Kamis, 27 Maret 2014

Siang, malam, dan tidur

Bagaimana jika tiga kata kita urai menjadi sebuah cerita?

           Siang yang cerah. Mentari berada tepat di puncak cakrawala. Tak henti-hentinya ia mendebar-debarkan jantung ini. Tak henti-hentinya ia membuat lengan ini terus mengusap keringat di dahi.

            Aku teringat akan sebuah janji. Janji yang terucap dalam diam. Ponselku berdering sesaat sebelum aku menaiki angkutan kota dengan warna biru yang menjadi trademark-nya. Saat itu, seseorang meminta persetujuanku untuk menemaninya melakukan satu hal. Satu hal yang jarang kulakukan sejak satu kata 'putus' tiga tahun yang lalu berhasil keluar dari mulutku dengan murkanya. Sejak saat itu, aku menutup diri untuk hal semacam itu. Sampai orang yang berbicara di ujung telefon tadi berhasil mencairkan hati ini.

            Malam tiba. Sesuai waktu yang telah dijanjikan, kami bertemu di tempat yang telah dijanjikan pula. Vintage style membalut hangat tubuhku malam ini. Kemeja biru tua bermotif bunga-bunga jadul yang kupadupadankan dengan rok hampir selutut berwarna senada, serta wedge setinggi 7cm. Aku memoles tipis wajahku dengan bedak dan sedikit lipstic berwarna nude di bibir, warna senada dengan wedge yang aku kenakan.

            Saat langkah ini berakhir, aku mendapatinya sedang berdiri sembari tersenyum padaku. Aku membalasnya dengan senyuman tipis, lalu kami memasuki ruangan berukuran besar dengan banyak orang di dalamnya yang dihipnotis masal oleh sebuah layar berukuran sangat besar. Layar raksasa itu sedang memutar film bertema dokumenter yang juga berhasil menghipnotis kami berdua.

            Malam telah larut. Ia mengantarku sampai di depan pintu rumah yang tertutup rapat. Setelah mengucap salam, Ia pun segera berlalu.

            Setelah semua yang hal yang terjadi hari ini, rutinitas yang kulakukan di kampusku, hal yang secara spontan terjadi dan mendapatkan persetujuanku, aku berakhir di sini. Di sudut ruangan berukuran 5x8 meter yang telah saling mengenal denganku sejak 21 tahun yang lalu, saat aku dibawa pulang dari sebuah rumah sakit bersalin. Sebuah ruangan yang telah mengalami perubahan sangat signifikan dari very first look-nya.

            Aku membaringkan tubuhku di atas kasur yang paling nyaman yang pernah ada, kemudian terlelap dalam angan.

Sabtu, 15 Maret 2014

A Love Language

           Menghambat aktivitas, membuat waktu bergerak lambat, membuatku merasakan malas sepanjang hari, suara yang mengganggu telinga, percikan yang tak ramah, membuat hari begitu kelabu, awan gelap, langit bergemuruh, dan masih banyak lagi.

           Begitulah aku sangat tidak menyukai suatu hal yang disebut hujan. Bahkan, bisa dibilang aku sangat membencinya. Aku benar-benar merasa tidak nyaman kala hujan mengguyur deras, atau pun hanya gerimis. Aku bahkan pernah merasa muak, kesal, dan marah di kala hujan datang. Alasannya adalah satu atau beberapa hal yang tertulis di atas.

           Bahkan, di kota yang kukagumi ini pun, aku masih harus merasakan yang namanya hujan. Rasanya, sudah cukup waktu yang kulewati untuk beristirahat seharian ini. Dan sekarang, aku ingin sekali pergi untuk melihat-lihat kota ini. Menyapa setiap sudut kota ini. Memberikan senyuman ramah, khas Negara kelahiranku.

           Waktu yang ku punya pun hanyalah sebentar. Tujuh hari. Lalu kenapa hujan harus mengacaukannya juga? Susah payah aku menabung dan mendapatkan izin kedua orang tuaku sehingga sekarang aku bisa berada di sini. Tapi, aku malah tidak bisa ke mana-mana seharian ini.

           Aku Syelia Myranka. Aku sedang berada di sebuah Negara, di bagian barat daya Eropa. Bersama dengan Portugal, Negara kerajaan ini terletak di semenanjung Iberia. Lansekap Negara ini didominasi oleh dataran tinggi dan pegunungan, seperti Pirenia dan Sierra Nevada. Dari tempat-tempat tersebut, mengalirlah berbagai sungai.

