Selasa, 21 Januari 2014

Pertemuan

      “Makasih, ya, kak,” kataku sembari sedikit memasukkan kepala ke jendela mobil dengan kaca yang terbuka lebar.

      “Jangan pulang malem-malem, ya. Kalau mau dijemput, telefon aja,” jawab wanita berparas cantik itu dengan tatapan datar.

      Ia memang memiliki paras yang cantik merona. Namun sejak hari itu, sekitar dua tahun yang lalu, semenjak kejadian itu, ia tak lagi sering memperlihatkan senyuman terindahnya. Wajahnya pun lebih sering terlihat murung. Intonasi suaranya, tidak seceria dahulu. Kejadian itu telah mengubah semuanya. Kejadian itu telah menyembunyikan dirinya yang sebenarnya. Seorang yang periang, pemalu tetapi menggemaskan, selalu tersenyum, dan merupakan salah satu penyemangat hidupku. Semua telah direnggut. Tidak ada lagi seorang yang seperti itu. Semuanya tertutupi oleh trauma kelam di masa lalu.

      “Sip, kak.” Aku tersenyum menatapnya.

      Kini, selalu tersenyum sudah menjadi tugasku. Aku pun harus menjadi seorang yang periang. Semuanya kulakukan, agar kakak bisa melihat seperti apa dirinya dulu. Dirinya yang luar biasa. Tidak seperti sekarang ini. Terlalu banyak diam, suka menghayal, juga tak peka lagi terhadap sekitar. Aku sangat sedih dengan semua itu. Apalagi, dia adalah kakakku satu-satunya. Tak perlu ditanya, aku sangat menyayanginya.

      Setelah mobil kakak berlalu, aku berjalan memasuki sebuah mol terbesar di kota ini, guna untuk bertemu dengan salah seorang temanku.

      Aku berjalan agak cepat sambil sesekali memalingkan wajah ke segala arah. Sehingga aku tertuju pada satu titik yang berjalan dari arah berlawanan. Ia sedang menelepon. Ia juga tidak terlalu mempedulikan sekitarnya. Ia hanya terus berbicara tanpa henti dengan seseorang di ujung telefon yang sedang mendengarkannya. Sampai pada akhirnya ia membelokkan tatapan lurusnya ke arahku. Matanya… begitu indah.

      “Hei, maaf, ya, telat,” kataku setelah sudah menduduki bangku tepat di depan temanku yang juga sedang duduk.

      “Nggak apa-apa kok, Rain. Mau pesen apa?” katanya sembari menyodorkanku sebuah daftar menu.

      “Males, ah. Bentar lagi, deh. Aku selesain makalah kita dulu. Biar tinggal kamu edit nanti,” kataku sembari mengeluarkan sebuah notebook dari dalam tasku.

      “Okay. Udah sampe mana, sih?”

      “Ini tinggal BAB III-nya. Bentar, ya,” kataku sambil dengan seriusnya menekan-nekan keyboard pada notebook dindepanku.

*

      “Nonton sendiri, deh. Si Feisha juga pake ada acara,” kataku menggerutu dalam hati.

      Aku sedang berdiri di dalam sebuah bioskop. Aku ingin sekali menonton sebuah film. Sampai akhirnya aku membuat janji dengan Feisha, temanku. Akan tetapi, saat aku baru saja memasuki gerbang bioskop, Feisha malah meneleponku dan membatalkan semuanya. Sedangkan aku tidak mungkin lagi membatalkannya. Ini salah satu film yang benar-benar kutunggu setahun belakangan.

      Mengajak kakak? Tidak mungkin. Semenjak kejadian itu, kakak tidak suka lagi pergi keluar dan bersenang-senang. Hanya duduk di rumah dan mematuhi semua permintaan mama. Saat kakak mengantarku saja beberapa hari silam, semua kakak lakukan karena permintaan mama.

      Temanku yang lainnya? Aku seharusnya membuat janji lebih awal. Maka kuputuskan untuk menontonnya seorang diri.

      Entah berapa banyak AC yang ada di dalam bioskop ini, membuat tubuhku menggigil kedinginan. Aku memang tidak terbiasa dengan alat pendingin ini. Aku lebih terbiasa dengan sebuah penyejuk alami yang kita sebut ‘angin’. Menurutku itu lebih menyejukkan.

