Minggu, 29 September 2013

Cerpen Terbaru

Hellooooooooooooooooooooooooooooooooo :)))
Sekalian, aku mau post cerpen terakhir yang berhasil kutulis.
Newest means better than the all before. Semoga yaaaa...

Walau tentu saja masih sangat amatir dan membutuhkan begitu banyak kritik, semoga bisa dinikmati.
So, enjoy! ;)




Yang Terpendam

Seseorang yang tengah duduk di sebuah bangku pun berdiri. Tanpa berpikir lagi, aku bergegas mendekati bangku yang sekarang sudah kosong itu, lalu langsung mendudukinya.
Entah beberapa saat kemudian, lelaki yang kulihat mondar-mandir tadi pun duduk di sebuah bangku kosong di sampingku saat penghuni bangku sebelumnya telah beranjak pergi.
Angin bertiup cukup kencang, sehingga dedaunan kering diatas tanah bertiup beriringan ke arahku. Maksudku, ke arah kami yang sedang duduk berdampingan. Kami tetap diam. Aku sibuk memainkan tombol-tombol yang berbaris teratur di atas permukaan ponselku, sedangkan dia hanya duduk termangu menatap dedaunan yang sudah berserakan di sekitar kakinya.
“Ehem, mau ambil kiriman?” Sebuah suara dari sisi kanan cukup membuatku terkejut.
Perlahan kuangkat wajahku, lalu kutatap si pemilik suara tadi yang juga tengah menatapku, menunggu jawaban.
“Aku hanya menemani teman,” jawabku, masih saling pandang.
“Menemani teman…” Ia mengulang jawabanku sembari menoleh kedepan. Menghindari tatapanku.
“Iya. Kamu sendiri?” Aku pun menanyakan hal yang sama, sekedar untuk berbasa-basi.
“Bukankah aku terlihat sendirian? Tentu kiriman yang kutunggu adalah untukku.” Ia berkata tanpa sedikit pun menoleh ke arahku. Hanya menatap nanar ke depan, ke kerumunan orang-orang yang sedang mengambil barang atau kiriman milik mereka. Kami sedang berada di sebuah tempat yang menyediakan jasa pengiriman barang, surat-surat, atau apapun yang semacamnya.
Aku hanya terdiam menyimak jawabannya yang benar-benar langsung menuju ke sebuah tanda baca yang tidak bisa dibantah lagi; titik. Aku tidak tahu lagi harus berkata apa setelah itu. Maka aku hanya terdiam.
“Sudah dua bulan ini aku menunggunya. Tapi, mereka tak kunjung mengirimkannya ke alamatku. Maka aku berniat untuk mengambilnya saja sendiri.” Ia berkata-kata lagi.
“Temanku saja, sudah menunggu kiriman itu lima bulan lamanya.”
“Dimanakah letak kesalahannya? Si pengirirm, atau jasa pengriman ini?”
“Entahlah.”
“Aku Aaron,” katanya pelan. Bahkan tanpa menatapku. Sepertinya, ia adalah tipe orang yang tidak suka menatap lawan bicaranya ketika sedang berbicara. Itu tidak sopan, bukan?
“Evyta.” Aku pun menyebutkan namaku tanpa menoleh ke arahnya yang beberapa detik setelah itu bangkit dari tempat ia duduk.
Brak!!!
I’m sorry,” kata lelaki yang mengaku bernama Aaron tadi, setelah berhasil melempar keras tubuhnya ke arah seorang perempuan yang berjalan dari arah berlawanan dengannya. Ia hanya berkata ‘maaf’ lalu berlalu begitu saja. Aku menyimak semuanya dalam tawa yang tak bisa kutahan lagi. Wajah perempuan itu terlihat bingung bercampur kaget. Sangat lucu!
“Sakit, Mei?” tanyaku saat Meisa, sahabatku, sudah duduk disampingku.
“Iya sih. Tapi, satu kata maafnya tadi sangat keren.” Meisa menerawang.
“Keren apanya?”
“Itu berarti, dia adalah laki-laki yang keren. Begitu saja kamu nggak mengerti.”
“Kamu terlalu banyak menonton film, Mei.” Aku tidak menghiraukannya lagi.

