkan tidak mengajakku masuk ke rumah Karina dan bertemu mereka semua. Kami hanya berdiri di seberang jalan menghadap kerumah yang sangat sederhana milik Karina. Kami hanya berdiri bersandar di motor milik Razy sambil mengobrol.

“Kita nggak kesana, Raz?” Akhirnya aku menanyakannya juga.
“Aku ingin kita disini aja. Maukah kamu mendengarkan curahan hatiku?” Razy mengatakannya tanpa sedikitpun memalingkan wajahnya dari rumah sederhana milik Karina.
“Tentu saja, Raz,” balasku.
“Aku ingin membahagiakan mereka. Membahagiakan Fahra, Fahri, juga Karina. Aku ingin membuat mereka merasa menjadi orang paling bahagia di dunia ini.”
“Kamu sangat menyayangi mereka, ya?”
“Mungkin lebih dari itu. Aku tidak mampu kehilangan mereka.”

Pembicaraan macam apa yang sedang berlangsung ini. Apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh Razy? Aku terus menunggu hingga ujung pembicaraan.

“Aku sangat menyayangi Fahra dan Fahri. Aku sangat menyayangi Karina. Ternyata, hubungan yang kami bangun buru-buru satu setengah tahun yang lalu, bukanlah sebuah kesalahan. Malah sekarang, aku benar-benar sangat bersyukur karena memiliki mereka. Karena memiliki Karina.” Razy tersenyum menatapku.

Tapi kali ini, senyuman itu bukanlah senyuman menenangkan batin lagi bagiku. Melainkan senyuman yang sangat tajam, melebihi ketajaman pisau yang seketika menusuk-nusuk hatiku. Hatiku menjerit. Sakit… Sakit sekali. Bisa-bisanya senyuman menenangkan batin yang selalu kutunggu-tunggu, sekarang menjadi pisau paling tajam yang pernah ada. Razy baru saja menyobek-nyobek relung hatiku. Meruntuhkan seluruh harapan yang berdiri kokoh berbingkai yang kubangun dalam tanah lapang di permukaan hatiku. Dengan mudahnya, Razy menancapkan pedang tajam, membuat goncangan maha dahsyat yang seketika meruntuhkan semuanya. Semua yang kubangun penuh harap.

Kok diam?” tanya Razy saat aku tidak menjawab.
Ia tidak tahu sedang ada bencana besar yang terjadi di dalam hatiku. Bencana yang meluluh-lantahkan permukaan hati yang indah berhias bunga-bunga yang kutanam seiring waktu berjalan. Seiring waktu yang kulalui hanya bersama Razy.
“Sepertinya aku nggak enak badan. Tolong antarkan aku pulang, Raz.” Suaraku benar-benar melemah. Kekuatan yang tersisa hanyalah sebuah kekuatan yang mampu menopang diriku yang sebentar lagi akan terjuntai lemah di tanah.
“Kamu sakit? Kamu kenapa, Riz?!” Razy cukup panik. Lalu seketika ia melajukan motornya dan membawaku ke rumah.

*

Setelah hari itu, aku tidak pernah melihat Razy lagi. Entah kenapa setelah beberapa hari kuhabiskan untuk memikirkan semuanya, aku masih saja mempunyai secercah harapan di dalam hatiku. Harapan bahwa Razy diciptakan Tuhan hanya untukku. Bahkan hal picik lewat di kepalaku dengan kasarnya. Aku sempat berpikir bagaimana mungkin keluarga Razy mengizinkan perempuan sesederhana itu yang menjadi wanita pendamping hidup Razy. Aku benar-benar menjadi korban sinetron-sinetron picik yang banyak beredar. Untungnya, aku masih punya Tuhan. Aku tidak boleh sekalipun berpikiran seperti tadi. Tuhan saja tidak pernah membanding-bandingkan setiap ciptaannya, apalagi aku yang benar-benar tidak punya hak atas kehidupan orang lain.