      Aku terus saja mengepal-ngepalkan kedua tanganku hingga menjadi satu. Entah sudah berapa jam aku duduk di sebuah sofa dengan warna gelap tetapi cukup nyaman ini.

      “Mbak, film ini sudah dimulai, ya?” tanya seorang pria pada seorang karyawati. Mereka berdua berdiri tepat di depanku. Maka peristiwa ini kujadikan saja tontonan. Dari pada aku harus duduk diam, dan tanpa berbuat apa-apa. Aku memeperhatikan setiap detail yang mereka percakapkan.

      “Oh, sudah dimulai sekitar setengah jam yang lalu, Mas. Tapi, kalau Mas tetap mau masuk, tidak apa-apa. Silahkan masuk saja,” kata seorang karyawati dengan begitu ramahnya sambil sesekali mengeluarkan senyum tipis tapi manis miliknya.

      Laki-laki itu terlihat agak sedikit kecewa lalu terdiam. Mbak-mbak karyawatipun sudah pergi meniggalkannya sejak tadi. Tapi belum sedikitpun lelaki itu beranjak dari tempat ia berdiri.

      Satu hal yang membuatku terus memperhatikan wajah laki-laki itu. Wajahnya begitu familiar di mataku. Maka terus saja kutatap wajahnya yang tertunduk menghadap lantai.

      Tapi menurutku, Ia sangat mendramatisir keadaan. Baru juga setengah jam berlalu. Segera masuk saja kalalu masih mau menonton dan tidak mau lebih banyak ketinggalan cerita filmnya.

      Perlahan ia mengangkat wajahnya lalu memalingkannya kesamping kiri, tepat dimana aku duduk. Ya Tuhan, mata itu! Itu mata indah yang kulihat kemarin. Entah mengapa, mata sayunya yang mungkin menurut orang lain biasa saja, mampu membuat jantungku berdetak kencang. Sekali lagi, ia menatap mataku. Aku menatap matanya. Kami saling bertatapan.

      Kenapa dalam beberapa hari terakhir ini aku selalu dipertemukan dengannya? Ah, tidak. Pasti tidak ada apa-apa. Ini hanyalah sebuah hal kebetulan. Bukan salahnya juga kan berada di mol waktu itu, dan berada di sini, di bioskop ini sekarang? Ini memang kota besar. Tetapi tidak sebesar Ibukota. Jika sekarang ia berada di sini, pasti memang karena kemauannya. Karena hal itupun yang aku rasakan sekarang. Aku berada disini, karena aku memang ingin datang kemari.

      Lagipula, jika pertemuan-pertemuan itu disengaja oleh Tuhan, kenapa Tuhan tidak membiarkan kami berdua saling menyebutkan nama satu sama lain? Hanya membiarkan semuanya berlalu begitu saja tanpa arti. Tanpa bekas. Bahkan sekarang, setelah saling tatap tadi, dia sudah berlalu dari pandanganku. Semua terjadi begitu saja.

*

      Aku sedang berada di sebuah toko buku. Aku memang sangat suka sekali membaca. Apa saja, aku suka membacanya. Datang ke toko bukupun sudah menjadi sebuah rutinitas bagiku. Aku seperti sudah menjadwalkan harinya. Setiap hari minggu, aku pasti akan berkunjung ke sebuah toko buku. Tujuannya sendiri tentu saja untuk melihat-lihat dan membeli jika ada yang menarik hati.

      Dengan seksama, aku membolik-balik setiap buku yang mencuri perhatianku. Aku membaca sinopsisnya, melihat bagusnya cover, serta gaya penulisannya. Jika menarik bagiku, aku akan langsung membelinya dan terus merasa penasaran, sampai akhirnya aku sudah berada di rumah dan bersiap-siap untuk membacanya. Untuk mengetahui kisah macam apa yang tertulis rapi di dalamnya. Di atas kertas demi kertas yang dicetak dengan tinta begitu rapinya.

      "Brak!!!" Seseorang menabrakku. Sebuah buku yang kupegangpun terjatuh ke lantai.

      “Ini bukumu. Maaf, ya,” katanya sembari memberikan buku yang terjatuh tadi padaku.

      Tanpa berkata apapun, aku mengambil buku itu dari genggamannya. Iya tersenyum tipis padaku. Tapi, mata itu! Mata itu lagi! Bahkan sekarang, dari jarak yang semakin dekat. Aku yakin sekali, dialah pemilik mata itu. Mata yang membuatku jatuh hati.

