Sabtu, 21 Desember 2013

Surga-ku

Ini adalah salah satu fiction story yang menceritakan tentang luar biasanya hati seorang yang sangat mulia, yang kita sebut 'Ibu'.

      Surgaku, adalah segalanya yang ku punya. Aku sangat menyayanginya. 

      Jalanan ini selalu sepi. Bahkan di hari kerja sekalipun. Tak sering kujumpai orang yang berjalan melewati jalanan ini. Angin bertiup selaras dengan langkah kaki yang menaklukkan jalanan berbatu dengan cukup banyak pasir di sekitarnya. Anginpun membuat helai demi helai rambutku beterbangan kesana-kemari. Entah sudah seperti apa rupaku saat ini. Tapi aku sangat menikmatinya.

      Sekarang aku telah berdiri di ujung jalanan sepi yang kulewati tadi. Kehirukpikukan mulai terasa. Suara yang berteriak, kendaraan yang berisik, juga angin yang tak kunjung bertiup lagi.

      Aku mendapati surgaku tengah duduk dipeluk keringat yang mengucur kencang di dahinya. Telapak tangan kanan disandarkannya ke dahi, guna untuk mengelap keringat yang semakin deras mengucur. Keringat yang menjadi saksi bisu hidupnya, hidup kami. Bahkan sinar mentari tak memberikan toleransi sedikitpun. Hanya terus memancarkan sinar terangnya.

      Kupegang tangannya, kuciumi kulit keriputnya, lalu aku duduk tepat di sampingnya. Hatiku serasa sakit setiap kali melihat pemandangan seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi? Kami butuh hidup.

      Ia, surgaku, setiap pagi hingga siang hari, selalu menjejalkan dagangannya di tempat ini. Tempat yang begitu ramai ini. Tempat yang sering disebut pasar oleh orang-orang. Dagangan yang sederhana, yang belum pasti akan dibeli orang-orang yang lewat. Tapi kami hanya punya modal yang cukup untuk membeli kerupuk itu, dan menggorengnya, lalu menjualnya.

      Aku sendiri, sebenarnya bisa menggunakan tenagaku untuk mencari pekerjaan lain, untuk membantu surgaku, agar kami bisa tetap hidup. Tapi ia, surgaku, selalu memarahiku jika aku mengatakan niatku itu. Katanya, tugasku hanyalah belajar dan bukan untuk bekerja. Katanya pula, ia masih sanggup untuk memberikan kehidupan bagi keluarga kecil kami. Maka aku hanya diperbolehkan untuk membantu menemaninya saja. Tidak untuk bekerja.

      Seharusnya, saat ini aku duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Tapi karena keterbatasan biaya, aku harus rela menghentikan semuanya. Semua penunjang mimpiku. Tetapi tidak untuk mengehentikan mimpiku. Mimpiku terus ada di sini, di dalam hatiku, dan aku jaga ketat dengan sebaik-baiknya.

      Aku, benar-benar berbeda dari kebanyakan remaja seumuranku. Mereka pergi ke-mall, bersenang-senang dengan teman-teman, mempercantik diri di sebuah tempat yang disebut salon, dan masih banyak lagi. Aku tidak sanggup untuk dapat merasakan semua itu. Tapi aku pun tidak keberatan dengan kehidupanku sekarang ini. Karena kata surgaku, segala sesuatu patut disyukuri. Cukup dengan kita masih bernafas di hari berikutnya, berarti Tuhan sangat menyayangi kita. Aku berbeda dengan kebanyakan remaja di usiaku saat ini. Tapi itu bukanlah sebuah masalah.

      Pada sore hari, surgaku bekerja untuk membersihkan sebuah toko buku dengan bangunan yang berukuran sangat kecil di sebelah kiri, tepat pada ujung jalan, dengan upah sebuah buku setiap tujuh hari. Ia sudah menegosiasikan semuanya dengan pemilik toko buku mini itu. Buku itu diberikannya padaku agar aku tetap terus belajar walau bukan di sebuah pusat pendidikan. Betapa luar biasanya surgaku itu…

      Ayahku, seorang tulang-punggung yang seharusnya, tengah terbaring lemah di atas tempat tidur yang hanya terbuat dari anyaman. Ia tak kuat lagi untuk bangkit karena sesuatu hal yang disebut penyakit.