           Aku ada di sini karena sebuah mimpi. Sebuah mimpi yang selama ini mengganggu pikiranku; Ingin melihat secara langsung sebuah club sepak bola kebanggaanku bertanding.

           Aku memang adalah seorang perempuan yang sedang beranjak dewasa. Yang walaupun aku sangat berpenampilan feminine, aku juga sangat tertarik dengan olahraga sepak bola. Bukan untuk memainkannya, melainkan untuk menjadikannya sebuah tontonan yang sangat menarik. Tidak sekali pun aku melewatkan penampilan di lapangan hijau club kebanggaanku itu lewat layar kaca televisi.

          Club itu memang adalah sebuah club sepak bola yang berasal dari salah satu kota di Negara ini. Maka aku harus datang kemari jika ingin menyaksikan kelihaian mereka menggiring bola secara langsung. Jika harus menunggu mereka untuk mengadakan tour ke Negara kelahiranku, aku rasa hanya membuang-buang waktu saja. Maka semenjak aku duduk di bangku kelas 3 SMP, semenjak aku mulai mengagumi mereka, club itu, aku memulai menabung. Mulai menyisihkan sedikit demi sedikit uang jajanku. Aku melakukannya benar-benar dengan sunguh-sungguh. Ini adalah salah satu keinginan terbesarku dalam hidup ini.

          Hingga akhirnya, hari ini pun tiba. Hari yang aku rasa sangat tepat untuk melakukan perjalanan ini setelah berhasil mendapat izin dari kedua orang tuaku dengan susah payah, juga tambahan uang dari mereka.

          Sangat susah payah aku mendapatkan izin mereka. Bahkan aku harus selalu mengingatkannya pada kedua orang tuaku setiap saat. Aku berusaha menjadi seorang anak yang paling baik yang pernah mereka miliki, mendengarkan apa kata mereka tanpa sedikit pun bantahan keluar dari mulutku, aku benar-benar berusaha keras untuk mendapatkan satu kata ‘ya’ keluar dari mulut mereka. Maksudku, 2 kata ‘ya’ masing-masing dari mulut mama dan papa.

          Negara kelahiranku sendiri terletak di bagian tenggara Asia. Jadi, perjalanan yang berhasil kutempuh tadi pagi, waktu Eropa, adalah sebuah perjalanan yang cukup panjang. Untung saja aku tak sedikit pun merasakan jetlag. Jadi, sekarang, sore ini, aku benar-benar mau berjalan-jalan menikmati sebuah kota yang masih terasa asing di benakku ini.

*

          Aku berjalan gontai menuju lobby Motel. Aku sengaja memilih Motel, yang adalah sebuah penginapan menyerupai Hotel tetapi lebih kecil dan tidak memiliki fasilitas semewah Hotel. Maka harganya pun lebih murah untuk bisa menghemat di negeri orang ini. Motel biasa dijumpai di luar kota atau pinggiran kota. Tapi entah mengapa, Motel yang kutempati ini berdiri kokoh di tengah kota yang cukup besar ini. Dan hal ini sangat memudahkan para bagpacker atau orang yang ingin berhemat seperti aku, untuk bisa menikmati kota dengan biaya terbatas.

          Aku berniat untuk meminjam telepon dan mengabari keluargaku.

           “Permisi,” kataku dengan menggunakan bahasa setempat. Aku sendiri tidak terlalu mengerti bahasa setempat. Hanya saja aku sempat mempelajarinya, setidaknya kata-kata untuk memberi salam dan kata-kata dasar lainnya.

           “Selamat malam. Ada yang bisa saya bantu?” Seorang resepsionis itu berkata dengan ramahnya sambil menyunggingkan senyum lebar. Ia sengaja menggunakan sebuah bahasa Internasional karena ia tahu betul kalau aku adalah seorang turis. Bahasa tersebut adalah satu-satunya bahasa di dunia yang disahkan sebagai bahasa Internasional. Bahasa yang harus dipelajari dan dimengerti semua orang di muka bumi ini. Sebuah bahasa yang sudah mulai dikenalkan pada kita semenjak kita duduk di bangku Sekolah Dasar. Setidaknya, begitu yang kuketahui yang terjadi di Negaraku. Itu semua agar dapat memudahkan komunikasi antar negara.