      Setelah buku itu sudah berada digenggamanku, laki-laki yang menabrakku tadi langsung saja berjalan menjauh dariku. Ia seperti tidak memperdulikan apapun.

      Kita sudah bertemu beberapa kali. Tidakkah kamu mengingatku? Batinku. Aku terus menatapnya yang berjalan gontai ke rak buku sebelah.

      Aku terdiam, dan terus menatapnya tanpa henti. Ini sudah ketiga kalinya. Bahkan kali ini, ia berbicara padaku. Kami telah melakukan sebuah perbincangan singkat tadi. Aku tidak mau terus diam. Mungkin benar kalau Tuhan-lah yang sengaja mempertemukan kami dalam beberapa pertemuan yang hanya melibatkan kedua pasang bola mata kami.

      Aku berjalan mendekatinya. Aku tidak mau membiarkan pertemuan-pertemuan itu hanya berlalu begitu saja. Ini sudah kesekian kalinya. Sekarang aku benar-benar yakin kalau semua ini terjadi berkat campur tangan Tuhan.

      “Hey,” sapaku.

      “Hey,” balas laki-laki itu, bingung.

      “Apa kamu nggak sadar? Ini sudah kesekian kalinya kita bertemu,” jelasku.

      “Benarkah?”

      “Iya. Pertama, di mol saat kamu sedang menelepon. Kedua, di bioskop dua hari yang lalu. Dan hari ini, kita bertemu lagi disini, di toko buku ini.”

      Dia diam. Dia seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. Bola matanya terpendar kemana-mana. Ia benar-benar sedang berusaha keras untuk mengingat. Lama sekali. Lama sekali ia membiarkan aku menunggu. Sampai aku merasa menyerah karena mungkin dia memang tidak mengingatku sama sekali. Mungkin hanya aku saja yang memperhatikannya.

      “Mungkin benar. Muka kamu agak familiar, sih. Iya, mungkin benar.”

      “Aku Raina Shinta. Kamu sendiri?” Aku mengulurkan tangan kananku untuk dijabatnya.

      “Galaxy. Shan Galaxy.” Ia menjabat erat jemariku.

      “Kamu sedirian aja?” tanyaku.

      “Iya. Kamu juga? Suka baca buku, ya? Atau jangan-jangan kamu adalah seorang penulis?” Dia, yang katanya bernama Galaxy itu, menyerangku dengan cukup banyak pertanyaan. Sampai-sampai aku tidak tahu harus mulai menjawabnya dari mana.

      Aku sedikit tersenyum lalu menjawab, “Pertama, iya, aku sendiri kesini. Kedua, aku memang sangat suka sekali membaca buku. Tapi aku bukanlah seorang penulis. Hanya suka membacanya saja.” Akupun mengakhiri kalimatku dengan sebuah senyuman tipis. Aku tidak habis pikir, lelaki yang terlihat pendiam sepertinya, begitu saja melesakkan beberapa pertanyaan dengan cepatnya padaku.

      “Maaf, ya. Mungkin pertanyaannya terlalu banyak.” Diapun tersenyum.

      “Kamu suka buku jenis apa?” Aku bertanya lagi.

      “Aku suka membaca buku biografi tokoh-tokoh dunia. Aku tidak mempedulikan latar belakang tokoh-tokoh itu, namun aku yakin, mereka sangat berpengaruh bagi dunia ini. Maka mereka bisa terkenal di zaman ini sekalipun. Kamu?”

      “Kita berbeda. Aku lebih suka membaca novel atau bacaan santai lainnya.”

      Ia tersenyum sekilas, lalu, "Setelah ini, kita pergi makan, yuk. Kata kamu, kita sudah kesekian kalinya bertemu. Hal itu harus dirayakan, kan?”

      “Hal semacam itu harus dirayakan?” Aku sedikit merasa lucu sampai harus tertawa kecil.

      “Aku adalah seseorang yang sangat menghargai setiap hal. Buat aku, setiap hal itu adalah berkah yang diberikan Tuhan. Hal apapun akan aku hargai. Sekalipun hal buruk atau musibah yang terjadi. Tapi, pertemuan kita bukanlah sebuah musibah, kan?”

      “Baiklah, aku setuju.”