*

Pepohonan rindang, bercabang-cabang, hijau, tinggi, menyejukkan, tergambar jelas didepan penglihatanku. Sungguh sebuah pemandangan yang indah. Begitu pun dengan rerumputan hijau yang membentang sejauh mata memandang. Anak-anak yang berlarian riang gembira, para orangtua yang bermain-main dengan anak-anak mereka, begitu menyenangkan melihat itu semua.
Hal semacam itulah yang kerap terjadi ditaman berukuran sangat besar ini dikala akhir pekan menyergap. Suasana ramai namun menenangkan. Aku sangat suka melihat anak-anak. Tawa mereka, kegembiraan tanpa tara yang terpancar dari raut wajah tak berdosa itu, dan masih banyak lagi hal menakjubkan yang sangat kukagumi dari seorang anak kecil.
“Aku punya adik. Dia adalah saudara satu-satunya milikku.”
“Benarkah? Apa kalian sangat dekat?”
“Benar-benar dekat. Mungkin karena dia seorang laki-laki, dan usia kami nggak jauh berbeda.”
Iya. Dia adalah Aaron. Seseorang yang tengah melakukan perbincangan denganku. Kami sengaja memilih taman ini untuk bertemu setelah waktu itu Aaron berhasil mendapatkan nomor pin blackberry-ku dengan mudahnya. Aku yang memberikan saat ia memintanya. Maka sejak saat itu, kami sering melakukan perbincangan singkat via blackberry messenger, sebelum memutuskan untuk bertemu lagi. Katanya, ia jatuh cinta dengan sebuah tatapan dihari perkenalan kita. Tatapan itulah yang mengantarnya berada disini untuk menemuiku hari ini.
“Berbeda berapa tahun?”
“Dua tahun. Sekarang aku tengah bekerja di sebuah perusahaan advertising setelah lulus kuliah setahun yang lalu. Dan adikku, dia tengah berkuliah sekarang.”
“Oh, begitu.” Hanya itulah kata-kata yang mampu kukatakan saat ini.
“Dia orang yang sangat hebat. Maksudku, aku menyukai perilakunya, sifatnya, cara dia mengambil keputusan… Lucu bukan? Aku mengagumi adikku sendiri.”
“Semenyenangkan itukah adikmu?”
“Begitulah.”

*

Liatin apa sih? Liatin cowok terus nih kerjaannya.” Meisa membuyarkan lamunanku.
“Enak aja!” Aku langsung saja membantahnya.
Suara riuh terdengar dari sudut demi sudut ruangan kelas yang berukuran persegi panjang ini. Para mahasiswa dan mahasiswi yang lalu lalang, berteriak, tertawa, semua dapat terdengar jelas disini.
“Aku seneng banget deh, Vyt. Makasih, ya,” kata Meisa sembari merangkulku pelan. Aku sangat mengerti dengan apa yang tengah membuatnya terbang melayang diawan-awan.
Berbeda denganku, yang entah kapan akan mendengarkan sebuah kata itu dari mulutnya. Berangan setiap hari, memikirkannya sepanjang hari, membayangkan setiap sisi dari raut wajahnya sepanjang waktu yang kupunya, bahkan saat aku terlelap sekalipun.
Garis-garis wajah itu selalu saja datang menyapa. Sapaan lembutnya membuat hatiku mencair seperti sebongkah es di kutub utara. Perlahan, tapi pasti.
Rasanya mustahil aku dapat menahan gejolak didada ini ketika saling menatap dengannya. Kita bercerita, tapi hanya itu. Tidak ada yang lain. Membuatku seperti terombang-ambing dilautan lepas tanpa arah dan tujuan. Hanya menunggu kapal yang lewat dan sudi untuk mengangkatku.
Semua terasa serba salah. Maju, mundur, diam, aku tidak tahu harus memilih yang mana. Karena apapun yang aku pilih, aku tidak akan mendapatkan apa-apa. Aku hanya akan tetap berada, terapung, dilautan lepas yang entah dimana ujungnya. Tak berujung.
“Kenapa terus menatapku?” tanyaku pada Jupiter, saat aku menyadari bahwa Meisa sudah tak berada di sampingku lagi, melainkan Jupiter yang menatapku pekat dari jarak yang tidak begitu jauh di depan.
“Ah, enggak,” jawab Jupiter seadanya dengan wajah terkejut.
“Kenapa sih, Pit?” Aku pun berjalan mendekat kearah Jupiter.
Nggak apa-apa, Vyt. Kamu aja yang melamun dari tadi.”
“Melamun apa?” Aku tersenyum malu. Aku benar-benar mengerti dengan hobi anehku yang satu itu. “Jangan sering-sering memperhatikanku. Nanti kamu suka lagi,” kataku, bercanda.
Jupiter hanya tersenyum tipis.

