Rabu, 06 November 2013

Secercah Kebahagiaan

Kilau mentari senja itu, cukup menyilaukan mata. Maka ku raih tas tanganku dan ku letakkan tepat di samping kepalaku yang terkena seberkas sinar matahari. Sebentar lagi, mentari akan benar-benar terbenam. Mengubah siang yang cerah binar menjadi malam yang gelap berbalut bintang-bintang dan sebuah pencahayaan terang mempesona yang disebut bulan.

Warna mentari saat senja sungguh indah. Lebih indah dari kerlap-kerlip lampu kota di malam hari, juga lebih cantik dari paras kecil, imut dan menggemaskan milik boneka Barbie. Keindahannya mampu mengguncang ketenangan jiwaku. Aku sungguh menyukainya. Menyukai warna oranye pada mentari yang mulai terbenam serta suasana yang nyaman yang selalu kurasakan kala menikmatinya.

Aku tiba tepat waktu. Saat mentari benar-benar akan menghilang dan membiarkan para bintang-gemintang menggantikan pekerjaannya menerangi bumi. Kumasuki kafe yang terletak tepat menghadap pantai yang luar biasa indahnya saat senja. Sinarnya khusus terpapar pada kafe ini dan beberapa macam tempat yang berbaris indah di kiri dan kanan kafe. Ada florist shop, sport shop, dan masih banyak lagi. Semuanya berbaris indah menghadap lautan lepas.

Bibir pantai terlihat indah dan menawan dengan banyak orang yang duduk menatap ke mentari yang hanya sebentar lagi akan terbenam itu. Semua orang menikmatinya. Menikmati suasana menyenangkan serta menenangkan yang terjadi setiap senja.

Senja adalah salah satu favoritku. Merupakan salah satu duniaku. Dunia yang nyaman untuk tempat kumenetap sepanjang waktu. Menghabiskan seluruh kisah terindahku dengan orang-orang yang ku sayangi.

Cepat-cepat kukeluarkan sketchbook dari dalam tas, beserta pensil kesayanganku. Maka ku mulai membuat guratan-guratan indah dengan objek luar biasa yang terbentang di depan mataku. Para orang-orang yang bersantai di bibir pantai, menunggu mentari terbenam. Aku tersenyum sepanjang melakukan kegiatanku.             
Hal yang rutin ku lakukan pada hari libur. Aku datang ke kafe ini saat senja, lalu membiarkan jari-jemari melakukan hobiku sejak kecil ini; menggambar.

Menggambar memang adalah hobiku. Tetapi aku belum pernah berani mencoba untuk melakukannya pada kanvas putih. Aku belum mampu. Atau mungkin, takut kalau mendapatkan hasil yang buruk. Semua keluarga dan teman-teman selalu memintaku untuk melakukannya. Tapi aku masih belum bisa. Entah kapan aku akan mulai membuka diriku untuk melakukan hal itu. Untuk sedikit melangkah kedepan.

Dimanapun, kapanpun, dalam keadaan apapun, jikala ide menyusup masuk ke kepalaku, aku akan langsung menuangkannya pada sketchbook-ku tersayang. Dan tempat ini, kafe ini, adalah yang menjadi favoritku. Tempat ini begitu nyaman dan indah. Bagai memancing semua kemampuan menggambarku untuk dapat ku tuangkan. Sangat banyak ide yang bisa ku temukan ditempat ini. Apalagi pantai yang terbentang luas di depan mata, mempunya ribuan, jutaan, bahkan miliaran ide yang tersimpan rapi dan sesegera mungkin menyergap relung hatiku yang langsung saja merasa bahagia dan ingin sekali menggambar. 
            
            Hari ini tidak seperti biasanya. Ada suatu hal yang menyusup masuk ke dalam relung hatiku. Bukan sebuah ide untuk menggambar. Tapi… hal itu sangat indah. Sangat pekat terasa di kedalaman hati. Menyentil kecil pada relung hati, dan seketika itu juga jantungku memompa dengan kecepatan diatas rata-rata. Cepat sekali. Membuat seluruh tingkahku menjadi aneh dan kacau.