           “Aku boleh pinjam telepon?” Aku pun membalasnya dengan menggunakan bahasa Internasional. Untung nilai-nilaiku dalam mata pelajaran tersebut cukup baik.

           “Silahkan.” Ia tersenyum lagi sembari memberiku gagang telepon yang tidak berkabel.

           Aku meraihnya. Lalu langsung saja aku menekan beberapa tombol yang begitu akrab bagiku. Setelah pembicaraan yang cukup panjang, aku mengembalikan gagang telepon tersebut pada resepsionis yang ramah sekali itu.

           “Maaf, Anda tidak mau kemana-mana malam ini? Sepertinya hujan sudah redah. Mungkin Anda ingin mencari udara segar?” kata resepsionis tadi kemudian.

           “Tapi ini sudah malam. Aku pun tidak tahu harus kemana,” jawabku.

           “Karena ini akhir pekan, di perempatan jalan sana ada sebuah kafe yang akan menghadirkan band pada akhir pekan seperti ini. Kafe itu cukup ramai dan menyenangkan. Mungkin akan bisa menghibur Anda.” Resepsionis itu memberi usul.

           “Boleh lah. Kafe apa, ya? Di mana?” Aku mulai tertarik.

           “Di perempatan jalan sana. Tepat dua belokan dari Motel ini. Band di kota kami bagus-bagus. Anda pasti akan terhibur,” kata resepsionis yang tak bosan-bosannya tersenyum.

           “Baiklah, terima kasih.”

           Aku bergegas ke kamarku, berganti pakaian dengan pakaian yang cukup hangat karena di kota ini sekarang sedang musim gugur. Udaranya cukup dingin, apalagi sekarang sudah malam.

           Setelah semuanya siap, aku segera bergegas ke kafe yang diusulkan si resepsionis ramah plus murah senyum milik Motel ini. Tak lupa aku melambaikan tangan saat melewati meja resepsionis. Resepsionis tadi pun tersenyum lagi padaku.

*

           “Bebe?” tanya seseorang dengan bahasa yang tidak kumengerti. Tapi ia menyodorkan segelas minuman ke arahku. Jadi mungkin maksudnya untuk menawariku minum.

           “No, thanks,” balasku.

           Aku berjalan agak menjauh dari laki-laki dengan perawakan agak menakutkan menurutku tadi. Rambut kecoklatannya yang gondrong terurai bebas, serta jenggot dan kumis yang cukup menutupi wajahnya. Ia mengenakan celana jeans dengan kaos V neck berwarna putih dan sebuah jacket dari bahan jeans membalut hangat kaos V neck-nya. Dengan sepatu boots yang menutupi separuh kakiknya beserta dengan celana jeans yang Ia kenakan. Celana jeans-nya agak sobek-sobek. Mungkin model yang sedang bagus-bagusnya di sini atau entah apa.

           Sesaat kemudian, bnad yang akan menghibur malam itu telah naik ke atas panggung kecil yang disediakan di ujung kafe. Semua orang berjalan mendekati panggung lalu berdiri tepat di depan panggung. Aku mengikutinya.

           Band tersebut hanya terdiri dari 2 orang. Seorang perempuan yang memegang mic dan seorang laki-laki dengan gitar akustiknya. Mereka adalah sebuah band akustik. Band yang cukup baik menurutku setelah mereka sudah menyelesaikan lagu pertama mereka. Banyak orang yang memberi tepukan tangan termasuk aku. Menurutku, bagus sekali.

           Tapi, jika lebih diperhatikan lagi, lelaki yang sedang memegang gitar itu… iya! Dia lelaki yang menawariku minum tadi. Tapi apakah memang dia? Jadi seorang artis pun di sini bisa berkeliaran bebas sampai-sampai mau menawari penonton yang mungkin adalah fans-nya minum? Ah, aku tidak mengerti. Terserah saja. Yang penting aku cukup menikmati semuanya. Dan dia, laki-laki tadi, mempunyai kemampuan yang hebat dalam memainkan gitarnya. Juga dalam bidang menyanyi. Karena aku sempat mendengarnya melakukan backing vocal tadi.