Setelah hari itu pula, aku masih terus mencari Razy. Di kafe; tempat pertama kita bertemu, bahkan di sekitar rumah Karina. Aku tidak pernah melihat Razy lagi. Aku merindukannya. Merindukan hari-hari indah yang ku lalui bersamanya. Razy yang memperlakukanku dengan begitu baik, mengagumi bentuk wajahku, dagu runcingku, memotret tanpa sepengetahuanku, Razyku, menghilang. Menghilang ditelan kemelut hatiku. Tapi apakah Razy tidak menghawatirkanku? Aku sakit waktu itu.

Satu bulan, dua bulan, tiga bulan berlalu. Aku tidak pernah lagi melihat Razy hingga aku penat mencari. Mencoba membuka diriku untuk hal-hal lain. Untuk apa aku terus memikirkan Razy yang belum tentu juga memikirkanku? Bagaimana kalau Razy tidak mengubah semua yang ia katakan waktu itu? Kata-kata yang menyakitkan hatiku, sedangkan aku masih sangat berharap ia akan melakukannya. Aku tidak mau menanggung resiko itu. Hidupku masih terbentang luas di depan mata. Setidaknya, ada secercah kebahagiaan yang telah kurasakan bersama dengan Razy. Kalau memang Razy yang Tuhan sediakan untukku, tentu ia akan kembali padaku.

*

Ada satu hal yang pernah dikatakan Razy, yang belum mampu kuhapus dari dalam kepalaku. Bahkan hal itu mengaung-ngaung sepanjang hari mengusik bantinku, “Jadi kapan kamu akan mengundang keberanian itu datang?” begitulah kira-kira pertanyaan yang pernah Razy lemparkan padaku. Hal itu pula yang membuatku sekarang sudah berani mencobanya. Menuangkan hobiku diatas kanvas putih bersih yang bersandar kokoh di depanku. Senyumannya. Itulah hal pertama yang coba kulukis di atas kanvas berukuran 60cm x 30cm in.

“Undangan kawinan siapa, ma?” tanyaku saat mendapati sebuah surat undangan berwarna putih di atas meja, di ruang tamuku.
Nggak tahu, sayang. Mama belum sempat lihat tadi,” jawab mama dari dalam kamarnya yang memang terletak di samping ruang tamu.

Perlahan kubuka sampul depan kertas undangan itu. Menekuri satu per satu nama yang tertera diatasnya, “Razy & Karina”.


(((CERPEN)))

Minggu, 29 September 2013

Cerpen Terbaru

Hellooooooooooooooooooooooooooooooooo :)))
Sekalian, aku mau post cerpen terakhir yang berhasil kutulis.
Newest means better than the all before. Semoga yaaaa...

Walau tentu saja masih sangat amatir dan membutuhkan begitu banyak kritik, semoga bisa dinikmati.
So, enjoy! ;)