*

      Begitu pilu hati ini melihat orang yang sangat kusayangi terus bekerja tanpa henti di sepanjang hari. Pagi, siang, sore, malam, ia selalu bekerja. Menjual kerupuk, membersihkan toko buku mini, serta menjadi seorang pemulung di malam hari. Tidak termasuk pekerjaan-pekerjaan tak terduga yang ia temui dan ia lihat sebagai sebuah kesempatan, lalu diambilnya.

      Seperti menjadi tenaga tambahan untuk menjual koran-koran milik seorang bandar koran, menyemir sepatu untuk membantu anak kecil, penyemir sepatu yang sebenarnya yang sedang kelelahan, mencabuti rumput liar di rumah-rumah yang ia lewati, dan masih banyak lagi. Entah tenaga dari mana yang ada pada dirinya, yang bisa melakukan hal sebanyak itu. Termasuk memikirkan nasib keluarga kami.

      Wajah penat itu, keringat yang mengucur deras itu, kulit keriput itu, kulit yang semakin menghitam karena hantaman sinar matahari, tubuh yang kurus itu, yang hanya tulang berbalut kulit, aku sudah terbiasa dengan semua itu. Tapi tak henti-hentinya hati ini serasa ditampar saat menyaksikan semuanya.

      Maka aku tidak bisa berdiam diri untuk tidak mencari pekerjaan tambahan walau ia, surgaku, akan memarahiku. Aku bekerja secara diam-diam di sebuah rumah yang memakai jasaku untuk membersihkan keseluruhan rumah mereka yang cukup besar itu. Aku selalu melakukannya dengan sepenuh hati. Bagaimana bisa surgaku melakukan pekerjaan yang sangat berat setiap harinya dan aku harus merasa keberatan hanya untuk membersihkan sebuah rumah?

      Ia, surgaku, mengajariku banyak hal. Sangat banyak hal untuk tetap bertahan hidup. Untuk tetap bermimpi walau dalam balutan serba keterbatasan. Untuk tetap tersenyum pada semua orang, juga pada diri sendiri. Ia mengajarkan semuanya dalam diam.

      “Amaryllis,” begitulah orang sering memanggilku. Itu adalah nama pemberian orang tuaku yang sangat aku syukuri. Mereka bilang, mereka menamaiku Amaryllis, nama dari sebuah jenis bunga yang indah. Bunga Amaryllis oleh banyak orang dianggap sebagai simbol kecantikan yang bersinar karena keindahannya. Tetapi, aku sendiri merasa tidak seindah bunga itu. Bahkan aku tidak pantas untuk menyandang nama seindah itu.

      “Iya, bu?” jawabku.

      “Saya mau keluar bersama keluarga. Tolong sehabis membersihkan rumah, kamu tetap berada disini untuk menjaga rumah saya, ya. Nanti saya berikan bonus,”

      “Baik, bu.” Hal-hal seperti ini juga sering terjadi. Aku diminta menjaga rumah mereka, mendapat pekerjaan lebih dari sekedar membersihan rumah, dan mereka akan memberiku upah yang lebih. Alasanku sendiri saat pulang dan membawa uang, adalah karena aku membantu orang dan orang itu memaksaku untuk menerima tanda terima kasihnya. Walau alasan yang sama terus-menerus tidaklah efektif, setidaknya semua masih dipercayai hingga saat ini.

