Rabu, 15 Oktober 2014

Selamat Malam :)

Aroma malam hari mulai terhirup. Aroma khas yang saling memadu dengan hidung, namun menyejukkan hati.

Kerlip bintang yang semakin menjadi-jadi, bagaikan pertanda malam kian melarut.

Tiupan angin yang malu-malu, menjadikan sejuk yang menenangkan jiwa.

Rembulan yang mendaki langit luas tanpa tara, semakin tak terjangkau oleh kedua mata.
Nemun terus menyinari bumi dengan senyumannya yang kian merekah.

Terus kuhirup aroma malam, semakin ketenangan menyergap batin.

Aku didekapnya lembut, hingga kusemakin mengaguminya bagai candu.

Bagai senja yang semakin kutatap, semakin aku mencintainya.

:|

I think, I don't believe in lucky.
I don't believe when people says that 'You're lucky cause...'
For example, when I'm success with my exam then people says, 'Ah, you're lucky cause blah blah blah'.
Please, appreciate my effort to studied all over the night just for some of hours to do that exam.
I don't agree with people who always says that 'You're lucky cause this factor, that factor, and blah'.
Cause for me, when I'm success with something, when I do something and it went success, that's because all of my effort for it, and... the most important thing is, it's because of allowing by God.
I d o n ' t put my life and my everything in lucky.
But I put them all just in God.
So, how my effort being so hard, how lucky runs in me, everything will never happen without of allowing by God.
That's why, I never agree with ---> 'You're so lucky cause blah blah blah'.

Jumat, 12 September 2014

Happy graduation!!!!!

Kembali, semua tiba di gerbang pemberhentian.
Namun bukanlah merupakan sebuah akhir.
Karena setiap yang berakhir, selalu memiliki awal yang baru.
Kecuali Tuhanlah yang mengakhiri semuanya.

Tiba di titik ini, seharusnya dijadikan sebuah batu loncatan untuk awal baru yang cemerlang.
Namun entah harus dimulai dari mana.

Riang gembira, kehirukpikukan, serta senyum yang tersamarkan masih saja mengendap masuk ke dalam memori.
Dan lagi, entah harus dimulai dari mana.

Sejujurnya, entah mengapa, tiada debar jantung yang menghangat di dada terjadi saat kedua kaki telah melangkah masuk ke gerbang tadi.

Namun walau begitu, ternyata rasa syukur telah melarut di dalam hati.
Menghangatkannya, hingga mata berkaca-kaca.

Tapi tetap saja, semua masih terasa sama.
Tiada jelmaan baru yang menyelinap masuk, mencoba menjadi bagian dari seluruh tubuh.
Semua masih tetap sama, tiada yang berubah.
Aku, masih tetap adalah aku.
Mungkin akar pohon di otakku yang bertambah, atau mungkin cara otak itu berpikir.
Namun bagaimanapun, semua masih terasa sama.

Jumat, 29 Agustus 2014

Seharusnya...

         21 tahun telah berlalu sejak hari pertamaku menatap dunia. Namun, sampai pada saat ini, entah hal mana yang adalah cita-citaku yang telah kujadikan nyata. Rasanya belum ada. Ya, belum ada.
Banyak sekali keinginan, harapan, serta mimpi yang berkecamuk di hati dan kepalaku. Saling meronta-ronta bagaikan seorang yang kelaparan, namun tiada yang mengindahkannya. Tapi memang seharusnya begitu. Siapa yang lapar, dialah yang berkewajiban mengisi perutnya sendiri. Bukan orang lain. Sama sekali bukan orang lain.
         Mungkin begitu pula keinginan, harapan, serta para mimpi bekerja. Bukan untuk diindahkan oleh orang lain, melainkan si pemiliknya.
         Kesempatan. Mungkin itulah yang diharapkan untuk menjadi titik temu dari cita-cita dan jiwa yang ingin mewujudkannya. Namun bukankah kesempatan bukan untuk ditunggu, melainkan untuk diciptakan? Entahlah. Aku pun begitu. Ingin mewujudkan cita-cita, namun tidak berbuat apa-apa. Hanya termangu menunggu sang keajaiban.
         Itu mimpiku, Ini pun mimpiku. Namun tiada dari 'itu' dan 'ini' yang berhasil kuwujudkan sampai saat ini. Orang-orang yang lebih muda di luar sana yang telah berhasil mencatat manis mimpi-mimpi mereka, selalu menyentil relung hatiku. Tidak. Mereka tidak hanya menyentilnya, namun menamparnya keras. Tapi entah tamparan macam apa yang bisa menjadi pemacu diri ini untuk mengindahkan keinginan pribadi yang ada di dalam hati ini. Entahlah. Selalu begitu.
         Satu yang hampir berhasil kuukir dalam ingatanku, ingatan orang lain, serta ingatan mereka yang meremehkannya. Namun, sesuatu hal terjadi dan berhasil mengubur mimpi itu dalam-dalam. Bahkan lebih dalam dari sebelumnya. Bayangkan saja, persiapan sudah dilakukan dan begitu saja semuanya berakhir tanpa hasil. Entah kapan lagi kesempatan semacam itu akan datang menghampiriku. Aku benar-benar mengetik kalimat terakhir tadi dalam tangis yang bisu. Entah kapan, entah kapan, dan entah kapan. Kupikir, setidaknya akan ada satu yang berhasil kuwujudkan. Namun tidak. Sama sekali tidak. Entahlah.

Kamis, 07 Agustus 2014

Edelweis-ku

Mimpi itu, tak pernah sedikitpun menghianati benakku sampai saat ini.

Selalu menyatu dengan aliran darah.

Bagaikan sebuah kereta api, mimpi itu tak pernah berhenti berlari dalam otakku.

Bagai bunga-bunga indah yang tak pernah menghianati musim semi.

Bagai mentari yang terik saat musim panas.

Bagai daun-daun kering berwarna oranye yang tak pernah berhenti mendekorasi musim gugur.

Bagai salju putih nan lembut yang tak pernah absent saat musim dingin menjelma.

Bagai angin yang tak henti-hentinya menyejukkan hati.

Terbingkai indah dalam sebuah harap.

Dan akan terus seperti itu sampai kedua bola mata ini menyaksikannya.

Sampai kedua tangan ini menyentuhnya.

Sampai bibir ini mengecupnya.

Sampai jantung ini berdebar karenanya.

Sampai kaki ini berpijak padanya.

Sampai diri ini berhasil merasakannya.

Begitulah mimpi itu terus berada di dalam sini.

Di suatu tempat paling indah di dalam diri setiap manusia.

