Sabtu, 28 Juni 2014

Saya paling suka persimpangan jalan itu...

         Aku paling suka persimpangan jalan itu. Deretan memori klasik berbaris indah di sana. Semua teringat kembali. Semua kejadian klasik kala diri ini masih berseragam putih dan merah, yang jika dibalik warnanya menjadi senada dengan warna bendera kebanggaan Negeri ini. Dalam senyum dengan mata terpejam, aku menikmatinya.

        Banyak yang berubah kini. Namun kesan klasik yang disuguhinya, takkan pernah berubah. Kios-kios itu masih berbaris indah di sana. Masih ada beberapa pedagang yang berjualan di depannya, walau tak sebanyak dahulu. Seorang lelaki setengah baya yang tak bisa dibilang kurus, namun tak pula gendut, dengan ransel kecil yang sudah lusuh di atas salah satu punggungnya, berjalan cepat-cepat melewati deretan kios yang memanggil. Hal itu adalah salah satu yang paling aku kagumi dalam persimpangan jalan itu. Seorang kakek dengan gerobak yang ia dorong penuh harapan, itupun salah satu cuplikan masa lalu yang menyapa ingatanku. Mini market yang dahulu begitu akrab denganku dan ibu, bahkan ayah, juga tak mau kalah bersaing. Semua terjadi saat aku berdiri menatap persimpangan itu. Memori-memori tadi memancing rasa rindu di dalam hati. Setidaknya, ada hal yang tak banyak berubah di kota ini. Iya, di situ tempatnya. Sudut yang aku kagumi dari kota ini. Persimpangan itu.



Sudut yang aku kagumi

         Sayangnya, hanya sebuah foto di zaman modern ini yang berhasil aku dapatkan. Namun benar, bukan? Persimpangan jalan itu adalah salah satu hal yang tidak banyak berubah dari kesan pertamaku. Bangunannya masih lusuh, dan mengagumkan. 
      
      Aku tidak begitu yakin kalau itulah persimpangan jalan yang menjadi salah satu favorite spot-ku di Manado tercinta ini, karena aku yang belum berhasil memotretnya secara langsung. Tapi kira-kira begitulah bentuknya. Sudut yang aku kagumi itu. Aku menyebutnya, 'Kota Tua-nya Manado'.













Sabtu, 07 Juni 2014

A Friendship System

           Alexandria Anastasia. Begitulah kedua orang tua tercinta menamaiku. Sungguh indah, bukan? Terus-menerus aku mengagumi nama yang ku miliki itu, kala masa remaja mulai menyentuh kehidupanku. Kata Mama, sih, aku dilahirkan di Alexandria, salah satu kota besar di Mesir saat Ayah dipindahtugaskan ke sana selama 2 tahun, tepat di tahun pertama Ayah menikahi Mama. Betapa cemerlangnya pula alasan pemberian nama itu, bukan?

           Masa-masa remaja pun berlalu dengan indahnya. Aku berhasil merasakan cinta dari semua orang yang benar-benar tulus mencintaiku. Namun, hanya ada dua cinta yang masih bertahan sampai sekarang, saat aku tengah duduk di bangku kuliah. Cinta dari Ayah dan Mama, serta cinta dari dua orang sahabatku, Milita dan Sevia. Walau kami bertiga telah memilih jalan hidup kami masing-masing, persahabatan itu masih saja terjalin manis hingga saat ini. Milita meneruskan pendidikannya di Fakultas Kedokteran. Sevia, sekarang tengah menekuni bisnis keluarga mereka, yaitu Bakerry shop. Aku sendiri, sekarang tengah berkuliah di Fakultas Teknik, Jurusan Informatika di Kota ini. Aku memilih jurusan itu hanya karena satu hal; aku menjadikannya sebuah mimpi yang akan kujadikan nyata di masa depan.

            “Mbak, minta sendok sama garpunya, dong!” kataku pada seorang pelayan saat aku, Milita dan Sevia berhasil bertemu hanya untuk sekedar menghabiskan akhir pekan yang sungguh mahal harganya. Jumat, Sabtu dan Minggu. Hanya 3 hari dalam seminggu aku bisa menghilangkan penat. Hanya 3 hari dalam seminggu aku bisa benar-benar merasa santai. Hanya 3 hari dalam seminggu, kami bisa bertemu. Kecuali, saat tugas mulai mengurungku hanya dalam sebuah ruang berbentuk persegi; kamarku sendiri.

             “Itu, di tempat sendok masih ada, Mbak,” jawab si pelayan.