           Setelah band akustik itu mengakhiri lagu terakhirnya, mereka turun dari panggung dan berlalu entah kemana. Aku pun merasa kalau semuanya sudah selesai. Maka aku langsung beranjak dari tempat dudukku dan berjalan keluar.

           Saat aku tengah berdiri di depan pintu kafe, aku melihat mereka lagi, pemain band akustik tadi. Tapi sekarang, mereka sedang bertiga dengan seorang lelaki berbadan semampai. Sekilas kulihat laki-laki pemain gitar akustik tadi berbicara dengan lelaki bertubuh semampai. Mereka terlihat sedang melakukan sebuah pembicaraan serius. Lalu si gadis pergi dengan laki-laki bertubuh semampai, meninggalkan lelaki pemain gitar akustik.

           Aku tidak mau ambil pusing. Maka aku berjalan ke sebelah kiri menuju ke perempatan jalan yang terletak beberapa meter di samping kiriku.

           Aku begitu kedinginan. Gigi-gigiku tak henti-hentinya mengeluarkan bunyi gemelatuk. Kedua tanganku, aku letakkan bersilang di depan dada. Setelah sudah berada tepat di perempatan jalan, aku berniat untuk menyeberang kesebelah kanan menuju ke Motel. Tanpa sadar, aku berjalan sambil menunduk ke bawah.

            “Hei! Mau mati?!” teriak seseorang yang ternyata hampir saja menabrakku. Orang itu mengeluarkan separuh badannya dari truck warna merahnya dan memarahiku. Aku benar-benar kaget. Aku tidak berpikir kalau di jalanan sepi itu akan ada sebuah mobil lewat dan bahkan hampir menabrakku.

             “Maaf… maaf,” kataku dengan suara sedikit bergetar. Aku menyesalinya sambil terus berjalan keseberang jalan.

             “Kamu yang tadi , kan?” kata suara tadi. Sekarang ia telah menepikan mobilnya tepat di samping aku berdiri.

             “Oh, kamu pemain gitar itu, ya? Maafkan saya.” Kami sama-sama menggunakan bahasa Internasional sehingga bisa saling mengerti satu sama lain.

             “Masuk!” kata suara seraknya.

             Aku hanya menatapnya heran.

             “Ayo masuk! Aku akan antarkan kamu pulang. Tidak usah takut. Aku benar-benar orang baik,” katanya lagi, meyakinkanku.

             Aku masih agak ragu. Aku takut jika nanti orang dihadapanku ini membawaku pergi entah kemana.

             “Cepatlah! Ini sudah malam!” teriaknya lagi.

Perlahan, akupun menaiki truck-nya dan Ia benar-benar mengantarku ke Motel.

             “Aku Wayne Alvaro,” katanya setengah berteriak saat aku sudah mulai melangkah memasuki motel.

             Langkahku terhenti. “Syelia Myranka.” Aku berbalik menatapnya lalu menyebutkan namaku.

             “Syelia…” Ia menyebutkan lagi namaku yang cukup terdengar geli di telingaku.

*

            Sisa-sisa air hujan masih mengalir di permukaan truck merah milik Wayne. Hujan yang berhasil mengguyur pelan tadi, membuat mood-ku sedikit memburuk. Masih saja hal semacam itu mengganggu perjalananku. Mengganggu kesenanganku. Untungnya, bukan hujan deras, melainkan hanya titik demi titik rintikan air hujan.

             “Jadi, kamu ke sini untuk menonton pertandingan sepakbola? It was surprised, man!”
             “Iya. Kamu kaget orang macam aku suka menonton sepak bola, kan? Tapi aku benar-benar suka. Kalau kamu nggak mau menemaniku, ya sudah. Nggak usah tertawa.”

            Kami sedang berada di atas truck merah milik Wayne. Setelah malam itu, Wayne-lah yang menjadi temanku di sini. Semakin hari, aku semakin yakin kalau Wayne adalah orang yang baik. Ia bahkan menghormatiku sebagai perempuan. Aku cukup senang mendapatkan seorang teman seperti itu di kota yang asing ini.

             “No… Sebenarnya, itu club bola favorit aku juga. Aku mau, kok, nonton sama kamu,”

             “Gitu, dong!”

             “Untung ada sebuah bahasa Internasional, ya. Kalau nggak ada, entah bagimana kita dapat berkomunikasi,” kata Wayne.