Sesuatu yang tanpa henti bergulir

Aku belum pernah tahu, mengapa ada sesuatu yang disebut waktu?
Aku belum pernah tahu, mengapa waktu selalu berubah sifat.
Kadang ia baik, lalu ia mendatangkan hal baik bahkan berkesan bagi setiap manusia.
Akan tetapi terkadang, ia malah merenggut kebahagiaan setiap manusia.
Mengapa manusia harus menunggu untuk sebuah 'waktu'?
Mengapa ada kutipan yang berbunyi, "Biar waktu yang akan menjawab"?
Mengapa manusia mempercayai sesuatu yang tidak berpendirian? Sesuatu yang dengan gampangnya berubah sifat. Berubah kepribadian.

KARENA kita tidak pernah memanfaatkan waktu yang ada.
KARENA waktu yang dibuang, waktu yang terbuang, atau entah apa, sudah terlalu banyak. Begitu banyak. Banyak sekali.

Sabtu, 28 Juni 2014

Saya paling suka persimpangan jalan itu...

         Aku paling suka persimpangan jalan itu. Deretan memori klasik berbaris indah di sana. Semua teringat kembali. Semua kejadian klasik kala diri ini masih berseragam putih dan merah, yang jika dibalik warnanya menjadi senada dengan warna bendera kebanggaan Negeri ini. Dalam senyum dengan mata terpejam, aku menikmatinya.

        Banyak yang berubah kini. Namun kesan klasik yang disuguhinya, takkan pernah berubah. Kios-kios itu masih berbaris indah di sana. Masih ada beberapa pedagang yang berjualan di depannya, walau tak sebanyak dahulu. Seorang lelaki setengah baya yang tak bisa dibilang kurus, namun tak pula gendut, dengan ransel kecil yang sudah lusuh di atas salah satu punggungnya, berjalan cepat-cepat melewati deretan kios yang memanggil. Hal itu adalah salah satu yang paling aku kagumi dalam persimpangan jalan itu. Seorang kakek dengan gerobak yang ia dorong penuh harapan, itupun salah satu cuplikan masa lalu yang menyapa ingatanku. Mini market yang dahulu begitu akrab denganku dan ibu, bahkan ayah, juga tak mau kalah bersaing. Semua terjadi saat aku berdiri menatap persimpangan itu. Memori-memori tadi memancing rasa rindu di dalam hati. Setidaknya, ada hal yang tak banyak berubah di kota ini. Iya, di situ tempatnya. Sudut yang aku kagumi dari kota ini. Persimpangan itu.



Sudut yang aku kagumi

         Sayangnya, hanya sebuah foto di zaman modern ini yang berhasil aku dapatkan. Namun benar, bukan? Persimpangan jalan itu adalah salah satu hal yang tidak banyak berubah dari kesan pertamaku. Bangunannya masih lusuh, dan mengagumkan. 
      
      Aku tidak begitu yakin kalau itulah persimpangan jalan yang menjadi salah satu favorite spot-ku di Manado tercinta ini, karena aku yang belum berhasil memotretnya secara langsung. Tapi kira-kira begitulah bentuknya. Sudut yang aku kagumi itu. Aku menyebutnya, 'Kota Tua-nya Manado'.













Sabtu, 07 Juni 2014

A Friendship System

           Alexandria Anastasia. Begitulah kedua orang tua tercinta menamaiku. Sungguh indah, bukan? Terus-menerus aku mengagumi nama yang ku miliki itu, kala masa remaja mulai menyentuh kehidupanku. Kata Mama, sih, aku dilahirkan di Alexandria, salah satu kota besar di Mesir saat Ayah dipindahtugaskan ke sana selama 2 tahun, tepat di tahun pertama Ayah menikahi Mama. Betapa cemerlangnya pula alasan pemberian nama itu, bukan?

           Masa-masa remaja pun berlalu dengan indahnya. Aku berhasil merasakan cinta dari semua orang yang benar-benar tulus mencintaiku. Namun, hanya ada dua cinta yang masih bertahan sampai sekarang, saat aku tengah duduk di bangku kuliah. Cinta dari Ayah dan Mama, serta cinta dari dua orang sahabatku, Milita dan Sevia. Walau kami bertiga telah memilih jalan hidup kami masing-masing, persahabatan itu masih saja terjalin manis hingga saat ini. Milita meneruskan pendidikannya di Fakultas Kedokteran. Sevia, sekarang tengah menekuni bisnis keluarga mereka, yaitu Bakerry shop. Aku sendiri, sekarang tengah berkuliah di Fakultas Teknik, Jurusan Informatika di Kota ini. Aku memilih jurusan itu hanya karena satu hal; aku menjadikannya sebuah mimpi yang akan kujadikan nyata di masa depan.

            “Mbak, minta sendok sama garpunya, dong!” kataku pada seorang pelayan saat aku, Milita dan Sevia berhasil bertemu hanya untuk sekedar menghabiskan akhir pekan yang sungguh mahal harganya. Jumat, Sabtu dan Minggu. Hanya 3 hari dalam seminggu aku bisa menghilangkan penat. Hanya 3 hari dalam seminggu aku bisa benar-benar merasa santai. Hanya 3 hari dalam seminggu, kami bisa bertemu. Kecuali, saat tugas mulai mengurungku hanya dalam sebuah ruang berbentuk persegi; kamarku sendiri.

             “Itu, di tempat sendok masih ada, Mbak,” jawab si pelayan.

             “Iya.. itu tinggal sendok, kan? Aku juga butuh garpu!” Aku bersihkeras.

             “Lex, lihat, nih, ya,” kata Milita sembari membuka tissue yang melilit garpu dan sendok bersamaan. “Jangan bikin malu, deh!” tambah Milita. Sevia menggeleng-gelengkan kepalanya. Mbak pelayan pun berlalu.

             Aku tersipu malu. Pipiku memanas, dan seketika itu berubah kemerahan. Aku tidak menyangka kalau garpu dan sendok dibungkus secara bersamaan dengan satu helai tissue.

             “Ya, jangan gitu, lah, Mil. Aku, kan, malu sama Mbak-Mbak yang tadi,”

             “Lah, habis gimana? Kamu jadi kayak asal nuduh tahu, nggak!”

             Seperti itulah Milita. Ia tidak pernah berpikir betapa malunya orang yang katanya adalah sahabatnya saat Ia mulai berulah. Sevia pun tidak kalah menyebalkannya. Bahkan Sevia pernah mengomentari style-ku dengan begitu terbukanya di depan banyak orang. Waktu itu, aku memang sedang terburu-buru. Maka aku hanya mengambil secara acak bajuku di lemari dan mengenakannya. Tak kusangka, warna baju dan jeans yang aku kenakan saat itu sangat tidak cocok. Tapi apakah tidak bisa Sevia membisikkannya saja padaku, tanpa diketahui oleh orang lain di sekitar kita?