*

“Kamu mengerti, kan, Evyta? Hal itu sangat membuatku terganggu.” Aaron sedang bermain-main dengan tombol-tombol di laptop-nya sembari menyampaikan berbagai kata-kata terhadapku yang sedang asyik dengan makananku.
“Hahahaha, aku benar-benar mengerti,” kataku yang terus saja terfokus pada makanan kesukaanku di atas meja.
“Sebentar lagi dia kesini lho!”
“Kenapa nggak datang sama-sama aja sih?”
            “Aku kan langsung dari kantor.”
            “Hei,” kata sebuah suara yang benar-benar ditunggu-tunggu olehku dan Aaron.
Pemilik suara dengan badan tegap dan cukup tinggi itu berdiri tepat disamping Aaron, agak menghadap kearahku yang tengah mengunyah makanan. Ia adalah seorang laki-laki yang membuat kedua bola mata ini hampir meloncat keluar, juga membuat aku menelan makananku sesegera mungkin tanpa cukup lama mengunyahnya
            “Ah, Dek, ini Evyta, yang sering aku ceritakan. Tampak luar biasa, bukan?”
            Aku dan laki-laki yang katanya adalah adik dari Aaron hanya saling melempar pandangan. Hanya saling menatap dalam diam. Terus menatap, dan terus saling menatap.
            “Pit, jadi kamu seorang adik luar biasa yang sering diceritakan Aaron itu?” Aku mulai membuka mulutku, mengucapkan kata demi kata yang berbaris rapi untuk keluar secara beraturan lewat mulut ini.
            “Ternyata benar-benar kamu, ya, Vyt. Aku sempat melihat foto kalian berdua di ponsel Aaron. Aku pikir, hanya mirip. Ternyata itu memang kamu,” jelas Jupiter.
            Jupiter masih tetap berdiri tanpa berniat untuk menduduki bangku kosong yang ada. Aaron hanya sibuk mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi didepan matanya. Teman dan adiknya yang ternyata sudah saling mengenal, atau apa.
            “Ah, iya. Aku sudah cukup mengenal kakakmu. Dia berbicara banyak tentangmu. Tapi aku nggak pernah sedikitpun terpikirkan kalau yang Aaron maksud itu kamu.” Aku berbicara sambil sesekali menyisipkan senyuman tipis dari bibir ini.
            “Tak kusangka kalian sudah saling mengenal,” kata Aaron setelah berhasil menyimpulkan sesuatu.
            “Iya, Aar. Jadi, aku ternyata sekelas di kampus sama Piter.”
Aku tidak suka namanya yang begitu panjang. Aku tidak suka namanya yang mempunyai tiga ketukan itu, seperti namaku. Aku lebih suka mencari nama pendeknya agar terdengar lebih akrab. Dan karena Jupiter membiarkannya, aku terus saja hanya memanggilnya ‘Piter'.
            Jupiter sudah memutuskan untuk menduduki bangku yang tidak menghadap kearahku, juga tidak menghadap kearah Aaron. Ia duduk menghadap ke orang-orang yang datang berkerumun sambil menyantap makan siang mereka bersama-sama.
            “Baguslah. Itu lebih baik, bukan?” kata Aaron.
            “Kakakku orang baik. Kamu pasti bahagia bersamanya,” kata Jupiter.
            Jupiter yang dikenal sangat pendiam, bahkan lebih pendiam dari dinding yang tak kunjung berpindah dari tempatnya, hari ini cukup berbicara banyak. Berbicara hal-hal baik mengenai Aaron, kakaknya. Sekarang, aku bisa menyimpulkan kalau mereka saling mengagumi satu sama lain. Itu sangat jarang sekali terjadi. Sangat jarang sekali ada kakak-beradik yang sangat saling mengagumi seperti Aaron dan Jupiter. Itu artinya, mereka saling mengerti satu sama lain. Mereka saling menyayangi.
            “Maksud kamu apa, sih?” kata Aaron yang tersipu.
            Jupiter pun tak jarang mengeluarkan senyuman mahalnya. Iya, senyuman Jupiter memang sangat mahal harganya. Aku, kami dikelas, harus menunggu saat-saat paling baik untuk dapat melihat Jupiter menyunggingkan bibir tipisnya. Ia sangat jarang mengeluarkan senyum, bahkan berbicara.