Objek mengagumkan itu berada tepat di depan mataku. Memberi senyuman hangat pada seorang teman yang kemudian berlalu. Ia memesan sesuatu pada seorang pelayan kafe. Dengan mata sayu yang berbinar dan senyum manis yang terlukis jelas diwajahnya. Tanpa sadar, aku membuka lembar berikut dari sketchbook-ku yang masih kosong. Tanpa terasa pula, hatiku yang menggambar objek indah itu diatas sketchbook-ku. Bukan tanganku lagi yang melakukannya, melainkan hatiku.

Mataku mulai menekuri satu per satu keindahan yang tergambar jelas disana tanpa sedikitpun memalingkan wajah. Indah sekali. Sekarang ia disibukkan dengan sebuah kamera Digital Single Lens Reflex atau yang kita kenal dengan kamera DSLR yang menggantung mantap di lehernya.

Aku belum pernah melihatnya disini. Entah sudah berapa kali aku datang ke tempat ini selama 6 bulan terakhir, dan baru hari ini aku diperkenalkan dengan seorang lelaki berparas malikat super tampan yang berada tepat di depan mataku sekarang.

*

“Permisi,” kata sebuah suara yang cukup menggangguku yang sedang asik-asiknya menggambar.
Aku sedikit menoleh, “Iya?” tanyaku sembari coba mengenali wajah seseorang yang berdiri di samping tempat aku duduk.
“Boleh aku duduk disini? Tempatnya penuh semua. Sebentar aja, kok. Aku hanya perlu mengedit beberapa foto.”
“Silahkan.” Tidak salah lagi! Dia adalah laki-laki kemarin. Lelaki yang kusebut berparas malaikat itu.

Bagaimana ini? Jantungku saling berpacu lagi dengan aliran darah yang mengucur deras di dalam tubuh. Apakah ini adalah cara Tuhan untuk mendekatkan kami? Ah, terima kasih, Tuhan. Engkau maha baik.

“Aku  Razy,” kata lelaki berparas malaikat itu sembari mengulurkan tangan kanannya untuk ku jabat.
“Arizah,” kataku sembari menyebutkan namaku dan menjabat tangan dinginnya.
“Kamu sedang apa?”
“Menggambar.”
“Wah, hobi kita hampir sama, loh! Kamu menuangkan objek indah yang kamu lihat dalam sebuah sketchbook, sedangkan aku, dengan menggunakan sebuah kamera.”
“Oh, iya. Kemarin aku sempat lihat kamu. Dan tanpa lupa membawa kamera itu.”
Razy hanya tersenyum lalu kembali memberikan seluruh perhatiannya pada sebuah laptop yang duduk manis di depannya.
“Ah, aku pergi duluan, ya, Arizah.” Razy menyebutkan namaku dengan sedikit keraguan. Mungkin dia cukup melupakan nama yang ku sebutkan tadi.

Razy lalu berlalu dengan cepatnya setelah berpamitan padaku. Tapi, rasanya aku masih belum mau berpisah dengannya. Mengapa peristiwa yang selalu ku tunggu-tunggu sejak pertemuan pertama kami kemarin, berlalu dengan begitu cepatnya? Aku masih sangat dibuat penasaran oleh lelaki berparas malaikat bernama Razy itu.

Seakan seluruh alam semesta meminta, menyuruh, mengharuskanku untuk bangkit dan pergi mengejar Razy. Untuk mengetahui apa yang membuat Razy harus pergi terburu-buru. Maka aku bangkit dari tempat dudukku, mengabaikan keindahan senja yang masih bisa ku rasakan dalam beberapa menit lagi, lalu berlari menaiki sebuah taksi dan mengejar motor Razy yang berlalu begitu cepat.

Entah berapa lama, motor Razy berhenti di sebuah perkampungan kumuh. Banyak anak-anak dengan pakaian ‘seadanya’ berlarian riang kesana-kemari. Sangat menyentuh relung hatiku yang membuat mata ini mulai berkaca-kaca. Aku memutuskan untuk tidak keluar dari taksi. Sepertinya, aku bisa walau hanya menyaksikan apapun yang dilakukan Razy dari balik kaca jendela taksi.