             Entah mengapa, apapun yang mereka lakukan, aku masih saja sangat menyayangi mereka seperti terhadap saudara-saudara perempuanku sendiri. Namun, semuanya bukanlah tanpa alasan, karena mereka adalah orang-orang yang selalu ada untukku, apapun yang terjadi. Mereka adalah orang-orang yang membagi tawa denganku tanpa ragu, mereka tidak akan bersenang-senang dan melakukan hal-hal bodoh tanpaku. Kami telah melalui banyak sekali cerita bersama. Dan aku tidak akan pernah menemukan alasan untuk meninggalkan mereka. Mungkin saja mereka melakukan hal semacam itu agar aku segera sadar atas kebodohanku sendiri yang kurang teliti.

*

             “Kok nggak kasih tau dari tadi, sih? Aku, kan, malu sama orang-orang yang ketawa tadi,” kataku pada Radisa, salah seorang temanku.

             “Aku nggak enak juga, sih, mau kasih tahu kamu,” Radisa agak takut.

             “Tapi, kan, sekarang aku lebih malu lagi. Karena orang-orang ketawa nfeliat restletting belakang aku kebuka, dan kamu yang dari tadi tahu dan ada di dekat aku, malah diam aja.”

             “Aku nggak enak kalau aku bilang tadi, kamu pasti malu banget.”

             “Mendingan mana sama sekarang? Satu koridor udah lihat tadi. Kalo dari awal kamu kasih tahu, aku nggak bakal semalu ini.”

             Aku benar-benar kecewa terhadap Radisa. Ia sudah tahu sejak awal kalau terjadi sesuatu yang akan membuatku malu, namun ia tidak menyampaikannya segera. Sekarang, aku benar-benar malu.

             Aku menjadi serba salah. Aku tidak suka dengan Milita dan Sevia yang terlalu jujur dan terbuka, tapi aku juga tidak suka dengan Radisa, yang karena tidak enak hati, Ia tidak bersikap jujur dan terbuka. Entah kesalahannya berada di mana. Pada diri mereka dengan pemikiran yang mereka anut masing-masing, atau pada diriku yang belum bisa mengerti mana yang sebenarnya baik untukku.

             Namun dari semua hal itu, aku banyak belajar. Semua hal yang terjadi padaku, pada kehidupanku, tergantung dari beberapa faktor. Faktor dari luar, dan faktor dari dalam. Faktor dari luarnya adalah orang-orang yang berlaku sesuai dengan pemikiran mereka masing-masing terhadapku, yang akan berdampak pada kehidupanku, dan faktor dari dalamnya adalah bagaimana aku bereaksi terhadap faktor-faktor dari luar itu sendiri.

             Sekarang, hanya ada satu orang yang akan memperbaikinya, yaitu diriku sendiri. Hanya diri ini yang pantas memilih jalinan persahabatan macam apa yang diinginkannya. All the choice, is on my hand.


I dedicated this story for my dear friend, ayu's short movie assignment. So I hope the best for your assignment's score :)))

(((CERPEN)))

Minggu, 18 Mei 2014

Totolan is Special

           Di mana lagi aku bisa melihat warna hijau mengalun indah sejauh mata memandang? Di mana lagi aku bisa menyaksikan para sapi-sapi berbaris tak beraturan di atas hamparan rumput setebal debu yang menghiasi rumah tak berpenghuni? Di mana lagi aku bisa menghirup aroma dedaunan hijau yang pekat menutupi rongga hidung? Di mana lagi aku bisa melihat mentari terbit dengan begitu jelasnya? Membiaskan cahayanya yang nyata di atas hamparan padi-padi hijau, mengubah langit biru menjadi warna oranye yang begitu aku kagumi, serta memicingkan kedua mata ini kala memandangnya, namun tiada lelah bola-bola mata ini memandanginya. Di mana lagi aku bisa merasa begitu dekat dengan rembulan bersama bintang-gemintangnya? Di mana lagi aku bisa menghirup nafas bebas kehirukpikukan? Di sini. Semua terjadi di sini.

           Tanggal 28 Mei 2014 menjadi hari yang paling membingungkan, membosankan, menjengkelkan, namun merupakan hari yang aku bersama teman-teman nantikan. Hari itu secara resmi, kami tiba di sebuah desa di Kecamatan Kakas Barat, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara untuk menjalankan tugas yang diamanatkan tempat, di mana aku sedang berkuliah. Sekarang, aku bersama teman-teman tengah duduk di tahun terakhir masa perkuliahan kami. Maka berbagai Praktek Kerja Lapangan harus kami lakukan untuk menyelesaikan kuliah kami. Salah satunya adalah di sini. Desa ini hanya terpisah jarak beberapa kilometer dari Kota Manado, tempat di mana aku menetap. Tidak begitu jauh, namun tidak juga begitu dekat. Ah, aku bingung. Namun bukan di situ titik permasalahannya.

           Desa itu dinamai 'Desa Totolan'. Secara acak, aku bersama keenam orang teman-temanku ditugaskan untuk melakukan Praktek Kerja Lapangan di Desa Totolan. Jujur saja, ini kali pertama aku mendengar nama Desa itu. Maka keadaan Desa itu pun hanya menjadi bayangan gelap di dalam kepalaku.

           Namun sekarang, sungguh banyak yang aku kagumi dari Desa ini. Jalanan sepanjang 1,5 kilometer yang menyuguhkan pemandangan indah tanpa tara, rembulan dan bintang-bintang yang terlihat sangaaaaaat jelas, air panas yang mengepulkan asapnya tanpa henti, sawah yang membentang sejauh mata memandang, masyarakat yang begitu ramah dan bersahabat, serta tak lupa pemuda dan pemudi desa yang yang sangat welcome dengan kedatangan kami. Semua hal itu sangat membekas di kedalaman hatiku. Terlukis indah dengan tinta warna-warni yang memberi warna senada di dalam hari-hariku selama berada di sini. Aku sangat bersyukur pernah mengenal Desa ini dengan segala yang ada di dalamnya. Aku sangat bersyukur karena telah dikesankan oleh semua keajaiban alam yang ada di sini. Mereka telah menambah daftar kekagumanku terhadap sesuatu. Desa ini benar-benar telah merasuk ke dalam tubuhku dalam hitungan hari. Itu mengapa, Totolan is special.

Good bye and see you when I see you... :')


Desa Totolan, Kakas Barat, Minahasa, Sulawesi Utara




Rabu, 09 April 2014

If I can choose what talent that I want to be in myself

I love to be a drawer. Don't know why.
But Allah doesn't put that talent on me.
It's so sad, but I believe in 'why' Allah doesn't put it on me, even though I don't know what it is.

Because of that, I love to see people who can draw, and people who can paint around me.
I think that they're lucky to have it, which I'm not.

I love to see every line on the stretch book. I love to see them so much. Because I can't.

Who can draw and even paint, are sooooo lucky for me.
That's a beautiful talent in the universe.

Who can do that, are so sexy.

--------------------------------------------------------------------

Jari-jari yang penuh dengan tinta, jari-jari yang sangat kukagumi.
Bagaimana bisa jari-jari itu dengan santainya, dengan mudahnya, tanpa beban, menari-nari di atas hamparan kertas putih bersih sampai muncullah sesuatu di sana.