Yang Terpendam

Seseorang yang tengah duduk di sebuah bangku pun berdiri. Tanpa berpikir lagi, aku bergegas mendekati bangku yang sekarang sudah kosong itu, lalu langsung mendudukinya.
Entah beberapa saat kemudian, lelaki yang kulihat mondar-mandir tadi pun duduk di sebuah bangku kosong di sampingku saat penghuni bangku sebelumnya telah beranjak pergi.
Angin bertiup cukup kencang, sehingga dedaunan kering diatas tanah bertiup beriringan ke arahku. Maksudku, ke arah kami yang sedang duduk berdampingan. Kami tetap diam. Aku sibuk memainkan tombol-tombol yang berbaris teratur di atas permukaan ponselku, sedangkan dia hanya duduk termangu menatap dedaunan yang sudah berserakan di sekitar kakinya.
“Ehem, mau ambil kiriman?” Sebuah suara dari sisi kanan cukup membuatku terkejut.
Perlahan kuangkat wajahku, lalu kutatap si pemilik suara tadi yang juga tengah menatapku, menunggu jawaban.
“Aku hanya menemani teman,” jawabku, masih saling pandang.
“Menemani teman…” Ia mengulang jawabanku sembari menoleh kedepan. Menghindari tatapanku.
“Iya. Kamu sendiri?” Aku pun menanyakan hal yang sama, sekedar untuk berbasa-basi.
“Bukankah aku terlihat sendirian? Tentu kiriman yang kutunggu adalah untukku.” Ia berkata tanpa sedikit pun menoleh ke arahku. Hanya menatap nanar ke depan, ke kerumunan orang-orang yang sedang mengambil barang atau kiriman milik mereka. Kami sedang berada di sebuah tempat yang menyediakan jasa pengiriman barang, surat-surat, atau apapun yang semacamnya.
Aku hanya terdiam menyimak jawabannya yang benar-benar langsung menuju ke sebuah tanda baca yang tidak bisa dibantah lagi; titik. Aku tidak tahu lagi harus berkata apa setelah itu. Maka aku hanya terdiam.
“Sudah dua bulan ini aku menunggunya. Tapi, mereka tak kunjung mengirimkannya ke alamatku. Maka aku berniat untuk mengambilnya saja sendiri.” Ia berkata-kata lagi.
“Temanku saja, sudah menunggu kiriman itu lima bulan lamanya.”
“Dimanakah letak kesalahannya? Si pengirirm, atau jasa pengriman ini?”
“Entahlah.”
“Aku Aaron,” katanya pelan. Bahkan tanpa menatapku. Sepertinya, ia adalah tipe orang yang tidak suka menatap lawan bicaranya ketika sedang berbicara. Itu tidak sopan, bukan?
“Evyta.” Aku pun menyebutkan namaku tanpa menoleh ke arahnya yang beberapa detik setelah itu bangkit dari tempat ia duduk.
Brak!!!
I’m sorry,” kata lelaki yang mengaku bernama Aaron tadi, setelah berhasil melempar keras tubuhnya ke arah seorang perempuan yang berjalan dari arah berlawanan dengannya. Ia hanya berkata ‘maaf’ lalu berlalu begitu saja. Aku menyimak semuanya dalam tawa yang tak bisa kutahan lagi. Wajah perempuan itu terlihat bingung bercampur kaget. Sangat lucu!
“Sakit, Mei?” tanyaku saat Meisa, sahabatku, sudah duduk disampingku.
“Iya sih. Tapi, satu kata maafnya tadi sangat keren.” Meisa menerawang.
“Keren apanya?”
“Itu berarti, dia adalah laki-laki yang keren. Begitu saja kamu nggak mengerti.”
“Kamu terlalu banyak menonton film, Mei.” Aku tidak menghiraukannya lagi.

*

Pepohonan rindang, bercabang-cabang, hijau, tinggi, menyejukkan, tergambar jelas didepan penglihatanku. Sungguh sebuah pemandangan yang indah. Begitu pun dengan rerumputan hijau yang membentang sejauh mata memandang. Anak-anak yang berlarian riang gembira, para orangtua yang bermain-main dengan anak-anak mereka, begitu menyenangkan melihat itu semua.
Hal semacam itulah yang kerap terjadi ditaman berukuran sangat besar ini dikala akhir pekan menyergap. Suasana ramai namun menenangkan. Aku sangat suka melihat anak-anak. Tawa mereka, kegembiraan tanpa tara yang terpancar dari raut wajah tak berdosa itu, dan masih banyak lagi hal menakjubkan yang sangat kukagumi dari seorang anak kecil.
“Aku punya adik. Dia adalah saudara satu-satunya milikku.”
“Benarkah? Apa kalian sangat dekat?”
“Benar-benar dekat. Mungkin karena dia seorang laki-laki, dan usia kami nggak jauh berbeda.”
Iya. Dia adalah Aaron. Seseorang yang tengah melakukan perbincangan denganku. Kami sengaja memilih taman ini untuk bertemu setelah waktu itu Aaron berhasil mendapatkan nomor pin blackberry-ku dengan mudahnya. Aku yang memberikan saat ia memintanya. Maka sejak saat itu, kami sering melakukan perbincangan singkat via blackberry messenger, sebelum memutuskan untuk bertemu lagi. Katanya, ia jatuh cinta dengan sebuah tatapan dihari perkenalan kita. Tatapan itulah yang mengantarnya berada disini untuk menemuiku hari ini.
“Berbeda berapa tahun?”
“Dua tahun. Sekarang aku tengah bekerja di sebuah perusahaan advertising setelah lulus kuliah setahun yang lalu. Dan adikku, dia tengah berkuliah sekarang.”
“Oh, begitu.” Hanya itulah kata-kata yang mampu kukatakan saat ini.
“Dia orang yang sangat hebat. Maksudku, aku menyukai perilakunya, sifatnya, cara dia mengambil keputusan… Lucu bukan? Aku mengagumi adikku sendiri.”
“Semenyenangkan itukah adikmu?”
“Begitulah.”