             “Iya. Aku sangat senang mendapatkan teman seperti kamu.” Aku tersenyum.

             Aku bersandar di jok trucj milik Wayne sembari menarik nafas perlahan.

              “Wayne, aku boleh bertanya?” tanyaku ragu.

              “Silahkan saja,” jawabnya tanpa memalingkan tatapan ke arahku. Ia hanya memperhatikan jalanan berbatu di depan. Ia sedang menyetir trucj-nya.

              “Aku sempat melihat kamu bersama gadis… maksudku teman se-band-mu dan seorang laki-laki malam itu di samping kafe. Sepertinya kamu memarahi laki-laki itu sebelum membiarkan mereka pergi. Mereka siapa?” Sesungguhnya aku merasa tidak enak jika harus menanyakan hal ini. Aku seperti orang yang ikut campur dengan urusan orang lain saja. “Tapi, Wayne, sesungguhnya kamu nggak perlu menjawabnya!” Aku benar-benar tidak memerlukan jawaban itu.

              “Sebuah pertanyaan, bukannya diutarakan untuk sebuah jawaban?” kata Wayne santai.

              Aku hanya bisa tersenyum.

              “Okay, gadis itu adalah adikku, Carly. Aku nggak suka melihatnya berhubungan dengan Sergio, lelaki itu. Menurutku, Sergio bukanlah orang yang baik. Dia selalu memulangkan adikku larut malam. Aku benar-benar nggak bisa tidur kalau Carly belum pulang.” Wayne terhenti sejenak. Lalu melanjutkannya, “Setelah kepergian ayahku setahun yang lalu, aku merasa, melindungi mama dan adik perempuanku itu sudah menjadi tugasku. Jadi, aku mau laki-laki yang mendampingi adikku adalah seorang laki-laki yang baik,” jelas Wayne.

              “Oh, begitu. Terima kasih, Wayne.” Entah mengapa, kata 'terima' dan 'kasih'-lah yang keluar dari mulutku. Mungkin karena orang asing sepertiku tidak pantas untuk menanyakan hal sepribadi itu.

             Wayne tidak berkata apa-apa lagi. Rasa lelah terpancar dari raut wajahnya. Raut wajah yang menurutku mustahil memperlihatkan hal semacam itu. Tapi aku mengerti. Aku mengajaknya berjalan-jalan mengelilingi kota seharian penuh. Berlarian kesana-kemari. Tentu hal itu sangat melelahkan.

               “Aku capek banget, nih, seharian jalan. Aku nginap aja, ya.”

               “Terserah kamu. Tapi nggak tahu, deh, kalau masih ada kamar kosong. Ini Motel kecil, Wayne.”

               “Kan ada kamar kamu,” katanya santai.

               “Itu nggak boleh. Di Negaraku, hal semacam itu nggak diperbolehkan. Kecuali kita sudah menikah.”

               “Tapi semuanya biasa saja di sini. Lagipula, kita hanya tidur. Aku bisa tidur di sofa.”

               “Tetap nggak boleh, Wayne. Kamu ngerti, ya. Sekarang belum terlalu malam untuk kamu pulang. Jadi, sebaiknya kamu pulang saja.”

               “Okay…” Wayne berjalan dengan malasnya menuju ke truck yang Ia parkir tepat di depan Motel. Aku tersenyum dan sangat senang dengan semua rasa pengertian yang ditunjukkan Wayne.

*

               “Akhirnya, Wayne! Akhirnya! Akhirnya aku bisa nonton mereka langsung! Yang tadi itu keren banget, Wayne. Keren!!” Aku setengah berteriak sembari mengguncang-guncangkan tubuh Wayne yang sedang berjalan di sampingku.

               “Iya, apalagi tendangan bebas yang akhirnya jadi goal tadi, kan?!” Wayne tidak kalah heboh.

               “Iya! Ya ampuuun, ganteng-ganteng banget, ya, mereka kalau dilihat langsung. Makasih banget udah nyariin tempat paling depan.” Aku menatap Wayne lekat dengan senyuman lebar.

               “Iya. Aku punya temen, kok, yang jaga loket penjualan tiket. Jadi, kemarin aku telepon dia dulu buat booking tempat.”

               “Pokoknya makasih banget, deh! Aku nggak rugi jadinya dengan semua pengorbanan aku buat nonton mereka langsung.”

