Rabu, 15 Oktober 2014

Selamat Malam :)

Aroma malam hari mulai terhirup. Aroma khas yang saling memadu dengan hidung, namun menyejukkan hati.

Kerlip bintang yang semakin menjadi-jadi, bagaikan pertanda malam kian melarut.

Tiupan angin yang malu-malu, menjadikan sejuk yang menenangkan jiwa.

Rembulan yang mendaki langit luas tanpa tara, semakin tak terjangkau oleh kedua mata.
Nemun terus menyinari bumi dengan senyumannya yang kian merekah.

Terus kuhirup aroma malam, semakin ketenangan menyergap batin.

Aku didekapnya lembut, hingga kusemakin mengaguminya bagai candu.

Bagai senja yang semakin kutatap, semakin aku mencintainya.

:|

I think, I don't believe in lucky.
I don't believe when people says that 'You're lucky cause...'
For example, when I'm success with my exam then people says, 'Ah, you're lucky cause blah blah blah'.
Please, appreciate my effort to studied all over the night just for some of hours to do that exam.
I don't agree with people who always says that 'You're lucky cause this factor, that factor, and blah'.
Cause for me, when I'm success with something, when I do something and it went success, that's because all of my effort for it, and... the most important thing is, it's because of allowing by God.
I d o n ' t put my life and my everything in lucky.
But I put them all just in God.
So, how my effort being so hard, how lucky runs in me, everything will never happen without of allowing by God.
That's why, I never agree with ---> 'You're so lucky cause blah blah blah'.

Jumat, 12 September 2014

Happy graduation!!!!!

Kembali, semua tiba di gerbang pemberhentian.
Namun bukanlah merupakan sebuah akhir.
Karena setiap yang berakhir, selalu memiliki awal yang baru.
Kecuali Tuhanlah yang mengakhiri semuanya.

Tiba di titik ini, seharusnya dijadikan sebuah batu loncatan untuk awal baru yang cemerlang.
Namun entah harus dimulai dari mana.

Riang gembira, kehirukpikukan, serta senyum yang tersamarkan masih saja mengendap masuk ke dalam memori.
Dan lagi, entah harus dimulai dari mana.

Sejujurnya, entah mengapa, tiada debar jantung yang menghangat di dada terjadi saat kedua kaki telah melangkah masuk ke gerbang tadi.

Namun walau begitu, ternyata rasa syukur telah melarut di dalam hati.
Menghangatkannya, hingga mata berkaca-kaca.

Tapi tetap saja, semua masih terasa sama.
Tiada jelmaan baru yang menyelinap masuk, mencoba menjadi bagian dari seluruh tubuh.
Semua masih tetap sama, tiada yang berubah.
Aku, masih tetap adalah aku.
Mungkin akar pohon di otakku yang bertambah, atau mungkin cara otak itu berpikir.
Namun bagaimanapun, semua masih terasa sama.

Jumat, 29 Agustus 2014

Seharusnya...

         21 tahun telah berlalu sejak hari pertamaku menatap dunia. Namun, sampai pada saat ini, entah hal mana yang adalah cita-citaku yang telah kujadikan nyata. Rasanya belum ada. Ya, belum ada.
Banyak sekali keinginan, harapan, serta mimpi yang berkecamuk di hati dan kepalaku. Saling meronta-ronta bagaikan seorang yang kelaparan, namun tiada yang mengindahkannya. Tapi memang seharusnya begitu. Siapa yang lapar, dialah yang berkewajiban mengisi perutnya sendiri. Bukan orang lain. Sama sekali bukan orang lain.
         Mungkin begitu pula keinginan, harapan, serta para mimpi bekerja. Bukan untuk diindahkan oleh orang lain, melainkan si pemiliknya.
         Kesempatan. Mungkin itulah yang diharapkan untuk menjadi titik temu dari cita-cita dan jiwa yang ingin mewujudkannya. Namun bukankah kesempatan bukan untuk ditunggu, melainkan untuk diciptakan? Entahlah. Aku pun begitu. Ingin mewujudkan cita-cita, namun tidak berbuat apa-apa. Hanya termangu menunggu sang keajaiban.
         Itu mimpiku, Ini pun mimpiku. Namun tiada dari 'itu' dan 'ini' yang berhasil kuwujudkan sampai saat ini. Orang-orang yang lebih muda di luar sana yang telah berhasil mencatat manis mimpi-mimpi mereka, selalu menyentil relung hatiku. Tidak. Mereka tidak hanya menyentilnya, namun menamparnya keras. Tapi entah tamparan macam apa yang bisa menjadi pemacu diri ini untuk mengindahkan keinginan pribadi yang ada di dalam hati ini. Entahlah. Selalu begitu.
         Satu yang hampir berhasil kuukir dalam ingatanku, ingatan orang lain, serta ingatan mereka yang meremehkannya. Namun, sesuatu hal terjadi dan berhasil mengubur mimpi itu dalam-dalam. Bahkan lebih dalam dari sebelumnya. Bayangkan saja, persiapan sudah dilakukan dan begitu saja semuanya berakhir tanpa hasil. Entah kapan lagi kesempatan semacam itu akan datang menghampiriku. Aku benar-benar mengetik kalimat terakhir tadi dalam tangis yang bisu. Entah kapan, entah kapan, dan entah kapan. Kupikir, setidaknya akan ada satu yang berhasil kuwujudkan. Namun tidak. Sama sekali tidak. Entahlah.