*

Liatin apa sih? Liatin cowok terus nih kerjaannya.” Meisa membuyarkan lamunanku.
“Enak aja!” Aku langsung saja membantahnya.
Suara riuh terdengar dari sudut demi sudut ruangan kelas yang berukuran persegi panjang ini. Para mahasiswa dan mahasiswi yang lalu lalang, berteriak, tertawa, semua dapat terdengar jelas disini.
“Aku seneng banget deh, Vyt. Makasih, ya,” kata Meisa sembari merangkulku pelan. Aku sangat mengerti dengan apa yang tengah membuatnya terbang melayang diawan-awan.
Berbeda denganku, yang entah kapan akan mendengarkan sebuah kata itu dari mulutnya. Berangan setiap hari, memikirkannya sepanjang hari, membayangkan setiap sisi dari raut wajahnya sepanjang waktu yang kupunya, bahkan saat aku terlelap sekalipun.
Garis-garis wajah itu selalu saja datang menyapa. Sapaan lembutnya membuat hatiku mencair seperti sebongkah es di kutub utara. Perlahan, tapi pasti.
Rasanya mustahil aku dapat menahan gejolak didada ini ketika saling menatap dengannya. Kita bercerita, tapi hanya itu. Tidak ada yang lain. Membuatku seperti terombang-ambing dilautan lepas tanpa arah dan tujuan. Hanya menunggu kapal yang lewat dan sudi untuk mengangkatku.
Semua terasa serba salah. Maju, mundur, diam, aku tidak tahu harus memilih yang mana. Karena apapun yang aku pilih, aku tidak akan mendapatkan apa-apa. Aku hanya akan tetap berada, terapung, dilautan lepas yang entah dimana ujungnya. Tak berujung.
“Kenapa terus menatapku?” tanyaku pada Jupiter, saat aku menyadari bahwa Meisa sudah tak berada di sampingku lagi, melainkan Jupiter yang menatapku pekat dari jarak yang tidak begitu jauh di depan.
“Ah, enggak,” jawab Jupiter seadanya dengan wajah terkejut.
“Kenapa sih, Pit?” Aku pun berjalan mendekat kearah Jupiter.
Nggak apa-apa, Vyt. Kamu aja yang melamun dari tadi.”
“Melamun apa?” Aku tersenyum malu. Aku benar-benar mengerti dengan hobi anehku yang satu itu. “Jangan sering-sering memperhatikanku. Nanti kamu suka lagi,” kataku, bercanda.
Jupiter hanya tersenyum tipis.