               “Sekarang mau kemana? Makan aja, yuk!” tanya Wayne.

               "Okay! Makanan asli sini, yaaa.”

              Truck Wayne pun melaju kencang. Bola-bolanya yang lumayan besar membelah jalanan beraspal di Ibukota yang cukup besar ini. Angin musim gugur terasa menusuk-nusuk ke dalam tubuh. Tapi cukup menyenangkan berada di truck ini.

              Aku sedang duduk sendirian di sebuah kafe yang menjual makanan-makanan khas di Negara ini. Iya, aku sedang duduk sendirian. Tadi Wayne bilang, dia ada urusan sebentar dan akan kembali secepatnya. Aku sendiri dimintanya untuk menunggu di sini sampai Ia kembali. Aku sangat merasa tidak nyaman berada di sini sendirian seperti ini. Seperti orang asing. Walaupun kenyataannya memang begitu. Tapi kemana Wayne? Kenapa dia lama sekali?

              Detik berganti menit. Menit berganti jam. Tapi Wayne tak kunjung datang. Kemana dia? Apakah dia sedang mempermainkanku setelah rasa nyaman dan aman yang Ia berikan kepadaku? Aku benar-benar merasa dilindungi saat sedang bersama Wayne. Aku pun merasa sangat nyaman berada di sisinya. Hatinya, ternyata tidak se-sangar tubuhnya yang bertato itu. Tapi sekarang, Ia menimbulkan rasa kecewa di kedalaman hatiku. Sebenarnya kemana dia? Mempermainkanku?

               “Syelia…” Nafas Wayne tidak beraturan. Sepertinya dia berlari dari luar kafe. Aku cukup khawatir melihatnya.

               “Wayne! Dari mana saja kamu?!”

               Wayne berlutut di samping meja dan mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya. Beberapa tangkai bunga yang benar-benar cantik. Dengan tergesah-gesah, Wayne mengutarakan semuanya. Mengutarakan perasaannya padaku. Aku hanya bisa melihat dan mendengarkannya dalam diam. Aku hanya memperhatikan setiap kata yang keluar dari mulutnya. Merekamnya dengan rapi di dalam kepalaku. Ia terlihat sedang bersungguh-sungguh.

               Akupun menerimanya. Aku menerima Wayne, seorang asing yang aku temui hanya beberapa hari yang lalu di sebuah Negara yang asing ini, yang telah memberikanku kenyamanan dan perlindungan yang kunikmati bagai candu. Aku diluluhkan oleh semua perlakuannya. Oleh semua tingkah laku menyenangkan yang Ia miliki. Juga oleh semua pengertian yang Ia tunjukkan padaku. Aku menerimanya menjadi seorang teman yang lebih khusus lagi.

*
                “Aku nggak bisa menunda keberangkatan, Wayne. Aku sudah membeli tiket pulang-pergi. Dan hari ini, aku harus kembali. Seminggu sudah berlalu. Terima kasih untuk semuanya. Karena kamu, aku rasanya nyaman berada di sini. Terima kasih, untuk kota yang indah ini. Terima kasih untuk tujuh hari yang sangat menyenangkan, Wayne.” Aku tidak melepas jemari Wayne sedikit pun sejak tadi. Aku belum sanggup untuk melakukannya. Wayne pun begitu. Seakan jari-jemari kami sudah menempel dan tidak mau dipisahkan lagi. Kami saling bergenggaman erat. Erat sekali. Aku benar-benar belum mau berpisah dengan Wayne. Terlalu sedikit waktu yang kami punya untuk saling mengenal satu sama lain. Aku butuh waktu lebih untuk terus bersama-sama Wayne.

                Akhirnya tiba waktunya. 10 menit lagi, pesawat yang akan membawaku kembali ke kampung halamanku akan lepas landas. 10 menit lagi, aku dan Wayne akan berpisah.

                Wayne merangkul tubuhku erat. Erat sekali. Nafasku tercekat, tapi tetap menikmatinya. Dekapan hangat Wayne, aroma tubuhnya, aku sudah mulai terbiasa dengan semua itu. Akupun tak kalah erat merangkulnya. Lalu Wayne mengecup keningku. Wayne benar-benar sudah mengerti batasan-batasan yang harus Ia patuhi jika berhubungan dengan orang Asia sepertiku. Ia mematuhinya dengan baik. Ia begitu menghormati dan memperlakukanku sebaik-baiknya seorang perempuan.