      Sesungguhnya, saat aku harus berbohong, mengucapkan sebuah kebohongan, hatiku terasa teramat sakit. Apalagi jika harus berbohong pada orang-orang yang sangat aku sayangi. Tapi itulah hal terbaik yang bisa aku lakukan saat ini. Bukan berarti tidak ada pilihan, namun itulah pilihan yang aku ambil. Karena aku percaya, akan selalu ada pilihan. Tinggal bagaimana kita dengan bijak mengambil sebuah pilihan yang tepat.

*

      Seluruh kehidupan keluarga kami, yang kami rasakan, terlalu pekat terasa. Setiap hal, bahkan hal kecil, sangat terasa saat kami melaluinya. Hidup kami terasa begitu sulit. Tapi aku percaya, bahwa kami akan menemui sebuah cahaya terang di penghujung nantinya. Ini adalah ujian kehidupan? Aku rasa bukan. Ada beberapa macam kehidupan yang ada di dunia ini. Hidup enak, maupun hidup serba berkerkurangan seperti hidup keluargaku sekarang. Aku tidak mau menyebutnya ‘sebuah hidup yang tidak enak’ karena dalam sebuah kehidupan, pasti ada positif-negatifnya.

      Tuhan terlalu adil dalam segala hal. Jadi, jangan pernah berpikir kalau hidupku, atau hidupmu adalah sebuah kesengsaraan. Karena kita pasti akan menemukan sebuah titik terang di penghujung nantinya. Tergantung bagaimana kita menyikapi semua hal yang terjadi di dalam hidup kita.

      Suatu hari, setelah bertahun-tahun kami melalui hidup yang tak kunjung berkembang, hidup yang begitu-begitu saja, akibat kerja keras dan cucuran keringatnya, kami berhasil menemukan titik terang itu. Titik terang di penghujung jalan yang mengubah segalanya. Yang mengubah keseluruhan kehidupan kami.

      “Kerupuknya enak, bu. Saya boleh pesan banyak?” kata seorang bapak-bapak yang menjadi satu-satunya orang yang membeli kerupuk ibu hari itu.

      “Sebanyak apa, pak?” tanya ibu dengan suara yang melemah.

      “Ya, cukup banyak. Sekitar 10 toples?”

      “Saya tidak punya modal sebanyak itu untuk membeli kerupuknya, pak.” Sahut ibu dengan penuh kejujuran.

      “Kalau saya yang memodali? Saya akan memberi ibu uang yang cukup untuk membeli semuanya.”

      “Bapak akan kasih uang saya, begitu?”

      “Iya, benar.”

*

      Bapak itu pun membawa kesepuluh toples penuh berisi kerupuk yang ibu, surgaku buat.

      Dalam beberapa hari, bapak itu kembali dengan wajah penuh binar. Ia menghampiri ibu dengan senyuman yang merekah.

      “Eh, bapak lagi. Mau pesan kerupuk lagi, pak?” tanya ibu yang memaksakan senyuman di tengah-tengah kepenatannya.

      “Kenalkan, nama saya Sujono. Sebenarnya, saya adalah seorang penjual kerupuk juga. Jadi, saya punya semacam dapur untuk memasak kerupuk-kerupuk dan menyebarkannya ke warung-warung, bahkan tempat-tempat makan. Lalu ke-10 toples kerupuk yang saya pesan dari ibu beberapa hari yang lalu, saya sebarkan. Dan saya mendapat banyak sekali pujian, bu. Saya senang sekali.”

      “Oh, bapak Sujono ini pengusaha kerupuk, toh. Saya Ningsih, pak.” Ibu menjabat tangan pak Sujono yang direntangkannya dari tadi.

      “Saya punya tawaran kerja untuk ibu. Bagaimana kalau ibu bergabung dengan saya? Kita jadi partner kerja, bu. Penghasilannya akan kita bagi sama rata.”

      “Benar begitu, pak? Tapi saya belum terlalu mengerti.”

      Mereka melakukan negosiasi besar di bawah sengatan mentari.

      “Seperti biasa, saya akan memberi modal. Saya akan membeli banyak kerupuk mentah yang kemudian akan ibu olah menjadi kerupuk yang sudah bisa dimakan. Bagaimana, bu?”