*

“Kamu mengerti, kan, Evyta? Hal itu sangat membuatku terganggu.” Aaron sedang bermain-main dengan tombol-tombol di laptop-nya sembari menyampaikan berbagai kata-kata terhadapku yang sedang asyik dengan makananku.
“Hahahaha, aku benar-benar mengerti,” kataku yang terus saja terfokus pada makanan kesukaanku di atas meja.
“Sebentar lagi dia kesini lho!”
“Kenapa nggak datang sama-sama aja sih?”
            “Aku kan langsung dari kantor.”
            “Hei,” kata sebuah suara yang benar-benar ditunggu-tunggu olehku dan Aaron.
Pemilik suara dengan badan tegap dan cukup tinggi itu berdiri tepat disamping Aaron, agak menghadap kearahku yang tengah mengunyah makanan. Ia adalah seorang laki-laki yang membuat kedua bola mata ini hampir meloncat keluar, juga membuat aku menelan makananku sesegera mungkin tanpa cukup lama mengunyahnya
            “Ah, Dek, ini Evyta, yang sering aku ceritakan. Tampak luar biasa, bukan?”
            Aku dan laki-laki yang katanya adalah adik dari Aaron hanya saling melempar pandangan. Hanya saling menatap dalam diam. Terus menatap, dan terus saling menatap.
            “Pit, jadi kamu seorang adik luar biasa yang sering diceritakan Aaron itu?” Aku mulai membuka mulutku, mengucapkan kata demi kata yang berbaris rapi untuk keluar secara beraturan lewat mulut ini.
            “Ternyata benar-benar kamu, ya, Vyt. Aku sempat melihat foto kalian berdua di ponsel Aaron. Aku pikir, hanya mirip. Ternyata itu memang kamu,” jelas Jupiter.
            Jupiter masih tetap berdiri tanpa berniat untuk menduduki bangku kosong yang ada. Aaron hanya sibuk mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi didepan matanya. Teman dan adiknya yang ternyata sudah saling mengenal, atau apa.
            “Ah, iya. Aku sudah cukup mengenal kakakmu. Dia berbicara banyak tentangmu. Tapi aku nggak pernah sedikitpun terpikirkan kalau yang Aaron maksud itu kamu.” Aku berbicara sambil sesekali menyisipkan senyuman tipis dari bibir ini.
            “Tak kusangka kalian sudah saling mengenal,” kata Aaron setelah berhasil menyimpulkan sesuatu.
            “Iya, Aar. Jadi, aku ternyata sekelas di kampus sama Piter.”
Aku tidak suka namanya yang begitu panjang. Aku tidak suka namanya yang mempunyai tiga ketukan itu, seperti namaku. Aku lebih suka mencari nama pendeknya agar terdengar lebih akrab. Dan karena Jupiter membiarkannya, aku terus saja hanya memanggilnya ‘Piter'.
            Jupiter sudah memutuskan untuk menduduki bangku yang tidak menghadap kearahku, juga tidak menghadap kearah Aaron. Ia duduk menghadap ke orang-orang yang datang berkerumun sambil menyantap makan siang mereka bersama-sama.
            “Baguslah. Itu lebih baik, bukan?” kata Aaron.
            “Kakakku orang baik. Kamu pasti bahagia bersamanya,” kata Jupiter.
            Jupiter yang dikenal sangat pendiam, bahkan lebih pendiam dari dinding yang tak kunjung berpindah dari tempatnya, hari ini cukup berbicara banyak. Berbicara hal-hal baik mengenai Aaron, kakaknya. Sekarang, aku bisa menyimpulkan kalau mereka saling mengagumi satu sama lain. Itu sangat jarang sekali terjadi. Sangat jarang sekali ada kakak-beradik yang sangat saling mengagumi seperti Aaron dan Jupiter. Itu artinya, mereka saling mengerti satu sama lain. Mereka saling menyayangi.
            “Maksud kamu apa, sih?” kata Aaron yang tersipu.
            Jupiter pun tak jarang mengeluarkan senyuman mahalnya. Iya, senyuman Jupiter memang sangat mahal harganya. Aku, kami dikelas, harus menunggu saat-saat paling baik untuk dapat melihat Jupiter menyunggingkan bibir tipisnya. Ia sangat jarang mengeluarkan senyum, bahkan berbicara.

*

            “Aku sangat suka melihatmu dan Aaron saat sedang berbicara. Kalian hanya saling mengagumi satu sama lain.”
            “Akulah yang mengaguminya. Bukan sebaliknya,” kata Jupiter.
            “Bukan itu yang aku lihat. Kalian terlihat sangat saling mengagumi. Kalian terlihat saling mernyayangi. Itu hal luar biasa menurutku.”
            “Untuk apa kamu duduk disitu dan ingin berbicara panjang lebar denganku?”
            “Apa itu salah? Aku hanya ingin berbicara denganmu.”
            “Untuk apa?”
            “Haruskah punya alasan untuk hanya sekedar berbicara dengan seorang teman?”
“Kalau menurutmu aku dan Aaron saling menyayangi, seharusnya kamu mengerti.”
“Aku nggak mengerti apa yang sedang kamu bicarakan.”
“Aku yakin kamu mengerti.”
“Kenapa? Kamu menyukaiku? Kamu cemburu terhadap Aaron?!”
Jupiter terdiam. Cukup lama. Aku terus menunggunya untuk mengeluarkan suara lagi.
“Kamu nggak berhak mengatakan hal tadi.” Jupiter menatapku lekat sebelum akhirnya membuang tatapannya kearah lain.
“Lalu kenapa?!”
“Pergilah! Jangan berbicara padaku lagi. Jangan pernah melakukannya lagi.”
Tidakkah ia tahu? Tidakkah Jupiter tahu bahwa kalimat yang baru saja ia ucapkan mampu membuatku ingin merontah kesakitan? Tidakkah ia mengerti betapa bahagianya aku saat mengetahui bahwa ia adalah adik yang sangat dibanggakan Aaron? Tidakkah ia memikirkan perasaanku? Perasaan yang  belum pernah sekalipun perpindah dari dirinya semenjak beberapa tahun yang kita jalani sebagai classmate? Tidakkah ia tahu apa yang baru saja ia lakukan padaku? Pada hatiku?