*

      “Kakak! Akhirnya aku bisa melihat lagi kakakku ini tersenyum di depan cermin sambil memoles tipis wajahnya dengan bedak. Akhirnya aku bisa melihat senyuman kakak lagi.” Aku merangkul kakak dari belakang.

      “Jangan berlebihan, ah. Kakak hanya sadar kalau kakak tidak seharusnya terus mengingat hal itu. Kakak iri dengan kamu. Kamu yang selalu tersenyum manis terhadap kehidupan ini. Pada kehidupan yang juga punya sisi buruknya. Sisi buruk yang sudah pernah berhasil kakak rasakan. Yaitu mengambil seseorang yang telah menjadi teman hidup kakak selama lebih dari 7 tahun. Yang menyayangi kakak tanpa henti walau cinta kami mungkin sudah usang dimakan waktu.” Kak Raisa Sylva, begitulah namanya, bercerita sambil terus mengelus kepalaku. Aku sedang berjongkok menghadapnya, menyandarkan pipiku pada kedua kakinya.

      “Syukurlah, kak. Raina sangat senang mendengarnya. Raina sangat merindukan kak Raisa yang seperti ini.” Aku tersenyum tulus menatap kak Raisa.

      “Tapi, kamu mau kemana, Rain? Kok sudah rapi begitu.”

      “Seperti biasa, kak. Ke toko buku.”

      “Oh, kakak antar, ya?”

      “Enggak usah, kak. Kakak di rumah aja, istirahat. Aku sudah telepon taksi, kok.”

      Setelah aku mendengar suara klakson sebuah taksi, aku beranjak berdiri, menciumi kedua pipi kakakku dan bergegas menuju taksi.

      Taksipun melaju ke sebuah toko buku favoritku. Sebuah toko buku yang menjadi saksi aku dan Galaxy saling mengucap nama satu sama lain, sembari berjabat tangan. Sebuah toko buku yang menjadi saksi bisu tatapan tajam antara kedua pasang bola mata kami. Sebuah toko buku yang mengakrabkan kami berdua. Bahkan, sebuah toko buku yang mengajak kami berdua untuk datang ke sana lagi hari ini. Tapi bukan karena sebuah pertemuan tak terduga lagi, melainkan karena kami memang sudah membuat janji untuk bertemu disana.

      Menurutnya, mempunyai seorang teman dengan hobi yang sama adalah menguntungkan. Kami bisa memberi informasi satu sama lain. Aku bisa menceritakan kisah-kisah romantic yang berhasil terekam kepalaku dengan baik padanya, juga dia bisa membagi semua pengetahuan mengenai buku-buku biografi yang ia baca. Atau kami berdua bisa juga saling bertukar, saling meminjamkan buku milik kami. Intinya, kami bisa saling berbagi informasi.

      Tapi perlakuannya padaku masih sangatlah biasa. Padahal kita sudah saling mengenal dan menjalin hubungan pertemanan dalam beberapa bulan terakhir ini. Apakah ia tak mempunyai perasaan lebih sedikitpun terhadapku? Apakah aku yang punya perasaan semacam itu terhadapnya? Entahlah. Aku hanya ingin terus, terus, dan terus bersamanya. Hanya bersamanya.

      Sekarang, Galaxy sudah seperti rumahku. Aku menempel bersama dengan bintang-bintang, mars, venus, jupiter, bahkan bumi. Aku telah menjadi sesuatu yang baru di sana. Akupun bisa melihat semua yang menjadi penghuni galaxy dengan begitu jelasnya. Berbinar-binar. Betapa indahnya.

      Hari ini, saat ini, sekarang, aku semakin yakin kalau Tuhan dengan sengaja memberikan beberapa pertemuan itu untukku dan Galaxy. Aku begitu terbuai, begitu terlena, dengan semua ini.

      Bahkan setelah lebih jauh mengenalnya, mengenal dirinya, mengenal Galaxy, aku semakin dibuatnya jatuh cinta. Lelaki yang pada awalnya aku pikir seorang yang pendiam, ternyata tidak sependiam itu. Bahkan sangat menyenangkan jika diajak mengobrol.