Aku benar-benar mengaguminya...
Bagaimana bisa mereka melakukannya, sedangkan aku tidak.
Dan bagaimana bisa aku mengagumi sesuatu yang jauh dari yang bisa kuraih.

Aku bahkan mengagumi setiap orang yang bisa melakukannya.
They are special...

:)

Selasa, 08 April 2014

Pedang dan Bunga

Pedang akan lebih mudah diingat dari pada bunga.
Pedang yang menggoreskan luka, akan meninggalkan bekasnya di sana.
Sedangkan bunga, adalah hal yang mampu melukis senyum di bibir, yang juga tak akan menghapus bekasnya.

Melupakan tajamnya pedang, selalu lebih sulit daripada melupakan indahnya sekuntum bunga.

Bekas dari ketajaman sang belati mampu menggugurkan bunga-bunga yang bermekaran.
Mengiris-iris sang indah, menjadi tumpukan sampah tak berarti.
Ia akan terus berkobar di dalam hati hingga pada saatnya, sang pemilik hati berkenalan dengan sesuatu yang disebut 'ikhlas'.

Ikhlas yang akan membantu memekarkan kembali tumpukan sampah tak berarti tadi.

Namun, sang ikhlas tak semudah itu untuk dapat ditemui.
Usaha saja tidak cukup hanya untuk bertemu dengan sang ikhlas.
Ia begitu jauh...
Jauh sekali dari hati yang masih penuh dengan amarah.
Amarah yang berhasil dipicu oleh goresan sang pedang.
Luka yang menancap dalam batin, akan lebih sulit disembuhkan daripada luka yang kasat mata.
Tergantung seberapa besar batin yang terluka itu ingin bertemu dengan sang ikhlas.

Angkatlah seikat bunga-bunga indah, kemudian letakan tepat di depan dada.
Cobalah mengingat betapa banyak kebahagiaan yang berhasil diukir oleh sang bunga, sampai, bahkan setelah goresan itu terbentuk.
Dan ingatlah betapa berartinya manusia-manusia yang telah memberikan bunga-bunga itu.

Karena pada akhirnya, tetap saja, air mampu memadamkan api.

Kamis, 27 Maret 2014

Siang, malam, dan tidur

Bagaimana jika tiga kata kita urai menjadi sebuah cerita?

           Siang yang cerah. Mentari berada tepat di puncak cakrawala. Tak henti-hentinya ia mendebar-debarkan jantung ini. Tak henti-hentinya ia membuat lengan ini terus mengusap keringat di dahi.

            Aku teringat akan sebuah janji. Janji yang terucap dalam diam. Ponselku berdering sesaat sebelum aku menaiki angkutan kota dengan warna biru yang menjadi trademark-nya. Saat itu, seseorang meminta persetujuanku untuk menemaninya melakukan satu hal. Satu hal yang jarang kulakukan sejak satu kata 'putus' tiga tahun yang lalu berhasil keluar dari mulutku dengan murkanya. Sejak saat itu, aku menutup diri untuk hal semacam itu. Sampai orang yang berbicara di ujung telefon tadi berhasil mencairkan hati ini.

            Malam tiba. Sesuai waktu yang telah dijanjikan, kami bertemu di tempat yang telah dijanjikan pula. Vintage style membalut hangat tubuhku malam ini. Kemeja biru tua bermotif bunga-bunga jadul yang kupadupadankan dengan rok hampir selutut berwarna senada, serta wedge setinggi 7cm. Aku memoles tipis wajahku dengan bedak dan sedikit lipstic berwarna nude di bibir, warna senada dengan wedge yang aku kenakan.

            Saat langkah ini berakhir, aku mendapatinya sedang berdiri sembari tersenyum padaku. Aku membalasnya dengan senyuman tipis, lalu kami memasuki ruangan berukuran besar dengan banyak orang di dalamnya yang dihipnotis masal oleh sebuah layar berukuran sangat besar. Layar raksasa itu sedang memutar film bertema dokumenter yang juga berhasil menghipnotis kami berdua.

            Malam telah larut. Ia mengantarku sampai di depan pintu rumah yang tertutup rapat. Setelah mengucap salam, Ia pun segera berlalu.

            Setelah semua yang hal yang terjadi hari ini, rutinitas yang kulakukan di kampusku, hal yang secara spontan terjadi dan mendapatkan persetujuanku, aku berakhir di sini. Di sudut ruangan berukuran 5x8 meter yang telah saling mengenal denganku sejak 21 tahun yang lalu, saat aku dibawa pulang dari sebuah rumah sakit bersalin. Sebuah ruangan yang telah mengalami perubahan sangat signifikan dari very first look-nya.

            Aku membaringkan tubuhku di atas kasur yang paling nyaman yang pernah ada, kemudian terlelap dalam angan.

Sabtu, 15 Maret 2014

A Love Language

           Menghambat aktivitas, membuat waktu bergerak lambat, membuatku merasakan malas sepanjang hari, suara yang mengganggu telinga, percikan yang tak ramah, membuat hari begitu kelabu, awan gelap, langit bergemuruh, dan masih banyak lagi.

           Begitulah aku sangat tidak menyukai suatu hal yang disebut hujan. Bahkan, bisa dibilang aku sangat membencinya. Aku benar-benar merasa tidak nyaman kala hujan mengguyur deras, atau pun hanya gerimis. Aku bahkan pernah merasa muak, kesal, dan marah di kala hujan datang. Alasannya adalah satu atau beberapa hal yang tertulis di atas.

           Bahkan, di kota yang kukagumi ini pun, aku masih harus merasakan yang namanya hujan. Rasanya, sudah cukup waktu yang kulewati untuk beristirahat seharian ini. Dan sekarang, aku ingin sekali pergi untuk melihat-lihat kota ini. Menyapa setiap sudut kota ini. Memberikan senyuman ramah, khas Negara kelahiranku.

           Waktu yang ku punya pun hanyalah sebentar. Tujuh hari. Lalu kenapa hujan harus mengacaukannya juga? Susah payah aku menabung dan mendapatkan izin kedua orang tuaku sehingga sekarang aku bisa berada di sini. Tapi, aku malah tidak bisa ke mana-mana seharian ini.

           Aku Syelia Myranka. Aku sedang berada di sebuah Negara, di bagian barat daya Eropa. Bersama dengan Portugal, Negara kerajaan ini terletak di semenanjung Iberia. Lansekap Negara ini didominasi oleh dataran tinggi dan pegunungan, seperti Pirenia dan Sierra Nevada. Dari tempat-tempat tersebut, mengalirlah berbagai sungai.

           Aku ada di sini karena sebuah mimpi. Sebuah mimpi yang selama ini mengganggu pikiranku; Ingin melihat secara langsung sebuah club sepak bola kebanggaanku bertanding.