*


Aku ingin semuanya jelas hari ini. Temui aku ditaman waktu itu sekarang juga.


Begitulah isi pesan singkat yang baru saja di kirim Aaron ke ponselku.
Maka aku bergegas pergi ke tempat yang dijanjikan Aaron dalam pesan singkat itu.
Setelah aku menghentikan sebuah taksi yang berhasil membawaku kemari, aku berjalan menuju bangku taman yang menjadi favoritku dan Aaron.
Disana telah ada Aaron yang duduk termangu bersama seorang laki-laki yang begitu akrab dalam ingatanku. Mereka sedang duduk membelakangiku.
“Hey,” sapaku pelan.
Mereka berdua berdiri beriringan menyambutku.
Entah hanya beberapa detik berlalu, yang hanya kita lalui dengan diam dan saling pandang, seorang perempuan datang mendekat kearah kami, berdiri disamping kananku dengan satu lengan yang merangkul akrab diatas pundakku.
Perlahan Aaron meraih lengan perempuan itu yang kemudian berjalan mendekati Aaron.
She’s what we’ve been talking about along the time. Me and Evyta.
“Jadi, aku berbicara tentangmu pada Evyta untuk berterima kasih karena apa yang telah Evyta lakukan untukku dan Meisa.” Lanjut Aaron setelah terhenti beberapa detik.
Meisa tersenyum menatap Jupiter yang juga sangat akrab dengannya itu. Aku tidak tahu harus menunjukkan ekpresi macam apa di saat seperti ini. Aaron hanya terus berbicara. Terus meluruskan semua yang terjadi.
“Menurutku, Evyta sangat baik untuk adik terbaikku. Maka aku berniat untuk mengenalkan kalian. Tapi ternyata, Tuhan telah lebih dulu memperkenalkan kalian satu sama lain,” sambung Aaron.
“Begitukah?” Akhirnya Jupiter mengeluarkan suaranya.
“Aku mencintai Meisa. Hanya mencintai Meisa. Aku jatuh cinta pada sebuah tatapan yang mendekapku lembut waktu itu. Sebuah tatapan yang membuatku tak dapat bekata lebih banyak lagi selain satu kata ‘maaf’. Tatapan yang mengantarku sering sekali bertemu dengan Evyta, sahabat si pemilik tatapan itu.”
Entah apa yang terjadi di kedalaman hatiku saat ini, aku hanya mampu mengeluarkan sebuah senyuman termanis sembari menatap Jupiter, mimpiku.
Jupiter melakukan hal yang sama. Melesakkan senyuman khas miliknya dengan mata yang tak sekalipun terlepas dari kedua mataku.


(((CERPEN)))

Akhirnya...

Rasanya, sudah cukup lama blog ini saya buat. Mungkin selama itulah waktu yang saya butuhkan untuk akhirnya mencoba menulis di blog ini. Tidakkah hal itu sedikit berlebihan?
Namun, melalui blog ini, aku hanya ingin sedikit berbagi tulisan untuk kalian semua.
Merangkai kata-kata indah, dalam harmoni barisan kata-kata.