Kamis, 07 Agustus 2014

Edelweis-ku

Mimpi itu, tak pernah sedikitpun menghianati benakku sampai saat ini.

Selalu menyatu dengan aliran darah.

Bagaikan sebuah kereta api, mimpi itu tak pernah berhenti berlari dalam otakku.

Bagai bunga-bunga indah yang tak pernah menghianati musim semi.

Bagai mentari yang terik saat musim panas.

Bagai daun-daun kering berwarna oranye yang tak pernah berhenti mendekorasi musim gugur.

Bagai salju putih nan lembut yang tak pernah absent saat musim dingin menjelma.

Bagai angin yang tak henti-hentinya menyejukkan hati.

Terbingkai indah dalam sebuah harap.

Dan akan terus seperti itu sampai kedua bola mata ini menyaksikannya.

Sampai kedua tangan ini menyentuhnya.

Sampai bibir ini mengecupnya.

Sampai jantung ini berdebar karenanya.

Sampai kaki ini berpijak padanya.

Sampai diri ini berhasil merasakannya.

Begitulah mimpi itu terus berada di dalam sini.

Di suatu tempat paling indah di dalam diri setiap manusia.

Sesuatu yang tanpa henti bergulir

Aku belum pernah tahu, mengapa ada sesuatu yang disebut waktu?
Aku belum pernah tahu, mengapa waktu selalu berubah sifat.
Kadang ia baik, lalu ia mendatangkan hal baik bahkan berkesan bagi setiap manusia.
Akan tetapi terkadang, ia malah merenggut kebahagiaan setiap manusia.
Mengapa manusia harus menunggu untuk sebuah 'waktu'?
Mengapa ada kutipan yang berbunyi, "Biar waktu yang akan menjawab"?
Mengapa manusia mempercayai sesuatu yang tidak berpendirian? Sesuatu yang dengan gampangnya berubah sifat. Berubah kepribadian.

KARENA kita tidak pernah memanfaatkan waktu yang ada.
KARENA waktu yang dibuang, waktu yang terbuang, atau entah apa, sudah terlalu banyak. Begitu banyak. Banyak sekali.

Sabtu, 28 Juni 2014

Saya paling suka persimpangan jalan itu...

         Aku paling suka persimpangan jalan itu. Deretan memori klasik berbaris indah di sana. Semua teringat kembali. Semua kejadian klasik kala diri ini masih berseragam putih dan merah, yang jika dibalik warnanya menjadi senada dengan warna bendera kebanggaan Negeri ini. Dalam senyum dengan mata terpejam, aku menikmatinya.

        Banyak yang berubah kini. Namun kesan klasik yang disuguhinya, takkan pernah berubah. Kios-kios itu masih berbaris indah di sana. Masih ada beberapa pedagang yang berjualan di depannya, walau tak sebanyak dahulu. Seorang lelaki setengah baya yang tak bisa dibilang kurus, namun tak pula gendut, dengan ransel kecil yang sudah lusuh di atas salah satu punggungnya, berjalan cepat-cepat melewati deretan kios yang memanggil. Hal itu adalah salah satu yang paling aku kagumi dalam persimpangan jalan itu. Seorang kakek dengan gerobak yang ia dorong penuh harapan, itupun salah satu cuplikan masa lalu yang menyapa ingatanku. Mini market yang dahulu begitu akrab denganku dan ibu, bahkan ayah, juga tak mau kalah bersaing. Semua terjadi saat aku berdiri menatap persimpangan itu. Memori-memori tadi memancing rasa rindu di dalam hati. Setidaknya, ada hal yang tak banyak berubah di kota ini. Iya, di situ tempatnya. Sudut yang aku kagumi dari kota ini. Persimpangan itu.



Sudut yang aku kagumi

         Sayangnya, hanya sebuah foto di zaman modern ini yang berhasil aku dapatkan. Namun benar, bukan? Persimpangan jalan itu adalah salah satu hal yang tidak banyak berubah dari kesan pertamaku. Bangunannya masih lusuh, dan mengagumkan. 
      
      Aku tidak begitu yakin kalau itulah persimpangan jalan yang menjadi salah satu favorite spot-ku di Manado tercinta ini, karena aku yang belum berhasil memotretnya secara langsung. Tapi kira-kira begitulah bentuknya. Sudut yang aku kagumi itu. Aku menyebutnya, 'Kota Tua-nya Manado'.