           Aku memang adalah seorang perempuan yang sedang beranjak dewasa. Yang walaupun aku sangat berpenampilan feminine, aku juga sangat tertarik dengan olahraga sepak bola. Bukan untuk memainkannya, melainkan untuk menjadikannya sebuah tontonan yang sangat menarik. Tidak sekali pun aku melewatkan penampilan di lapangan hijau club kebanggaanku itu lewat layar kaca televisi.

          Club itu memang adalah sebuah club sepak bola yang berasal dari salah satu kota di Negara ini. Maka aku harus datang kemari jika ingin menyaksikan kelihaian mereka menggiring bola secara langsung. Jika harus menunggu mereka untuk mengadakan tour ke Negara kelahiranku, aku rasa hanya membuang-buang waktu saja. Maka semenjak aku duduk di bangku kelas 3 SMP, semenjak aku mulai mengagumi mereka, club itu, aku memulai menabung. Mulai menyisihkan sedikit demi sedikit uang jajanku. Aku melakukannya benar-benar dengan sunguh-sungguh. Ini adalah salah satu keinginan terbesarku dalam hidup ini.

          Hingga akhirnya, hari ini pun tiba. Hari yang aku rasa sangat tepat untuk melakukan perjalanan ini setelah berhasil mendapat izin dari kedua orang tuaku dengan susah payah, juga tambahan uang dari mereka.

          Sangat susah payah aku mendapatkan izin mereka. Bahkan aku harus selalu mengingatkannya pada kedua orang tuaku setiap saat. Aku berusaha menjadi seorang anak yang paling baik yang pernah mereka miliki, mendengarkan apa kata mereka tanpa sedikit pun bantahan keluar dari mulutku, aku benar-benar berusaha keras untuk mendapatkan satu kata ‘ya’ keluar dari mulut mereka. Maksudku, 2 kata ‘ya’ masing-masing dari mulut mama dan papa.

          Negara kelahiranku sendiri terletak di bagian tenggara Asia. Jadi, perjalanan yang berhasil kutempuh tadi pagi, waktu Eropa, adalah sebuah perjalanan yang cukup panjang. Untung saja aku tak sedikit pun merasakan jetlag. Jadi, sekarang, sore ini, aku benar-benar mau berjalan-jalan menikmati sebuah kota yang masih terasa asing di benakku ini.

*

          Aku berjalan gontai menuju lobby Motel. Aku sengaja memilih Motel, yang adalah sebuah penginapan menyerupai Hotel tetapi lebih kecil dan tidak memiliki fasilitas semewah Hotel. Maka harganya pun lebih murah untuk bisa menghemat di negeri orang ini. Motel biasa dijumpai di luar kota atau pinggiran kota. Tapi entah mengapa, Motel yang kutempati ini berdiri kokoh di tengah kota yang cukup besar ini. Dan hal ini sangat memudahkan para bagpacker atau orang yang ingin berhemat seperti aku, untuk bisa menikmati kota dengan biaya terbatas.

          Aku berniat untuk meminjam telepon dan mengabari keluargaku.

           “Permisi,” kataku dengan menggunakan bahasa setempat. Aku sendiri tidak terlalu mengerti bahasa setempat. Hanya saja aku sempat mempelajarinya, setidaknya kata-kata untuk memberi salam dan kata-kata dasar lainnya.

           “Selamat malam. Ada yang bisa saya bantu?” Seorang resepsionis itu berkata dengan ramahnya sambil menyunggingkan senyum lebar. Ia sengaja menggunakan sebuah bahasa Internasional karena ia tahu betul kalau aku adalah seorang turis. Bahasa tersebut adalah satu-satunya bahasa di dunia yang disahkan sebagai bahasa Internasional. Bahasa yang harus dipelajari dan dimengerti semua orang di muka bumi ini. Sebuah bahasa yang sudah mulai dikenalkan pada kita semenjak kita duduk di bangku Sekolah Dasar. Setidaknya, begitu yang kuketahui yang terjadi di Negaraku. Itu semua agar dapat memudahkan komunikasi antar negara.

           “Aku boleh pinjam telepon?” Aku pun membalasnya dengan menggunakan bahasa Internasional. Untung nilai-nilaiku dalam mata pelajaran tersebut cukup baik.

           “Silahkan.” Ia tersenyum lagi sembari memberiku gagang telepon yang tidak berkabel.

           Aku meraihnya. Lalu langsung saja aku menekan beberapa tombol yang begitu akrab bagiku. Setelah pembicaraan yang cukup panjang, aku mengembalikan gagang telepon tersebut pada resepsionis yang ramah sekali itu.

           “Maaf, Anda tidak mau kemana-mana malam ini? Sepertinya hujan sudah redah. Mungkin Anda ingin mencari udara segar?” kata resepsionis tadi kemudian.

           “Tapi ini sudah malam. Aku pun tidak tahu harus kemana,” jawabku.

           “Karena ini akhir pekan, di perempatan jalan sana ada sebuah kafe yang akan menghadirkan band pada akhir pekan seperti ini. Kafe itu cukup ramai dan menyenangkan. Mungkin akan bisa menghibur Anda.” Resepsionis itu memberi usul.

           “Boleh lah. Kafe apa, ya? Di mana?” Aku mulai tertarik.

           “Di perempatan jalan sana. Tepat dua belokan dari Motel ini. Band di kota kami bagus-bagus. Anda pasti akan terhibur,” kata resepsionis yang tak bosan-bosannya tersenyum.

           “Baiklah, terima kasih.”

           Aku bergegas ke kamarku, berganti pakaian dengan pakaian yang cukup hangat karena di kota ini sekarang sedang musim gugur. Udaranya cukup dingin, apalagi sekarang sudah malam.

           Setelah semuanya siap, aku segera bergegas ke kafe yang diusulkan si resepsionis ramah plus murah senyum milik Motel ini. Tak lupa aku melambaikan tangan saat melewati meja resepsionis. Resepsionis tadi pun tersenyum lagi padaku.

*

           “Bebe?” tanya seseorang dengan bahasa yang tidak kumengerti. Tapi ia menyodorkan segelas minuman ke arahku. Jadi mungkin maksudnya untuk menawariku minum.

           “No, thanks,” balasku.

           Aku berjalan agak menjauh dari laki-laki dengan perawakan agak menakutkan menurutku tadi. Rambut kecoklatannya yang gondrong terurai bebas, serta jenggot dan kumis yang cukup menutupi wajahnya. Ia mengenakan celana jeans dengan kaos V neck berwarna putih dan sebuah jacket dari bahan jeans membalut hangat kaos V neck-nya. Dengan sepatu boots yang menutupi separuh kakiknya beserta dengan celana jeans yang Ia kenakan. Celana jeans-nya agak sobek-sobek. Mungkin model yang sedang bagus-bagusnya di sini atau entah apa.