      Tapi, dia memperlakukanku sangat biasa. Seperti memperlakukan seorang teman. Tidak ada sedikitpun hal spesial atau semacamnya. Tapi mungkin saja dia masih malu-malu atau masih ingin meyakinkan perasaannya. Mungkin juga, aku hanya perlu menunggu sedikit lagi untuk sesuatu yang indah itu. Sesuatu yang aku tunggu-tunggu itu. Iya, mungkin sedikit lagi. Mungkin Galaxy masih berusaha untuk meyakinkan perasaannya. Lalu suatu saat nanti, Galaxy akan menyatakannya padaku, dan kami berdua hidup bahagia selamanya.

*

      “Galaxy!!” teriakku tidak percaya.

      “Raina!!” Galaxy berteriak sama kuatnya denganku.

      Aku merangkulnya begitu saja. Galaxy terdiam.

      “Ternyata kita satu kampus, ya? Semester berapa kamu?” tanya Galaxy.

      “Iya! Aku semester 4. Kamu?”

      “Semester 8. Sebentar lagi lulus. Amin, amin, amin.” Galaxy menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan miliknya, sambil mengamini kelulusannya.

      “Senior, dong? Ciyeeeeeh.” Aku menggoda Galaxy.

      Galaxy tertawa renyah, lalu, “Aku nggak nyangka, lho,  kita satu kampus,” kata Galaxy di sela-sela tawanya.

      “Apalagi aku, Gal!”

      “Kantin, yuk! Aku baru beli buku. Tapi aku beli buku genre kamu. Yang cinta-cintaan gitu deh,” katanya sembari berjalan menuju kantin. Akupun berjalan di sampingnya.

      “Ceritanya udah pindah genre, nih?”

      “Enggak-lah. Tapi bikin sebuah variasi itu, bagus, kan?”

      “Setuju, deh, sama kamu.” Kami tertawa senang.

      Tak kusangka, bahkan Tuhan memberikan kami tujuan yang sama. Kami berkuliah di jurusan yang sama, jurusan arsitektur. Itu artinya, kami ingin menjadi sesuatu yang sama. Kami suka hal yang sama. Kami ingin bekerja atau menjadi pekerja di bidang yang sama. Betapa indah rencana yang Tuhan berikan ini…

*

      “Gal, kok nggak bilang-bilang, sih, mau kesini?” Aku kaget melihat Galaxy yang begitu saja sudah berada di rumahku. Berdiri di beranda rumahku dan berbincang dengan kak Raisa.

      Mereka hanya menatapku dengan tatapan kaget tanpa bersuara. Kami hanya saling tatap-menatap dalam beberapa saat.

      “Kamu kenal Galaxy, dek?” tanya kak Raisa.

      Aku terdiam sejenak. Berpikir.

      “Oh, jadi kalian sudah saling kenal? Aku nggak perlu kenalin lagi, dong,” kataku.

      “Kalian kakak-beradik?” tanya Galaxy yang akhirnya membuka suara setelah beberapa saat terdiam.

      Aku hanya mengangguk penuh semangat.

      “Bagus bnaget, dong! Dia teman baik aku lho, Rais.” Galaxy merangkulku dengan tangan kanannya.

      Kak Raisa hanya tersenyum manis. Manis sekali. Seakan kakakku telah benar-benar kembali. Kembali dari perang melawan rasa traumanya. Perang melawan masa lalu.

      Sekitar 2 tahun yang lalu, kak Raisa sedang senang-senangnya, sedang ceria-cerianya untuk mempersiapkan sebuah pernikahan dengan seorang pria yang telah menemani hari-harinya selama kurang lebih 7 tahun. Tidak usah ditanya lagi. Kak Raisa begitu sangat mencintainya. Tapi takdir berkata lain. Takdir merenggutnya dari pelukan kakakku tersayang. Ia pergi keluar negeri untuk suatu pekerjaan, dan tak pernah kembali lagi. Ia mengalami kecelakaan hebat di sebuah negara, di bagian selatan Amerika. Mobil yang dikendarainya benar-benar hancur. Dan orang yang telah merajut mimpi-mimpi indahnya bersama kak Raisa itu meninggal seketika di tempat kejadian perkara. Bahkan kak Raisa tidak sempat lagi melihat wajahnya untuk terakhir kalinya. Jasadnya sudah tidak memungkinkan lagi untuk dibawa kembali ke Indonesia. Maka keluarganya sepakat untuk memakamkannya saja di sana.