             “Iya.. itu tinggal sendok, kan? Aku juga butuh garpu!” Aku bersihkeras.

             “Lex, lihat, nih, ya,” kata Milita sembari membuka tissue yang melilit garpu dan sendok bersamaan. “Jangan bikin malu, deh!” tambah Milita. Sevia menggeleng-gelengkan kepalanya. Mbak pelayan pun berlalu.

             Aku tersipu malu. Pipiku memanas, dan seketika itu berubah kemerahan. Aku tidak menyangka kalau garpu dan sendok dibungkus secara bersamaan dengan satu helai tissue.

             “Ya, jangan gitu, lah, Mil. Aku, kan, malu sama Mbak-Mbak yang tadi,”

             “Lah, habis gimana? Kamu jadi kayak asal nuduh tahu, nggak!”

             Seperti itulah Milita. Ia tidak pernah berpikir betapa malunya orang yang katanya adalah sahabatnya saat Ia mulai berulah. Sevia pun tidak kalah menyebalkannya. Bahkan Sevia pernah mengomentari style-ku dengan begitu terbukanya di depan banyak orang. Waktu itu, aku memang sedang terburu-buru. Maka aku hanya mengambil secara acak bajuku di lemari dan mengenakannya. Tak kusangka, warna baju dan jeans yang aku kenakan saat itu sangat tidak cocok. Tapi apakah tidak bisa Sevia membisikkannya saja padaku, tanpa diketahui oleh orang lain di sekitar kita?

             Entah mengapa, apapun yang mereka lakukan, aku masih saja sangat menyayangi mereka seperti terhadap saudara-saudara perempuanku sendiri. Namun, semuanya bukanlah tanpa alasan, karena mereka adalah orang-orang yang selalu ada untukku, apapun yang terjadi. Mereka adalah orang-orang yang membagi tawa denganku tanpa ragu, mereka tidak akan bersenang-senang dan melakukan hal-hal bodoh tanpaku. Kami telah melalui banyak sekali cerita bersama. Dan aku tidak akan pernah menemukan alasan untuk meninggalkan mereka. Mungkin saja mereka melakukan hal semacam itu agar aku segera sadar atas kebodohanku sendiri yang kurang teliti.

*

             “Kok nggak kasih tau dari tadi, sih? Aku, kan, malu sama orang-orang yang ketawa tadi,” kataku pada Radisa, salah seorang temanku.

             “Aku nggak enak juga, sih, mau kasih tahu kamu,” Radisa agak takut.

             “Tapi, kan, sekarang aku lebih malu lagi. Karena orang-orang ketawa nfeliat restletting belakang aku kebuka, dan kamu yang dari tadi tahu dan ada di dekat aku, malah diam aja.”

             “Aku nggak enak kalau aku bilang tadi, kamu pasti malu banget.”

             “Mendingan mana sama sekarang? Satu koridor udah lihat tadi. Kalo dari awal kamu kasih tahu, aku nggak bakal semalu ini.”

             Aku benar-benar kecewa terhadap Radisa. Ia sudah tahu sejak awal kalau terjadi sesuatu yang akan membuatku malu, namun ia tidak menyampaikannya segera. Sekarang, aku benar-benar malu.

             Aku menjadi serba salah. Aku tidak suka dengan Milita dan Sevia yang terlalu jujur dan terbuka, tapi aku juga tidak suka dengan Radisa, yang karena tidak enak hati, Ia tidak bersikap jujur dan terbuka. Entah kesalahannya berada di mana. Pada diri mereka dengan pemikiran yang mereka anut masing-masing, atau pada diriku yang belum bisa mengerti mana yang sebenarnya baik untukku.

             Namun dari semua hal itu, aku banyak belajar. Semua hal yang terjadi padaku, pada kehidupanku, tergantung dari beberapa faktor. Faktor dari luar, dan faktor dari dalam. Faktor dari luarnya adalah orang-orang yang berlaku sesuai dengan pemikiran mereka masing-masing terhadapku, yang akan berdampak pada kehidupanku, dan faktor dari dalamnya adalah bagaimana aku bereaksi terhadap faktor-faktor dari luar itu sendiri.

             Sekarang, hanya ada satu orang yang akan memperbaikinya, yaitu diriku sendiri. Hanya diri ini yang pantas memilih jalinan persahabatan macam apa yang diinginkannya. All the choice, is on my hand.


I dedicated this story for my dear friend, ayu's short movie assignment. So I hope the best for your assignment's score :)))

(((CERPEN)))