Razy memasuki sebuah rumah lalu keluar dengan dua orang anak, laki-laki dan perempuan yang terlihat luar biasa bahagianya. Mereka duduk di depan rumah yang baru saja Razy masuki. Keduanya tertawa gembira saat Razy menunjukkan sesuatu dalam kameranya. Beberapa saat kemudian, seorang gadis berparas cantik dan lembut keluar dengan baki yang berisi cangkir seadanya yang lalu diberikannya pada Razy. Razy menyambutnya dengan sebuah senyuman lalu menyesapnya perlahan. Gadis yang kira-kira seumuran denganku itu lalu duduk di samping Razy. Mereka berdua dikelilingi oleh kedua anak kecil tadi. Seperti sebuah keluarga yang sangat bahagia. Tapi aku yakin seratus persen mereka bukanlah sebuah keluarga. Karena kedua anak disamping merekapun lebih pantas disebut adik-adik mereka daripada anak.

Tatapan Razy berbeda terhadap perempuan itu. Tatapan yang penuh arti. Apakah perempuan itu adalah kekasihnya? Entahlah. Tapi bagaimana bisa mereka saling berkenalan? Kepalaku kacau. Kepalaku pusing. Aku tidak tahu lagi mana yang benar dan mana yang salah. Kepalaku hanya bisa sibuk mengira-ngira tanpa tahu kebenarannya.

*

“Hey!” teriak Razy saat baru saja tiba dan langsung menduduki bangku di sampingku.
“Razy? Habis motret lagi?” tanyaku.
“Iya dong!” kata Razy dengan semangat sembari mengarahkan lensa kameranya ke arahku dan, “krik,” Razy memotretku.
“Apa, sih? Bilang-bilang dulu dong kalau mau foto. Kan biar bisa gaya dulu,” kataku cemberut.
Ngapain gaya? Kamu punya bentuk wajah yang bagus, tau! Apalagi dagu runcing kamu, tuh. Nge-gemesin banget…” Razy mencubit daguku. Aku tersipu malu.
“Bohong banget sih. Pasti kata-katanya sama deh yang di bilang kesemua cewek,” kataku, mencoba bercanda.
“Ih, dibilangin juga! Beneran, beneran. Wajah kamu tuh bagus banget buat jadi objek foto. Mau kamu kasih lihat muka kayak gimana juga, tetep bagus hasil fotonya.” Razy berkata jujur.
Aku semakin tersipu malu. Bahkan lelaki berparas malaikat yang kukagumipun, mengagumi wajahku. Bagaimana ini? Benarkah dia yang Kau sediakan untukku, Tuhan?
“Kamu mau ikut aku, nggak?” tanya Razy yang masih saja sibuk dengan kamera kesayangannya .
“Ikut kemana?”
“Suatu tempat,”
Okay,”

Akupun menaiki motor besar milik Razy yang seketika itu melaju kencang. Angin bertiup lebih kencang lagi. Membuat rambut panjang yang kugerai melayang kemana-mana, menutupi wajahku. Aroma khas lelaki tercium pekat dihidungku. Aku menikmatinya.

“Tempat apa ini, Raz?” tanyaku saat Razy menghentikan dan memarkir motornya. Ini adalah tempat waktu itu. Tempat yang dikunjungi Razy waktu itu. Pemukiman kumuh ini. Mengapa Razy mengajakku ke tempat ini? Untuk memperkenalkan dunianya padaku? Sesuatu yang ia senangi? Ia akan membaginya denganku?
“Mungkin rasa peduliku terhadap sekitar yang mengantarku pertama kali ke tempat ini dua tahun yang lalu.” Razy menerawang.
“Kamu punya jiwa sosial yang tinggi, ya,”
Nggak juga. Aku hanya merasa sedikit lebih beruntung dari mereka. Dan tidak sanggup hidup di atas segala keberuntungan yang aku punya, sedangkan masih banyak orang seperti mereka di sekelilingku. Rumahku tepat berada dibalik pemukiman ini. Sebuah perumahan real estate yang dibanggakan orang-orang yang hanya mementingkan diri mereka sendiri.”