*

            “Aku sangat suka melihatmu dan Aaron saat sedang berbicara. Kalian hanya saling mengagumi satu sama lain.”
            “Akulah yang mengaguminya. Bukan sebaliknya,” kata Jupiter.
            “Bukan itu yang aku lihat. Kalian terlihat sangat saling mengagumi. Kalian terlihat saling mernyayangi. Itu hal luar biasa menurutku.”
            “Untuk apa kamu duduk disitu dan ingin berbicara panjang lebar denganku?”
            “Apa itu salah? Aku hanya ingin berbicara denganmu.”
            “Untuk apa?”
            “Haruskah punya alasan untuk hanya sekedar berbicara dengan seorang teman?”
“Kalau menurutmu aku dan Aaron saling menyayangi, seharusnya kamu mengerti.”
“Aku nggak mengerti apa yang sedang kamu bicarakan.”
“Aku yakin kamu mengerti.”
“Kenapa? Kamu menyukaiku? Kamu cemburu terhadap Aaron?!”
Jupiter terdiam. Cukup lama. Aku terus menunggunya untuk mengeluarkan suara lagi.
“Kamu nggak berhak mengatakan hal tadi.” Jupiter menatapku lekat sebelum akhirnya membuang tatapannya kearah lain.
“Lalu kenapa?!”
“Pergilah! Jangan berbicara padaku lagi. Jangan pernah melakukannya lagi.”
Tidakkah ia tahu? Tidakkah Jupiter tahu bahwa kalimat yang baru saja ia ucapkan mampu membuatku ingin merontah kesakitan? Tidakkah ia mengerti betapa bahagianya aku saat mengetahui bahwa ia adalah adik yang sangat dibanggakan Aaron? Tidakkah ia memikirkan perasaanku? Perasaan yang  belum pernah sekalipun perpindah dari dirinya semenjak beberapa tahun yang kita jalani sebagai classmate? Tidakkah ia tahu apa yang baru saja ia lakukan padaku? Pada hatiku?

*


Aku ingin semuanya jelas hari ini. Temui aku ditaman waktu itu sekarang juga.


Begitulah isi pesan singkat yang baru saja di kirim Aaron ke ponselku.
Maka aku bergegas pergi ke tempat yang dijanjikan Aaron dalam pesan singkat itu.
Setelah aku menghentikan sebuah taksi yang berhasil membawaku kemari, aku berjalan menuju bangku taman yang menjadi favoritku dan Aaron.
Disana telah ada Aaron yang duduk termangu bersama seorang laki-laki yang begitu akrab dalam ingatanku. Mereka sedang duduk membelakangiku.
“Hey,” sapaku pelan.
Mereka berdua berdiri beriringan menyambutku.
Entah hanya beberapa detik berlalu, yang hanya kita lalui dengan diam dan saling pandang, seorang perempuan datang mendekat kearah kami, berdiri disamping kananku dengan satu lengan yang merangkul akrab diatas pundakku.
Perlahan Aaron meraih lengan perempuan itu yang kemudian berjalan mendekati Aaron.
She’s what we’ve been talking about along the time. Me and Evyta.
“Jadi, aku berbicara tentangmu pada Evyta untuk berterima kasih karena apa yang telah Evyta lakukan untukku dan Meisa.” Lanjut Aaron setelah terhenti beberapa detik.
Meisa tersenyum menatap Jupiter yang juga sangat akrab dengannya itu. Aku tidak tahu harus menunjukkan ekpresi macam apa di saat seperti ini. Aaron hanya terus berbicara. Terus meluruskan semua yang terjadi.
“Menurutku, Evyta sangat baik untuk adik terbaikku. Maka aku berniat untuk mengenalkan kalian. Tapi ternyata, Tuhan telah lebih dulu memperkenalkan kalian satu sama lain,” sambung Aaron.
“Begitukah?” Akhirnya Jupiter mengeluarkan suaranya.
“Aku mencintai Meisa. Hanya mencintai Meisa. Aku jatuh cinta pada sebuah tatapan yang mendekapku lembut waktu itu. Sebuah tatapan yang membuatku tak dapat bekata lebih banyak lagi selain satu kata ‘maaf’. Tatapan yang mengantarku sering sekali bertemu dengan Evyta, sahabat si pemilik tatapan itu.”
Entah apa yang terjadi di kedalaman hatiku saat ini, aku hanya mampu mengeluarkan sebuah senyuman termanis sembari menatap Jupiter, mimpiku.
Jupiter melakukan hal yang sama. Melesakkan senyuman khas miliknya dengan mata yang tak sekalipun terlepas dari kedua mataku.