Menulis telah menjadi teman hidupku dalam waktu yang cukup lama. Walaupun terlalu banyak koreksi yang kulemparkan sendiri terhadap tulisan-tulisanku, aku tetap ingin menyajikannya dalam sepiring hiburan untuk mendapatkan koreksi yang nyata. Koreksi yang datang dari orang lain, adalah koreksi yang nyata menurutku. Karena seberapa banyakpun aku mengoreksi tulisan-tulisanku, tulisan-tulisan itu tidak akan banyak berubah. Jelas berbeda dengan koreksi yang didapat dari orang lain. Hal itu akan memacuku untuk dapat membuat sesuatu yang lebih baik lagi. To make something better than before lah.

Cukup banyak waktu yang kulalui dengan melakukan hobiku. Kesukaanku. Kutorehkan imajinasiku di lembar demi lembar kertas putih bersih yang dipeluk teknologi; komputerku tersayang.
Sejak pertama kali aku menemukan sebuah bakat, atau mungkin hanyalah sebuah hobi yang tersimpan rapi masih dengan pita merah yang menyampulnya dikedalaman hatiku, SMP lalu, aku hanya sering memaparkan kata per kata yang ada dalam kepalaku di sebuah komputer lusuh milik ayahku. Awalnya, komputer itu diletakkan kokoh di atas meja kerja ayah di kantornya. Maka aku sering meminta ayah untuk menajakku kesana hanya untuk menyalurkan hobiku. Aku bermimpi untuk membuat sebuah novel kala itu. Aku tidak bermimpi untuk menjadi seorang penulis. Belum. Hanya saja, aku ingin mencetak imajinasiku pada tinta-tinta hitam yang kubuat menari-nari di hamparan putih kertas dalam program Microsoft Word. Dalam seminggu, bisa beberapa kali aku menapaki langkah menuju kantor ayahku saat menjelang sore hari. Tentu saja, bersama dengan ayahku. Mana mau aku kesana sediri :D

Sedikit membongkar rahasia, dulu aku begitu pemalu. hehe.
Aku bahkan sesekali berkata ingin membuat tugas yang harus diketik dan di-print hanya untuk dapat 'bertemu' dengan sebuah alat yang bisa membuatku tanpa lelah, setidaknya tidak begitu lelah, walau sudah beribu-ribu kata yang berhasil kucetak, daripada harus menulisnya dalam secarik kertas dengan pena dan tentu saja tanganku sendiri.

Satu tahun berlalu. Novel yang kuidam-idamkan hampir saja beres. Tersisa chapter terkahir yang harus aku ketik, seingatku. Maka aku tulis garis-garis besar cerita yang ingin aku jadikan sebuah akhir fdari novelku itu di sebuah buku catatan yang terletak di lemari bukuku sampai saat ini. Aku tidak sabar ingin melihat akhir dari deretan-deretan paragraf yang kutulis. Tapi sore itu berbeda.
Ayah berkata, ia tidak memerlukan komputer itu lagi untuk terus berada di ruang kerjanya di kantor. Maka ia membawa pulang seluruh komponen komputer komputer yang telah menjadi temanku selama setahun terakhir ini. Jelas, betapa bahagianya aku saat mendengarnya, karena aku tidak perlu kemana-mana lagi untuk menyalurkan hobiku itu. Hanya diam di kamar, dan membiarkan jari-jemari lentikku menari riang di atas tombol-tombol keyboard yang berbaris rapi.

Aku sudah siap di depan komputerku sayang. Perlahan, kucari dokumen yang kusimpan rapi didalamnya. Dan... 'Byar!!' DOKUMEN ITU TIDAK BISA DIBUKA.
Ada apa ini?! Apa aku salah dengan langkah-langkah untuk membuka sebuah dokumen di komputer? Tidak mungkin. Aku melakukannya hampir setiap hari dalam setahun terakhir ini. Aku mencobanya lagi. Dan hanya ada beberapa kata yang muncul dalam bahasa asing yang cukup kumengerti. Disitu tertulis kalau dokumenku tidak bisa dibuka karena terlalu banyak halaman yang telah kuhabiskan, over memory limit.