           Sesaat kemudian, bnad yang akan menghibur malam itu telah naik ke atas panggung kecil yang disediakan di ujung kafe. Semua orang berjalan mendekati panggung lalu berdiri tepat di depan panggung. Aku mengikutinya.

           Band tersebut hanya terdiri dari 2 orang. Seorang perempuan yang memegang mic dan seorang laki-laki dengan gitar akustiknya. Mereka adalah sebuah band akustik. Band yang cukup baik menurutku setelah mereka sudah menyelesaikan lagu pertama mereka. Banyak orang yang memberi tepukan tangan termasuk aku. Menurutku, bagus sekali.

           Tapi, jika lebih diperhatikan lagi, lelaki yang sedang memegang gitar itu… iya! Dia lelaki yang menawariku minum tadi. Tapi apakah memang dia? Jadi seorang artis pun di sini bisa berkeliaran bebas sampai-sampai mau menawari penonton yang mungkin adalah fans-nya minum? Ah, aku tidak mengerti. Terserah saja. Yang penting aku cukup menikmati semuanya. Dan dia, laki-laki tadi, mempunyai kemampuan yang hebat dalam memainkan gitarnya. Juga dalam bidang menyanyi. Karena aku sempat mendengarnya melakukan backing vocal tadi.

           Setelah band akustik itu mengakhiri lagu terakhirnya, mereka turun dari panggung dan berlalu entah kemana. Aku pun merasa kalau semuanya sudah selesai. Maka aku langsung beranjak dari tempat dudukku dan berjalan keluar.

           Saat aku tengah berdiri di depan pintu kafe, aku melihat mereka lagi, pemain band akustik tadi. Tapi sekarang, mereka sedang bertiga dengan seorang lelaki berbadan semampai. Sekilas kulihat laki-laki pemain gitar akustik tadi berbicara dengan lelaki bertubuh semampai. Mereka terlihat sedang melakukan sebuah pembicaraan serius. Lalu si gadis pergi dengan laki-laki bertubuh semampai, meninggalkan lelaki pemain gitar akustik.

           Aku tidak mau ambil pusing. Maka aku berjalan ke sebelah kiri menuju ke perempatan jalan yang terletak beberapa meter di samping kiriku.

           Aku begitu kedinginan. Gigi-gigiku tak henti-hentinya mengeluarkan bunyi gemelatuk. Kedua tanganku, aku letakkan bersilang di depan dada. Setelah sudah berada tepat di perempatan jalan, aku berniat untuk menyeberang kesebelah kanan menuju ke Motel. Tanpa sadar, aku berjalan sambil menunduk ke bawah.

            “Hei! Mau mati?!” teriak seseorang yang ternyata hampir saja menabrakku. Orang itu mengeluarkan separuh badannya dari truck warna merahnya dan memarahiku. Aku benar-benar kaget. Aku tidak berpikir kalau di jalanan sepi itu akan ada sebuah mobil lewat dan bahkan hampir menabrakku.

             “Maaf… maaf,” kataku dengan suara sedikit bergetar. Aku menyesalinya sambil terus berjalan keseberang jalan.

             “Kamu yang tadi , kan?” kata suara tadi. Sekarang ia telah menepikan mobilnya tepat di samping aku berdiri.

             “Oh, kamu pemain gitar itu, ya? Maafkan saya.” Kami sama-sama menggunakan bahasa Internasional sehingga bisa saling mengerti satu sama lain.

             “Masuk!” kata suara seraknya.

             Aku hanya menatapnya heran.

             “Ayo masuk! Aku akan antarkan kamu pulang. Tidak usah takut. Aku benar-benar orang baik,” katanya lagi, meyakinkanku.

             Aku masih agak ragu. Aku takut jika nanti orang dihadapanku ini membawaku pergi entah kemana.

             “Cepatlah! Ini sudah malam!” teriaknya lagi.

Perlahan, akupun menaiki truck-nya dan Ia benar-benar mengantarku ke Motel.

             “Aku Wayne Alvaro,” katanya setengah berteriak saat aku sudah mulai melangkah memasuki motel.

             Langkahku terhenti. “Syelia Myranka.” Aku berbalik menatapnya lalu menyebutkan namaku.

             “Syelia…” Ia menyebutkan lagi namaku yang cukup terdengar geli di telingaku.

*

            Sisa-sisa air hujan masih mengalir di permukaan truck merah milik Wayne. Hujan yang berhasil mengguyur pelan tadi, membuat mood-ku sedikit memburuk. Masih saja hal semacam itu mengganggu perjalananku. Mengganggu kesenanganku. Untungnya, bukan hujan deras, melainkan hanya titik demi titik rintikan air hujan.

             “Jadi, kamu ke sini untuk menonton pertandingan sepakbola? It was surprised, man!”
             “Iya. Kamu kaget orang macam aku suka menonton sepak bola, kan? Tapi aku benar-benar suka. Kalau kamu nggak mau menemaniku, ya sudah. Nggak usah tertawa.”

            Kami sedang berada di atas truck merah milik Wayne. Setelah malam itu, Wayne-lah yang menjadi temanku di sini. Semakin hari, aku semakin yakin kalau Wayne adalah orang yang baik. Ia bahkan menghormatiku sebagai perempuan. Aku cukup senang mendapatkan seorang teman seperti itu di kota yang asing ini.

             “No… Sebenarnya, itu club bola favorit aku juga. Aku mau, kok, nonton sama kamu,”

             “Gitu, dong!”

             “Untung ada sebuah bahasa Internasional, ya. Kalau nggak ada, entah bagimana kita dapat berkomunikasi,” kata Wayne.

             “Iya. Aku sangat senang mendapatkan teman seperti kamu.” Aku tersenyum.

             Aku bersandar di jok trucj milik Wayne sembari menarik nafas perlahan.

              “Wayne, aku boleh bertanya?” tanyaku ragu.

              “Silahkan saja,” jawabnya tanpa memalingkan tatapan ke arahku. Ia hanya memperhatikan jalanan berbatu di depan. Ia sedang menyetir trucj-nya.

              “Aku sempat melihat kamu bersama gadis… maksudku teman se-band-mu dan seorang laki-laki malam itu di samping kafe. Sepertinya kamu memarahi laki-laki itu sebelum membiarkan mereka pergi. Mereka siapa?” Sesungguhnya aku merasa tidak enak jika harus menanyakan hal ini. Aku seperti orang yang ikut campur dengan urusan orang lain saja. “Tapi, Wayne, sesungguhnya kamu nggak perlu menjawabnya!” Aku benar-benar tidak memerlukan jawaban itu.

              “Sebuah pertanyaan, bukannya diutarakan untuk sebuah jawaban?” kata Wayne santai.

              Aku hanya bisa tersenyum.