      “Bapak serius?” mata ibu terbelalak kaget.

      “Tentu saja. Bagaimana? Ibu setuju?”

      “Tentu saya setuju. Alhamdulillah, ya Allah!” Ibu menengadahkan kedua telapak tangannya.

      “Lalu apakah ibu setuju dengan penghasilan yang akan kita bagi rata?” tanya bapak Sujono lagi.

      “Ya, tidak toh, pak.”

      “Maksud ibu?”

      “Bagaimana kalau 60-40? 60% untuk bapak dan 40% untuk saya?”

      “Kenapa begitu?” tanya bapak Sujono heran.

      “Lah modalnya dari bapak. Saya kan hanya bantu menggorengnya. Tidak sepadan lah, pak.”

      “Tapi saya tidak keberatan jika harus membaginya sama rata,”

      “Tidak usah, pak. 60-40 saja.” Ibu tetap bersih-keras.

      “Baiklah. Terima kasih banyak, bu. Ini alamat kantor saya. Besok ibu boleh langsung kesana, ya.” Bapak Sujono memeberikan secarik kertas pada ibu.

      Ibu, surgaku, sangat beruntung karena dipertemukan dengan bapak Sujono oleh Tuhan. Bapak Sujono adalah seorang partner kerja yang jujur serta baik. Usahanya pun semakin berkembang. Sehingga membuatnya membelikan keluarga kami sebuah rumah yang lebih layak lagi untuk kami tempati. Ayah pun tengah menjalani perawatan di sebuah rumah sakit.

*

      Sekarang, kebahagiaan mulai menyelimuti keluarga kecil kami.

      Seperti aku saat ini, akhirnya aku berhasil meluncurkan buku pertama dalam karirku sebagai penulis. Karena buku-buku yang diberikan ibu waktu itu, membuatku menemukan sebuah mimpi yang tersimpan rapi di dalam diriku. Menulis.

     Setiap hari, di atas lembar demi lembar kertas bekas yang aku kumpulkan saat sedang berjalan, aku menulis tanpa henti dengan penuh kebahagiaan yang membuncah di dalam dada. Aku merasa, inilah hidupku. Aku telah menemukan duniaku.

     Kehiduan telah memberiku banyak hal. Termasuk lebih mencintai tulang-punggung keluargaku yang tanpa henti, tanpa keluh kesa, terus berusaha demi kelangsungan hidup keluarganya.

     Tuhan pun telah menganugerahiku seseorang yang sangat menyayangiku dan berniat untuk menikahiku secepatnya. Ia adalah Aditya Sujono, anak sulung bapak Sujono.

     Aku bertemu dengannya dalam diam. Hanya tatapan kami yang berbicara kala itu. Kami terus saling menatap tanpa mengeluarkan sepatah-katapun. Benar, hati ini luluh hanya oleh sebuah tatapan.

     Hidup kami benar-benar berubah karena semua kerja kerasnya. Seorang ibu, seorang yang menjanjikan surga bagiku, seorang yang paling hebat yang pernah aku ketahui. Kasih sayangnya terhadapku, terhadap ayah, terhadap keluarganya, tak lekang oleh waktu.

     Aku, adalah orang yang paling merasakan bagaimana sulitnya hidup ibu. Lebih sulit dari hidupku. Walau ayah tidak bisa lagi membantu kelangsungan hidup keluarga kami, ibu tetap menyayanginya dengan sepenuh hati. Walau lelah yang ibu rasakan saat pulang ke rumah, ibu tak pernah lupa untuk memberi makan ayah, membasuh tubuhnya dengan air hangat yang sebelumnya telah ibu panaskan, serta mengajak ayah berdoa bersama untuk kesembuhannya saat menjelang tidur. Ibu menghadapi hidup tanpa memperlihatkan sedikitpun air mata.

Ia, surgaku, ibu terbaik yang pernah aku punya.

Selamat hari ibu. :)



(((CERPEN)))