(((CERPEN)))

Akhirnya...

Rasanya, sudah cukup lama blog ini saya buat. Mungkin selama itulah waktu yang saya butuhkan untuk akhirnya mencoba menulis di blog ini. Tidakkah hal itu sedikit berlebihan?
Namun, melalui blog ini, aku hanya ingin sedikit berbagi tulisan untuk kalian semua.
Merangkai kata-kata indah, dalam harmoni barisan kata-kata.

Menulis telah menjadi teman hidupku dalam waktu yang cukup lama. Walaupun terlalu banyak koreksi yang kulemparkan sendiri terhadap tulisan-tulisanku, aku tetap ingin menyajikannya dalam sepiring hiburan untuk mendapatkan koreksi yang nyata. Koreksi yang datang dari orang lain, adalah koreksi yang nyata menurutku. Karena seberapa banyakpun aku mengoreksi tulisan-tulisanku, tulisan-tulisan itu tidak akan banyak berubah. Jelas berbeda dengan koreksi yang didapat dari orang lain. Hal itu akan memacuku untuk dapat membuat sesuatu yang lebih baik lagi. To make something better than before lah.

Cukup banyak waktu yang kulalui dengan melakukan hobiku. Kesukaanku. Kutorehkan imajinasiku di lembar demi lembar kertas putih bersih yang dipeluk teknologi; komputerku tersayang.
Sejak pertama kali aku menemukan sebuah bakat, atau mungkin hanyalah sebuah hobi yang tersimpan rapi masih dengan pita merah yang menyampulnya dikedalaman hatiku, SMP lalu, aku hanya sering memaparkan kata per kata yang ada dalam kepalaku di sebuah komputer lusuh milik ayahku. Awalnya, komputer itu diletakkan kokoh di atas meja kerja ayah di kantornya. Maka aku sering meminta ayah untuk menajakku kesana hanya untuk menyalurkan hobiku. Aku bermimpi untuk membuat sebuah novel kala itu. Aku tidak bermimpi untuk menjadi seorang penulis. Belum. Hanya saja, aku ingin mencetak imajinasiku pada tinta-tinta hitam yang kubuat menari-nari di hamparan putih kertas dalam program Microsoft Word. Dalam seminggu, bisa beberapa kali aku menapaki langkah menuju kantor ayahku saat menjelang sore hari. Tentu saja, bersama dengan ayahku. Mana mau aku kesana sediri :D

Sedikit membongkar rahasia, dulu aku begitu pemalu. hehe.
Aku bahkan sesekali berkata ingin membuat tugas yang harus diketik dan di-print hanya untuk dapat 'bertemu' dengan sebuah alat yang bisa membuatku tanpa lelah, setidaknya tidak begitu lelah, walau sudah beribu-ribu kata yang berhasil kucetak, daripada harus menulisnya dalam secarik kertas dengan pena dan tentu saja tanganku sendiri.

Satu tahun berlalu. Novel yang kuidam-idamkan hampir saja beres. Tersisa chapter terkahir yang harus aku ketik, seingatku. Maka aku tulis garis-garis besar cerita yang ingin aku jadikan sebuah akhir fdari novelku itu di sebuah buku catatan yang terletak di lemari bukuku sampai saat ini. Aku tidak sabar ingin melihat akhir dari deretan-deretan paragraf yang kutulis. Tapi sore itu berbeda.
Ayah berkata, ia tidak memerlukan komputer itu lagi untuk terus berada di ruang kerjanya di kantor. Maka ia membawa pulang seluruh komponen komputer komputer yang telah menjadi temanku selama setahun terakhir ini. Jelas, betapa bahagianya aku saat mendengarnya, karena aku tidak perlu kemana-mana lagi untuk menyalurkan hobiku itu. Hanya diam di kamar, dan membiarkan jari-jemari lentikku menari riang di atas tombol-tombol keyboard yang berbaris rapi.

Aku sudah siap di depan komputerku sayang. Perlahan, kucari dokumen yang kusimpan rapi didalamnya. Dan... 'Byar!!' DOKUMEN ITU TIDAK BISA DIBUKA.
Ada apa ini?! Apa aku salah dengan langkah-langkah untuk membuka sebuah dokumen di komputer? Tidak mungkin. Aku melakukannya hampir setiap hari dalam setahun terakhir ini. Aku mencobanya lagi. Dan hanya ada beberapa kata yang muncul dalam bahasa asing yang cukup kumengerti. Disitu tertulis kalau dokumenku tidak bisa dibuka karena terlalu banyak halaman yang telah kuhabiskan, over memory limit.