Aku hanya mencoba mendengarkan Razy sebaik mungkin tanpa mengalihkan penglihatanku dari paras malaikat yang dimiliki Razy itu.
“Ayo, aku perkenalkan dengan sebuah keluarga yang sudah sangat akrab denganku.” Razy lalu berjalan lurus menuju rumah yang ia masukki waktu itu. Aku mengikutinya dari belakang.
Razy langsung saja disambut oleh kedua anak-anak yang ku lihat waktu itu.
“Mas Razy. Selamat sore,” kata suara lembut milik perempuan yang ku lihat pula waktu itu. Razy tersenyum menatap si pemilik suara lembut tadi sembari mengelus pundaknya.
“Riz, kenalin. Ini Karina, dan anak-anak kecil yang lucu-lucu ini Fahra dan Fahri, adik-adik Karina. Mereka berdua kembar.” Razy memperkenalkan semuanya padaku. Akupun menjabat tangan mereka satu per satu. Entah perempuan macam apa yang ada di hadapanku saat ini, yang katanya bernama Karina, sungguh mengeluarkan karisma luar biasa saat matanya menatapku. Aku bahkan bisa merasakannya saat ia menyebutkan namanya dan tersenyum manis kepadaku. Aku merasa sudah sangat dekat dengan perempuan yang memiliki tingkat keramahan di atas rata-rata ini. Ramah sekali… dan sopan.
“Mereka nggak punya orangtua lagi. Karina yang menjadi tulang-punggung keluarga ini. Karina mau bekerja dimana saja, menjadi apa saja, asalkan halal. Ia bahkan pernah bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Karina sangat bertanggungjawab pada keluarganya. Pada kedua adik-adiknya ini,” jelas Razy.

Kami semua duduk dilantai yang beralaskan tanah. Razy tidak merasa risih sedikitpun. Ia seperti menikmati semuanya. Tertawa bahagia sembari bergurau dengan Fahra dan Fahri yang juga tertawa gembira. Karina hanya terus melesakkan senyum manisnya. Benar-benar terlihat seperti sebuah keluarga. Sebuah keluarga yang bahagia.

Aku mencoba membangun percakapan dengan Karina yang bisa langsung nyambung. Karina benar-benar perempuan cerdas. Apakah perempuan seperti ini yang disukai Razy? Tidak. Aku tidak boleh membuat kesimpulan apapun. Tadi saja Razy tidak memperkenalkan Karina sebagai siapapun apalagi pacarnya. Jadi, tidak mungkin.

Seandainya saja Karina adalah seorang wanita paruh baya, orang tua dari Fahra dan Fahri, aku tidak akan mungkin sekhawatir ini. Entah kapan aku mampu membongkar seluruh rasa cinta yang kupunya terhadap Razy, batinku.

*

Hari ini benar-benar ku habiskan bersama Razy, lelaki berparas malaikat itu. Aku diajaknya berfoto-foto di pantai, ia memintaku untuk melukiskan wajahnya, kami berbagi hobi yang kami punya sore tadi. Aku benar-benar merasa senang. Aku merasakan secercah kebahagiaan yang diberikan Razy. Tapi, apakah Razy merasakan kebahagiaan yang sama denganku? Tentu saja! Aku tahu benar kalau Razy sangat menikmati hari ini. Begitupun aku. Belum pernah ada hari semacam ini di dalam hidupku. Biasanya orang-orang yang sudah ‘ber-label’ pacarkulah yang menghabiskan hari semacam ini bersamaku. Belum pernah ada lelaki asing, berparas malaikat, membuat kata-kataku meghilang seketika, dan entah kapan akan memaksaku memberikan ‘label’ pacar pada dirinya, yang menjadi teman dihari semacam ini bagiku. Hari yang sangat menyenangkan, hari yang sangat berkesan, hari yang tidak terlupakan.

“Lihat, nih, jelek banget! Hahaha.” Tawa Razy menghambur setelah menunjukkan foto wajah cemberut yang sengaja diambilnya tadi.
“Dihapus, ah, dihapus!” kataku, memamerkan tampang serupa dengan yang ada pada foto itu.
Razy hanya terus tertawa sambil sesekali menyuapi mulutnya dengan ayam goreng di depannya.
Nyebelin banget sih!”
Nggak kok, enggak. Kamu kan selalu cantik. Ingat! Wajah yang kamu punya itu bagus. Unik!”
“Mulai deh..”
“Makan dulu, Riz.”
“Iya, Raz.”
“Iya doang tapi nggak dimakan.”
“Makanya jangan nyebelin dong!”
“Iya deh, iya. Hahahahaha.” Razy tertawa lagi.

Aku mencoba membuat sebuah keajaiban dunia lagi. Kucoba membuat garis demi garis pada sketchbook-ku. Terbang melayang di kedalaman hati, mencoba memahami setiap garis per garis yang kuciptakan dan tersusun rapi dalam balutan cover hitam penuh harapan.