Dokumenku, novelku, hilang seketika. Sesaat mataku memanas, tetapi hanya mampu terdiam tanpa kata. Aku sangat panik. Bagaimana bisa usahaku setahun terakhir ini berakhir begitu saja tanpa sisa?! Bukan menulis yang kumaksud dengan 'usaha'. Karena bagaimanapun, aku selalu meikmati saat-saat ketika aku sedang menlis. Tidak ada usaha disana. Hanya kebahagiaan. Usaha yang kumaksud adalah saat aku selalu meminta untuk diajak ayah ke kantornya. Bahkan sampai memberi alasan karena sebuah tugas. Semuanya hilang begitu saja. Sangat menyesakkan dada.

Setelah kejadian itu, aku merasa lelah dan takut jika harus mulai menulis lagi. Bagaimana jika di penghujung tulisanku, semua akan pergi juga meninggalkanku tanpa bekas?

Sejak itu, aku tidak pernah lagi menulis walau komputer sudah berada dekat denganku. Hanya berjarak beberapa jengkal dari tempatku membaringkan tubuh dikala malam telah larut. Aku masih takut. Takut kecewa.

Sampai pada suatu hari, masih ditahun yang sama, aku mendapat tugas dari guru bahasa Indonesia di SMA untuk membuat sebuah cerpen. Maka mulailah aku membuka diri, mengumpulkan butir-butir keberanian yang masih berserakkan di lantai. Dan ini untuk kali pertama aku menulis bukan karena keinginanku sendiri, melainkan keharusan dari seseorang.

Sebuah cerpen selesai dalam waktu beberapa hari. Bahkan ending-nya sangat tidak bagus menurutku. Jelek!

Aku tidak mempedulikannya, karena yang terpenting, aku sudah berhasil menyelesaikannya dan bisa mengumpulkannya.

Ada hari lain lagi di tahun yang sama, yang membuat api-api semangat menulisku kembali berkobar. Ada seorang teman yang mengajakku untuk mengikuti sebuah lomba menulis cerpen di kota ini. Dan berbeda dengan saat menerima tugas membuat cerpen, aku merasakan kebahagiaan di dalam hatiku. Walau ternyata belum cukup untuk menghapus rasa kecewaku. Maka, aku hanya memoles sedikit cerpen yang menjadi tugas sekolahku untuk aku ikut-sertakan dalam sebuah lomba menulis cerpen.
Katanya, pemenangnya akan dihubungi secepatnya. Aku tidak berniat untuk duduk terpaku, sambil menunggu telepon berdering. Cerpenku itu kacau. Ending-nya jelek sekali menurutku.

Dan benar saja! Aku tidak dihubungi oleh siapapun bahkan setelah bulan berganti. Tetapi, karena dua hal itu, aku berhasil menulis lagi. Dan setelah itu, api semangatku kian hari kian berkobar. Apalagi saat aku tidak dihubungi pihak penyelenggara lomba. Aku bertekad untuk merubah pertengahan hinga akhir cerpenku tadi agar menjadi lebih baik. Dan mulai dari situ, aku mau menulis lagi. Bahkan tidak membutuhkan waktu lama, aku berhasil mengubah semua yang ingin kuubah dari cerpenku tadi.

Perlahan, rasa kecewaku menghilang dimakan waktu. Maka aku putuskan untuk membuat cerpen-cerpen saja karena belum sanggup untuk mengulang membuat novel lagi. Sampai saat ini, menulis masih menjadi dunia yang tersembunyi jauh di lubuk hatiku, serta terasa hangat disana. Hanya aku yang bisa merasakan kemegahan dan segala keindahan serta kenyamanan yang ditawarkannya.
Sejak saat itu, bahkan sampai sekarang, aku masih bergumul dengan komputerku tersayang untuk membuat tulisan-tulisan yang ada di dalam imajinasiku. Bahkan saat zaman sudah tersentuh teknologi yang lebih canggih, laptop sudah ada di genggaman, dan bisa aku bawa keanapun untuk mendapatkan inspirasi-inspirasi menulis, komputerku sayang masih menjadi wadah utamaku.

Aku lebih suka menulis dalam dekapan dinding-dinding persegi panjang. Setidaknya, sampai saat ini, belum ada yang berubah.