Dokumenku, novelku, hilang seketika. Sesaat mataku memanas, tetapi hanya mampu terdiam tanpa kata. Aku sangat panik. Bagaimana bisa usahaku setahun terakhir ini berakhir begitu saja tanpa sisa?! Bukan menulis yang kumaksud dengan 'usaha'. Karena bagaimanapun, aku selalu meikmati saat-saat ketika aku sedang menlis. Tidak ada usaha disana. Hanya kebahagiaan. Usaha yang kumaksud adalah saat aku selalu meminta untuk diajak ayah ke kantornya. Bahkan sampai memberi alasan karena sebuah tugas. Semuanya hilang begitu saja. Sangat menyesakkan dada.

Setelah kejadian itu, aku merasa lelah dan takut jika harus mulai menulis lagi. Bagaimana jika di penghujung tulisanku, semua akan pergi juga meninggalkanku tanpa bekas?

Sejak itu, aku tidak pernah lagi menulis walau komputer sudah berada dekat denganku. Hanya berjarak beberapa jengkal dari tempatku membaringkan tubuh dikala malam telah larut. Aku masih takut. Takut kecewa.

Sampai pada suatu hari, masih ditahun yang sama, aku mendapat tugas dari guru bahasa Indonesia di SMA untuk membuat sebuah cerpen. Maka mulailah aku membuka diri, mengumpulkan butir-butir keberanian yang masih berserakkan di lantai. Dan ini untuk kali pertama aku menulis bukan karena keinginanku sendiri, melainkan keharusan dari seseorang.

Sebuah cerpen selesai dalam waktu beberapa hari. Bahkan ending-nya sangat tidak bagus menurutku. Jelek!

Aku tidak mempedulikannya, karena yang terpenting, aku sudah berhasil menyelesaikannya dan bisa mengumpulkannya.

Ada hari lain lagi di tahun yang sama, yang membuat api-api semangat menulisku kembali berkobar. Ada seorang teman yang mengajakku untuk mengikuti sebuah lomba menulis cerpen di kota ini. Dan berbeda dengan saat menerima tugas membuat cerpen, aku merasakan kebahagiaan di dalam hatiku. Walau ternyata belum cukup untuk menghapus rasa kecewaku. Maka, aku hanya memoles sedikit cerpen yang menjadi tugas sekolahku untuk aku ikut-sertakan dalam sebuah lomba menulis cerpen.
Katanya, pemenangnya akan dihubungi secepatnya. Aku tidak berniat untuk duduk terpaku, sambil menunggu telepon berdering. Cerpenku itu kacau. Ending-nya jelek sekali menurutku.

Dan benar saja! Aku tidak dihubungi oleh siapapun bahkan setelah bulan berganti. Tetapi, karena dua hal itu, aku berhasil menulis lagi. Dan setelah itu, api semangatku kian hari kian berkobar. Apalagi saat aku tidak dihubungi pihak penyelenggara lomba. Aku bertekad untuk merubah pertengahan hinga akhir cerpenku tadi agar menjadi lebih baik. Dan mulai dari situ, aku mau menulis lagi. Bahkan tidak membutuhkan waktu lama, aku berhasil mengubah semua yang ingin kuubah dari cerpenku tadi.

Perlahan, rasa kecewaku menghilang dimakan waktu. Maka aku putuskan untuk membuat cerpen-cerpen saja karena belum sanggup untuk mengulang membuat novel lagi. Sampai saat ini, menulis masih menjadi dunia yang tersembunyi jauh di lubuk hatiku, serta terasa hangat disana. Hanya aku yang bisa merasakan kemegahan dan segala keindahan serta kenyamanan yang ditawarkannya.
Sejak saat itu, bahkan sampai sekarang, aku masih bergumul dengan komputerku tersayang untuk membuat tulisan-tulisan yang ada di dalam imajinasiku. Bahkan saat zaman sudah tersentuh teknologi yang lebih canggih, laptop sudah ada di genggaman, dan bisa aku bawa keanapun untuk mendapatkan inspirasi-inspirasi menulis, komputerku sayang masih menjadi wadah utamaku.

Aku lebih suka menulis dalam dekapan dinding-dinding persegi panjang. Setidaknya, sampai saat ini, belum ada yang berubah.