Perlahan, sebuah wajah tertera di atas kertas putih dalam sketchbook ber–cover hitam milikku. Sebuah wajah milik malaikat yang tersenyum manis di depanku selama aku mencetaknya di permukaan kertas putih bersih ini.

Sembari menyunggingkan senyum, aku memperlihatkan hasil karyaku padanya. Ia melompat kegirangan. Melihat betapa indah wajah milik malaikat yang ada pada dirinya. Menjadi sebuah identitas utama selain nama untuk dapat dikenali.

By the way, sekali-sekali aku mau dong diajak kerumah kamu,” kata Razy lagi.
“Untuk apa?”
“Aku ingin melihat-lihat lukisan yang kamu punya. Pasti kamu punya banyak, kan?”
Aku terdiam. Tetapi wajah itu terus saja memintaku untuk menjelaskan sesuatu smapai akhirnya aku memutuskuskan untuk membuka suara, “Sampai sekarang, aku belum punya keberanian untuk melukis di atas kanvas,” kataku sembari menundukkan kepalaku.
“Benarkah? Kenapa?” tanya Razy, cukup kaget.
“Entahlah. Aku hanya belum berani.”
“Tapi kapan? Keberanian nggak akan pernah datang begitu aja tanpa sebuah kemauan. Gambar kamu bagus-bagus semua kok. Jadi kapan kamu akan mengundang keberanian itu datang?”
Kata-kata Razy cukup menyentil batinku. Apakah sekarang sudah saatnya? Melangkah satu langkah lebih maju? Tapi aku harus mulai darimana?


*

“Kesini lagi?” tanyaku.
“Yup. Kamu nggak keberatan, kan?” Razy mencoba menilitik wajahku.
Enggak,” jawabku pelan.

Aku keberatan. Iya, aku benar-benar keberatan jika harus di ajak ketempat ini terus-menerus. Aku merasa minder setiap aku bertemu Karina. Ia adalah perempuan yang mempesona. Aku tak sanggup melihat Razy dan Karina kala saling menatap. Apa aku harus mengatakan pada Razy semua rasa yang kupunya untuk memperjelas semuanya? Juga untuk membuang jauh-jauh rasa khawatir yang kian hari, kian menyergap batinku. Aku tidak mampu. Melukis diatas kanvas saja aku belum mampu. Apalagi untuk mengumpulkan keberanian semacam itu.

Tapi kali ini berbeda. Razy bahkan tidak mengajakku masuk ke rumah Karina dan bertemu mereka semua. Kami hanya berdiri di seberang jalan menghadap kerumah yang sangat sederhana milik Karina. Kami hanya berdiri bersandar di motor milik Razy sambil mengobrol.

“Kita nggak kesana, Raz?” Akhirnya aku menanyakannya juga.
“Aku ingin kita disini aja. Maukah kamu mendengarkan curahan hatiku?” Razy mengatakannya tanpa sedikitpun memalingkan wajahnya dari rumah sederhana milik Karina.
“Tentu saja, Raz,” balasku.
“Aku ingin membahagiakan mereka. Membahagiakan Fahra, Fahri, juga Karina. Aku ingin membuat mereka merasa menjadi orang paling bahagia di dunia ini.”
“Kamu sangat menyayangi mereka, ya?”
“Mungkin lebih dari itu. Aku tidak mampu kehilangan mereka.”

Pembicaraan macam apa yang sedang berlangsung ini. Apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh Razy? Aku terus menunggu hingga ujung pembicaraan.

“Aku sangat menyayangi Fahra dan Fahri. Aku sangat menyayangi Karina. Ternyata, hubungan yang kami bangun buru-buru satu setengah tahun yang lalu, bukanlah sebuah kesalahan. Malah sekarang, aku benar-benar sangat bersyukur karena memiliki mereka. Karena memiliki Karina.” Razy tersenyum menatapku.

Tapi kali ini, senyuman itu bukanlah senyuman menenangkan batin lagi bagiku. Melainkan senyuman yang sangat tajam, melebihi ketajaman pisau yang seketika menusuk-nusuk hatiku. Hatiku menjerit. Sakit… Sakit sekali. Bisa-bisanya senyuman menenangkan batin yang selalu kutunggu-tunggu, sekarang menjadi pisau paling tajam yang pernah ada. Razy baru saja menyobek-nyobek relung hatiku. Meruntuhkan seluruh harapan yang berdiri kokoh berbingkai yang kubangun dalam tanah lapang di permukaan hatiku. Dengan mudahnya, Razy menancapkan pedang tajam, membuat goncangan maha dahsyat yang seketika meruntuhkan semuanya. Semua yang kubangun penuh harap.