              “Okay, gadis itu adalah adikku, Carly. Aku nggak suka melihatnya berhubungan dengan Sergio, lelaki itu. Menurutku, Sergio bukanlah orang yang baik. Dia selalu memulangkan adikku larut malam. Aku benar-benar nggak bisa tidur kalau Carly belum pulang.” Wayne terhenti sejenak. Lalu melanjutkannya, “Setelah kepergian ayahku setahun yang lalu, aku merasa, melindungi mama dan adik perempuanku itu sudah menjadi tugasku. Jadi, aku mau laki-laki yang mendampingi adikku adalah seorang laki-laki yang baik,” jelas Wayne.

              “Oh, begitu. Terima kasih, Wayne.” Entah mengapa, kata 'terima' dan 'kasih'-lah yang keluar dari mulutku. Mungkin karena orang asing sepertiku tidak pantas untuk menanyakan hal sepribadi itu.

             Wayne tidak berkata apa-apa lagi. Rasa lelah terpancar dari raut wajahnya. Raut wajah yang menurutku mustahil memperlihatkan hal semacam itu. Tapi aku mengerti. Aku mengajaknya berjalan-jalan mengelilingi kota seharian penuh. Berlarian kesana-kemari. Tentu hal itu sangat melelahkan.

               “Aku capek banget, nih, seharian jalan. Aku nginap aja, ya.”

               “Terserah kamu. Tapi nggak tahu, deh, kalau masih ada kamar kosong. Ini Motel kecil, Wayne.”

               “Kan ada kamar kamu,” katanya santai.

               “Itu nggak boleh. Di Negaraku, hal semacam itu nggak diperbolehkan. Kecuali kita sudah menikah.”

               “Tapi semuanya biasa saja di sini. Lagipula, kita hanya tidur. Aku bisa tidur di sofa.”

               “Tetap nggak boleh, Wayne. Kamu ngerti, ya. Sekarang belum terlalu malam untuk kamu pulang. Jadi, sebaiknya kamu pulang saja.”

               “Okay…” Wayne berjalan dengan malasnya menuju ke truck yang Ia parkir tepat di depan Motel. Aku tersenyum dan sangat senang dengan semua rasa pengertian yang ditunjukkan Wayne.

*

               “Akhirnya, Wayne! Akhirnya! Akhirnya aku bisa nonton mereka langsung! Yang tadi itu keren banget, Wayne. Keren!!” Aku setengah berteriak sembari mengguncang-guncangkan tubuh Wayne yang sedang berjalan di sampingku.

               “Iya, apalagi tendangan bebas yang akhirnya jadi goal tadi, kan?!” Wayne tidak kalah heboh.

               “Iya! Ya ampuuun, ganteng-ganteng banget, ya, mereka kalau dilihat langsung. Makasih banget udah nyariin tempat paling depan.” Aku menatap Wayne lekat dengan senyuman lebar.

               “Iya. Aku punya temen, kok, yang jaga loket penjualan tiket. Jadi, kemarin aku telepon dia dulu buat booking tempat.”

               “Pokoknya makasih banget, deh! Aku nggak rugi jadinya dengan semua pengorbanan aku buat nonton mereka langsung.”

               “Sekarang mau kemana? Makan aja, yuk!” tanya Wayne.

               "Okay! Makanan asli sini, yaaa.”

              Truck Wayne pun melaju kencang. Bola-bolanya yang lumayan besar membelah jalanan beraspal di Ibukota yang cukup besar ini. Angin musim gugur terasa menusuk-nusuk ke dalam tubuh. Tapi cukup menyenangkan berada di truck ini.

              Aku sedang duduk sendirian di sebuah kafe yang menjual makanan-makanan khas di Negara ini. Iya, aku sedang duduk sendirian. Tadi Wayne bilang, dia ada urusan sebentar dan akan kembali secepatnya. Aku sendiri dimintanya untuk menunggu di sini sampai Ia kembali. Aku sangat merasa tidak nyaman berada di sini sendirian seperti ini. Seperti orang asing. Walaupun kenyataannya memang begitu. Tapi kemana Wayne? Kenapa dia lama sekali?

              Detik berganti menit. Menit berganti jam. Tapi Wayne tak kunjung datang. Kemana dia? Apakah dia sedang mempermainkanku setelah rasa nyaman dan aman yang Ia berikan kepadaku? Aku benar-benar merasa dilindungi saat sedang bersama Wayne. Aku pun merasa sangat nyaman berada di sisinya. Hatinya, ternyata tidak se-sangar tubuhnya yang bertato itu. Tapi sekarang, Ia menimbulkan rasa kecewa di kedalaman hatiku. Sebenarnya kemana dia? Mempermainkanku?

               “Syelia…” Nafas Wayne tidak beraturan. Sepertinya dia berlari dari luar kafe. Aku cukup khawatir melihatnya.

               “Wayne! Dari mana saja kamu?!”

               Wayne berlutut di samping meja dan mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya. Beberapa tangkai bunga yang benar-benar cantik. Dengan tergesah-gesah, Wayne mengutarakan semuanya. Mengutarakan perasaannya padaku. Aku hanya bisa melihat dan mendengarkannya dalam diam. Aku hanya memperhatikan setiap kata yang keluar dari mulutnya. Merekamnya dengan rapi di dalam kepalaku. Ia terlihat sedang bersungguh-sungguh.

               Akupun menerimanya. Aku menerima Wayne, seorang asing yang aku temui hanya beberapa hari yang lalu di sebuah Negara yang asing ini, yang telah memberikanku kenyamanan dan perlindungan yang kunikmati bagai candu. Aku diluluhkan oleh semua perlakuannya. Oleh semua tingkah laku menyenangkan yang Ia miliki. Juga oleh semua pengertian yang Ia tunjukkan padaku. Aku menerimanya menjadi seorang teman yang lebih khusus lagi.

*
                “Aku nggak bisa menunda keberangkatan, Wayne. Aku sudah membeli tiket pulang-pergi. Dan hari ini, aku harus kembali. Seminggu sudah berlalu. Terima kasih untuk semuanya. Karena kamu, aku rasanya nyaman berada di sini. Terima kasih, untuk kota yang indah ini. Terima kasih untuk tujuh hari yang sangat menyenangkan, Wayne.” Aku tidak melepas jemari Wayne sedikit pun sejak tadi. Aku belum sanggup untuk melakukannya. Wayne pun begitu. Seakan jari-jemari kami sudah menempel dan tidak mau dipisahkan lagi. Kami saling bergenggaman erat. Erat sekali. Aku benar-benar belum mau berpisah dengan Wayne. Terlalu sedikit waktu yang kami punya untuk saling mengenal satu sama lain. Aku butuh waktu lebih untuk terus bersama-sama Wayne.

                Akhirnya tiba waktunya. 10 menit lagi, pesawat yang akan membawaku kembali ke kampung halamanku akan lepas landas. 10 menit lagi, aku dan Wayne akan berpisah.