                 Akhirnya, jari-jemari kami mulai terlepas. Aku mulai berjalan memasuki ruang tunggu bandara. Wayne tidak boleh masuk lebih dalam lagi. Maka aku dan Wayne benar-benar harus berpisah sekarang. Aku mentapnya, Ia menatapku. Mata kami sedang berperang dalam ketidakberdayaan.

                  “I'm gonna miss you so,” kata Wayne dengan suara bergetar menahan tangis.

                  “Aku juga, Wayne.” Berbeda denganku yang sudah menangis terseduh-seduh sejak tadi.

                  “Terus kirimi aku e-mail

                  “Pasti! Kamu juga.”

*

                 Sudah lebih dari sebulan aku di sini, di tanah kelahiranku. Aku dan Wayne pun tak henti-hentinya saling berkirim e-mail. Kami juga sering berbincang melalui sebuah jejaring sosial. Hubungan kami benar-benar masih sangat baik. Aku pikir, setelah kita tidak bertemu lagi, Wayne akan segera melupakanku. Tapi ternyata tidak. Ia mengirimiku e-mail setiap hari tanpa absent. Aku pun sangat senang. Rasa di dada ini masih terus membuncah saat mengingat Wayne. Mengingat semua yang telah kita lalui dalam tawa. Aku benar-benar telah luluh dalam pelukannya.

                 “Syel, sampai kapan lagi kamu mau membiarkan aku menunggu? Laki-laki itu. Wayne. Dia tidak mungkin seserius itu padamu,” kata Raga.

                 Raga adalah satu-satunya orang yang tanpa henti mengemis cintaku. Ia adalah teman sekelasku di kampus. Sejak awal kita bertemu, dia sudah sering menunjukkan perasaannya terhadapku. Tapi aku benar-benar tidak menyukainya. Aku harus bagaimana? Aku juga tidak mau membuatnya terus tersakiti. Tapi dia pun tidak pernah mau untuk menyerah.

                  “Tolong mengerti, Ga. Aku nggak mungkin menjalin hubungan sama kamu. Tolong jangan buat aku merasa sulit.”

                  "Tapi kenapa, Syel? Karena laki-laki itu? Kalian hanya saling mengenal nggak lebih dari seminggu!”

                  "Tapi aku benar-benar mencintainya. Aku pun nggak tahu kenapa. Aku hanya… menyayanginya begitu saja.”

                  "Omong kosong, Syelia!”

*

                 Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Aku masih saling berkirim e-mail dengan Wayne. Tapi, lama kelamaan, hubungan kami tidak sebaik dulu. Sangat lama waktu yang berlalu saat aku menunggu e-mail balasan dari Wayne. Kata-katanya pun tidak sebanyak dahulu.

                 Bulan akhirnya berganti tahun. Hari ini tepat dua tahun setelah pertemuanku dengan Wayne yang hanya berlangsung selama seminggu. Sekarang, Wayne benar-benar sudah tidak mengirimiku e-mail. Sudah dua bulan ini Wayne tidak mengirimiku e-mail sama sekali. Bahkan Wayne juga tidak membalas e-mail-ku. Kemana Wayne?

                 Seiring berjalannya waktu juga, Raga masih belum menyerah. Ia masih terus mendekatiku. Apa sudah saatnya sekarang aku melupakan Wayne? Dan mencoba mencintai laki-laki lain? Raga?

                 Seharian ini hanya aku habiskan sambil mempelototi layar komputer di kamarku. Aku hanya sibuk menunggu e-mail yang tak kunjung datang dari Wayne. Apa Wayne sudah mendapatkan penggantiku? Apa Wayne sudah benar-benar melupakanku? Atau bahkan, tak pernah menganggap serius hubungan ini?

                 Berbulan-bulan aku meyakinkan orang tuaku mengenai Wayne. Aku bilang Wayne baik. Wayne berbeda. Wayne tidak mungkin melupakan janjinya untuk datang kemari mengunjungiku suatu saat. Orang tuaku, sebelum mereka mulai lelah menasehatiku, berpikiran sama persis dengan Raga. Mereka bilang aku hanya menjadi kesenangannya semata. Kesenangnya untuk sementara waktu. Tak kusangka akan ada saatnya, hari ini, aku berpikiran sama dengan Raga dan kedua orang tuaku.