Kok diam?” tanya Razy saat aku tidak menjawab.
Ia tidak tahu sedang ada bencana besar yang terjadi di dalam hatiku. Bencana yang meluluh-lantahkan permukaan hati yang indah berhias bunga-bunga yang kutanam seiring waktu berjalan. Seiring waktu yang kulalui hanya bersama Razy.
“Sepertinya aku nggak enak badan. Tolong antarkan aku pulang, Raz.” Suaraku benar-benar melemah. Kekuatan yang tersisa hanyalah sebuah kekuatan yang mampu menopang diriku yang sebentar lagi akan terjuntai lemah di tanah.
“Kamu sakit? Kamu kenapa, Riz?!” Razy cukup panik. Lalu seketika ia melajukan motornya dan membawaku ke rumah.

*

Setelah hari itu, aku tidak pernah melihat Razy lagi. Entah kenapa setelah beberapa hari kuhabiskan untuk memikirkan semuanya, aku masih saja mempunyai secercah harapan di dalam hatiku. Harapan bahwa Razy diciptakan Tuhan hanya untukku. Bahkan hal picik lewat di kepalaku dengan kasarnya. Aku sempat berpikir bagaimana mungkin keluarga Razy mengizinkan perempuan sesederhana itu yang menjadi wanita pendamping hidup Razy. Aku benar-benar menjadi korban sinetron-sinetron picik yang banyak beredar. Untungnya, aku masih punya Tuhan. Aku tidak boleh sekalipun berpikiran seperti tadi. Tuhan saja tidak pernah membanding-bandingkan setiap ciptaannya, apalagi aku yang benar-benar tidak punya hak atas kehidupan orang lain.

Setelah hari itu pula, aku masih terus mencari Razy. Di kafe; tempat pertama kita bertemu, bahkan di sekitar rumah Karina. Aku tidak pernah melihat Razy lagi. Aku merindukannya. Merindukan hari-hari indah yang ku lalui bersamanya. Razy yang memperlakukanku dengan begitu baik, mengagumi bentuk wajahku, dagu runcingku, memotret tanpa sepengetahuanku, Razyku, menghilang. Menghilang ditelan kemelut hatiku. Tapi apakah Razy tidak menghawatirkanku? Aku sakit waktu itu.

Satu bulan, dua bulan, tiga bulan berlalu. Aku tidak pernah lagi melihat Razy hingga aku penat mencari. Mencoba membuka diriku untuk hal-hal lain. Untuk apa aku terus memikirkan Razy yang belum tentu juga memikirkanku? Bagaimana kalau Razy tidak mengubah semua yang ia katakan waktu itu? Kata-kata yang menyakitkan hatiku, sedangkan aku masih sangat berharap ia akan melakukannya. Aku tidak mau menanggung resiko itu. Hidupku masih terbentang luas di depan mata. Setidaknya, ada secercah kebahagiaan yang telah kurasakan bersama dengan Razy. Kalau memang Razy yang Tuhan sediakan untukku, tentu ia akan kembali padaku.

*

Ada satu hal yang pernah dikatakan Razy, yang belum mampu kuhapus dari dalam kepalaku. Bahkan hal itu mengaung-ngaung sepanjang hari mengusik bantinku, “Jadi kapan kamu akan mengundang keberanian itu datang?” begitulah kira-kira pertanyaan yang pernah Razy lemparkan padaku. Hal itu pula yang membuatku sekarang sudah berani mencobanya. Menuangkan hobiku diatas kanvas putih bersih yang bersandar kokoh di depanku. Senyumannya. Itulah hal pertama yang coba kulukis di atas kanvas berukuran 60cm x 30cm in.

“Undangan kawinan siapa, ma?” tanyaku saat mendapati sebuah surat undangan berwarna putih di atas meja, di ruang tamuku.
Nggak tahu, sayang. Mama belum sempat lihat tadi,” jawab mama dari dalam kamarnya yang memang terletak di samping ruang tamu.

Perlahan kubuka sampul depan kertas undangan itu. Menekuri satu per satu nama yang tertera diatasnya, “Razy & Karina”.


(((CERPEN)))