      Kak Raisa begitu terpukul. Sangat terpukul. Hatinya begitu sakit. Bagai ditusuk-tusuk jarum yang berbentuk kecil tetapi dalam jumlah yang sangat banyak. Sakit. Sejak hari itu, kak Raisa sudah lupa bagaimana caranya mengukir senyum dan menjalani hidupnya seperti biasa lagi. Dia benar-benar terpukul.

      “Kamu sudah cerita?” tanya kak Raisa. Entah bertanya pada siapa.

      “Belumlah. Aku aja baru tahu hari ini kalau Raina-lah seorang adik yang sering kamu ceritakan itu,” jawab Galaxy.

      “Maksudnya apa?” Akhirnya aku angkat bicara.

      “Rainaku, jadi, aku dan kamu akan menjadi… maksudku, kamu akan menjadi adik iparku!” Galaxy teriak bahagia, lalu menatap wajah kak Raisa dan memberinya senyuman lebar.

      Jantungku berdetak kencang. Lebih kencang. Lebih kencang lagi. Seluruh organ tubuhku seakan berhenti melakukan aktivitasnya kecuali jantung. Tubuhku mematung. Wajahku memucat. Hanya menatap datar ke depan. Apa yang baru saja aku dengar? Galaxy? Kak Raisa?

      “Jadi, Galaxy adalah alasan di balik kembalinya senyuman kakak?” Aku bertanya pelan. Mataku hanya lurus tertuju pada mata kakak. Aku tidak menatap Galaxy lagi. Aku bahkan tidak sudi menatap mata Galaxy lagi. Aku tidak sanggup. Aku tidak mau tahu apapun tentangnya dan matanya lagi. Aku hancur sehancur-hancurnya.

*

      Aku memutuskan untuk tetap menyimpan perasaan yang dalam ini terhadap Galaxy. Aku memutuskan untuk diam. Aku memutuskan untuk menikmati rasa ini seorang diri. Bagaimana bisa aku sanggup menghancurkan kebahagiaan penyemangat hidupku, kakakku, kak Raisa. Bagaimana bisa aku membongkar seluruh perasaanku terhadap Galaxy dan melihat kakak tersayangku kembali ke hari-hari kelamnya? Bagaimana bisa seorang adik yang sangat menyayanginya melakukan semua hal itu?

      Aku memutuskan untuk terluka sendiri. Aku memutuskan untuk menahan sakit ini seorang diri hingga waktunya rasa sakit ini bosan dan pergi begitu saja meninggalkanku. Aku memutuskan untuk diam. Diam dalam kata.

      Kak Raisa sudah pernah merasakan betapa hancur hidupnya, betapa hancur hari-harinya, dan betapa hancur hatinya. Kak Raisa sudah melewati semuanya. Mungkin saja sekarang adalah giliranku. Giliranku untuk merasakan semua yang pernah mendera kak Raisa. Mungkin, agar aku tahu bagaimana rasanya. Aku hanya bisa berusaha ikhlas. Berusaha tersenyum di atas kepedihan hatiku sendiri. Memalsukan semua yang kasat mata.

      Tapi aku hanyalah seorang manusia biasa. Rasa sakit itu nyata aku rasakan. Menusuk-nusuk relung hatiku yang terdalam. Hingga hatiku menjerit-jerit dalam tangis. Mungkin aku akan berusaha mengikhlaskannya. Tapi belum sekarang. Luka di hatiku masih melebar dengan darah yang masih mengalir deras. Aku tidak sanggup untuk harus melihat Galaxy, mimpiku, dan kak Raisa, hidupku. Mimpi dan hidupku bertukar sebuah cincin yang menjadi lambang cinta mereka.

      Aku putuskan untuk tetap berada di sini. Untuk tetap berdiri di sini, di toko buku ini entah sampai kapan. Setidaknya sampai hatiku merasa cukup tenang dan cukup kuat untuk menyaksikan semua hal menyakitkan itu.

      Aku hanya memandangi sebuah buku yang ada di dalam genggamanku tanpa berniat untuk membuka atau membacanya. Aku sedang didera perasaan bimbang.

      "Brak!!!" Seseorang menabrakku. Sebuah buku yang kupegangpun terjatuh ke lantai.

      “Ini bukumu. Maaf, ya,” katanya sembari memberikan buku yang terjatuh tadi padaku.

      Tanpa berkata apapun, aku mengambil buku itu dari genggamannya. Iya tersenyum tipis padaku.


(((CERPEN)))