                 Sekarang aku benar-benar marah. Marah pada keadaan yang mempermainkanku. Marah pada Wayne. Mungkin sekarang aku sedang diselimuti perasaan marah. Tapi, aku akan pergi menemui Raga, dan menerima cintanya. Aku tidak peduli apa namanya tindakan yang aku ambil sekarang. Mempermainkan orang lain? Entahlah. Aku tidak peduli.

                 Aku tidak mau berlarut-larut dalam kekalutanku. Aku tidak mau terus terpikirkan Wayne. Aku mau pergi dari bayang-bayang Wayne. Aku mau mengganti semuanya dengan bayang-bayang orang lain. Raga mungkin.

                 Dengan emosi yang menyelimutiku, aku membuka pintu rumah sehingga sedikit mengeluarkan bunyi dan…

                 Aku terpanah. Aku melemah. Aku terharu. Aku bahagia. Apa yang ada di depan mataku sekarang. Wayne? Wayneku-kah?

                 Dia berdiri tepat di hadapankuku dengan lengan kirinya yang menggantung. Mungkin ingin mengetuk pintu tadi. Penampilannya sedikit berubah. Rambut gondrongnya telah dipangkas. Hanya menyisahkan jenggot dan kumis tipis di sekitar bibirnya. Ia mengenakan celana jeans seperti biasa, tetapi tidak dengan sobekan-sobekan itu. Ia mengenakan kaos dan jaket jeans. Sekilas, penampilannya seperti saat pertama kali kita bertemu. Tetapi, lebih baik.

                  "Benarkah kamu Wayne?” tanyaku dengan suara yang melemah.

                  Ia hanya tersenyum. Senyuman yang benar-benar akrab di benakku. Senyuman yang tak sedikit pun hilang termakan waktu. Senyuman yang begitu saja telah menjadi sahabat karibku.

                   “Maafkan aku untuk tidak mengirimimu e-mail lagi. Aku sibuk tour ke kafe-kafe untuk mengumpulkan uang. Untuk bisa berada di sini sekarang.”

                   "Wayne…”

                   "Di hari perpisahan kita, aku bertekad untuk menabung semua hasil kerjaku agar aku bisa ke sini. Aku pun menyimpan dengan baik alamat lengkap yang sempat kamu berikan waktu itu.”

                   “Aku pikir, kamu sudah melupakanku, Wayne.”

                   “Aku benar-benar serius denganmu. Aku juga nggak tahu kenapa aku sangat menyayangimu. Aku menyayangimu begitu saja…”

                  Tanpa berkata-kata lagi, aku merangkul tubuh besar Wayne. Aku merangkulnya sekuat tenagaku. Ia pun melakukan hal yang sama. Aku benar-benar sangat merindukannya.

                    “Bagaimana penampilan baruku? Semoga orang tuamu menyukainya, ya.”

                    "Semua ini kamu lakukan untuk hari ini, Wayne? Aku benar-benar mencintaimu.”

                   Kami saling merangkul lagi. Entah rangkulan seperti apa yang akan meredahkan kerinduan yang mendalam di dalam hatiku dan hatinya. Aku bersyukur ada sebuah bahasa yang bisa kami sama-sama mengerti. Aku bersyukur karena ada sebuah bahasa yang menyatukan kami. Wayne-ku telah datang.

                     "Aku mengagumi setiap hal yang kamu lakukan. Mengaguminya bagai candu. Sulit sekali hari-hari yang kulewati setelah perpisahan kita. Hal yang mustahil, mengingat perkenalan yang sesingkat itu. Tapi hal itu benar-benar terjadi.” Wayne berkata dalam pelukku.

                     "Percaya atau tidak, aku pun merasakan hal yang sama,” balasku.

                     “Semua yang ada padamu begitu luar biasa bagiku. Hanya satu hal yang cukup mengangguku.” Wayne tertawa kecil.

                     “Apa?!” tanyaku kaget. Secara refleks , aku melepas pelukan Wayne.

                     “Semua barang milikmu yang bertuliskan “SyMy”. Hal bodoh macam apa itu, Syel?...”
                     Wayne tertawa lepas. Aku pun tersipu malu dengan kebiasaan bodohku itu.


(((CERPEN)))