                Wayne merangkul tubuhku erat. Erat sekali. Nafasku tercekat, tapi tetap menikmatinya. Dekapan hangat Wayne, aroma tubuhnya, aku sudah mulai terbiasa dengan semua itu. Akupun tak kalah erat merangkulnya. Lalu Wayne mengecup keningku. Wayne benar-benar sudah mengerti batasan-batasan yang harus Ia patuhi jika berhubungan dengan orang Asia sepertiku. Ia mematuhinya dengan baik. Ia begitu menghormati dan memperlakukanku sebaik-baiknya seorang perempuan.

                 Akhirnya, jari-jemari kami mulai terlepas. Aku mulai berjalan memasuki ruang tunggu bandara. Wayne tidak boleh masuk lebih dalam lagi. Maka aku dan Wayne benar-benar harus berpisah sekarang. Aku mentapnya, Ia menatapku. Mata kami sedang berperang dalam ketidakberdayaan.

                  “I'm gonna miss you so,” kata Wayne dengan suara bergetar menahan tangis.

                  “Aku juga, Wayne.” Berbeda denganku yang sudah menangis terseduh-seduh sejak tadi.

                  “Terus kirimi aku e-mail

                  “Pasti! Kamu juga.”

*

                 Sudah lebih dari sebulan aku di sini, di tanah kelahiranku. Aku dan Wayne pun tak henti-hentinya saling berkirim e-mail. Kami juga sering berbincang melalui sebuah jejaring sosial. Hubungan kami benar-benar masih sangat baik. Aku pikir, setelah kita tidak bertemu lagi, Wayne akan segera melupakanku. Tapi ternyata tidak. Ia mengirimiku e-mail setiap hari tanpa absent. Aku pun sangat senang. Rasa di dada ini masih terus membuncah saat mengingat Wayne. Mengingat semua yang telah kita lalui dalam tawa. Aku benar-benar telah luluh dalam pelukannya.

                 “Syel, sampai kapan lagi kamu mau membiarkan aku menunggu? Laki-laki itu. Wayne. Dia tidak mungkin seserius itu padamu,” kata Raga.

                 Raga adalah satu-satunya orang yang tanpa henti mengemis cintaku. Ia adalah teman sekelasku di kampus. Sejak awal kita bertemu, dia sudah sering menunjukkan perasaannya terhadapku. Tapi aku benar-benar tidak menyukainya. Aku harus bagaimana? Aku juga tidak mau membuatnya terus tersakiti. Tapi dia pun tidak pernah mau untuk menyerah.

                  “Tolong mengerti, Ga. Aku nggak mungkin menjalin hubungan sama kamu. Tolong jangan buat aku merasa sulit.”

                  "Tapi kenapa, Syel? Karena laki-laki itu? Kalian hanya saling mengenal nggak lebih dari seminggu!”

                  "Tapi aku benar-benar mencintainya. Aku pun nggak tahu kenapa. Aku hanya… menyayanginya begitu saja.”

                  "Omong kosong, Syelia!”

*

                 Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Aku masih saling berkirim e-mail dengan Wayne. Tapi, lama kelamaan, hubungan kami tidak sebaik dulu. Sangat lama waktu yang berlalu saat aku menunggu e-mail balasan dari Wayne. Kata-katanya pun tidak sebanyak dahulu.

                 Bulan akhirnya berganti tahun. Hari ini tepat dua tahun setelah pertemuanku dengan Wayne yang hanya berlangsung selama seminggu. Sekarang, Wayne benar-benar sudah tidak mengirimiku e-mail. Sudah dua bulan ini Wayne tidak mengirimiku e-mail sama sekali. Bahkan Wayne juga tidak membalas e-mail-ku. Kemana Wayne?

                 Seiring berjalannya waktu juga, Raga masih belum menyerah. Ia masih terus mendekatiku. Apa sudah saatnya sekarang aku melupakan Wayne? Dan mencoba mencintai laki-laki lain? Raga?

                 Seharian ini hanya aku habiskan sambil mempelototi layar komputer di kamarku. Aku hanya sibuk menunggu e-mail yang tak kunjung datang dari Wayne. Apa Wayne sudah mendapatkan penggantiku? Apa Wayne sudah benar-benar melupakanku? Atau bahkan, tak pernah menganggap serius hubungan ini?

                 Berbulan-bulan aku meyakinkan orang tuaku mengenai Wayne. Aku bilang Wayne baik. Wayne berbeda. Wayne tidak mungkin melupakan janjinya untuk datang kemari mengunjungiku suatu saat. Orang tuaku, sebelum mereka mulai lelah menasehatiku, berpikiran sama persis dengan Raga. Mereka bilang aku hanya menjadi kesenangannya semata. Kesenangnya untuk sementara waktu. Tak kusangka akan ada saatnya, hari ini, aku berpikiran sama dengan Raga dan kedua orang tuaku.

                 Sekarang aku benar-benar marah. Marah pada keadaan yang mempermainkanku. Marah pada Wayne. Mungkin sekarang aku sedang diselimuti perasaan marah. Tapi, aku akan pergi menemui Raga, dan menerima cintanya. Aku tidak peduli apa namanya tindakan yang aku ambil sekarang. Mempermainkan orang lain? Entahlah. Aku tidak peduli.

                 Aku tidak mau berlarut-larut dalam kekalutanku. Aku tidak mau terus terpikirkan Wayne. Aku mau pergi dari bayang-bayang Wayne. Aku mau mengganti semuanya dengan bayang-bayang orang lain. Raga mungkin.

                 Dengan emosi yang menyelimutiku, aku membuka pintu rumah sehingga sedikit mengeluarkan bunyi dan…

                 Aku terpanah. Aku melemah. Aku terharu. Aku bahagia. Apa yang ada di depan mataku sekarang. Wayne? Wayneku-kah?

                 Dia berdiri tepat di hadapankuku dengan lengan kirinya yang menggantung. Mungkin ingin mengetuk pintu tadi. Penampilannya sedikit berubah. Rambut gondrongnya telah dipangkas. Hanya menyisahkan jenggot dan kumis tipis di sekitar bibirnya. Ia mengenakan celana jeans seperti biasa, tetapi tidak dengan sobekan-sobekan itu. Ia mengenakan kaos dan jaket jeans. Sekilas, penampilannya seperti saat pertama kali kita bertemu. Tetapi, lebih baik.

                  "Benarkah kamu Wayne?” tanyaku dengan suara yang melemah.

                  Ia hanya tersenyum. Senyuman yang benar-benar akrab di benakku. Senyuman yang tak sedikit pun hilang termakan waktu. Senyuman yang begitu saja telah menjadi sahabat karibku.

                   “Maafkan aku untuk tidak mengirimimu e-mail lagi. Aku sibuk tour ke kafe-kafe untuk mengumpulkan uang. Untuk bisa berada di sini sekarang.”

                   "Wayne…”

                   "Di hari perpisahan kita, aku bertekad untuk menabung semua hasil kerjaku agar aku bisa ke sini. Aku pun menyimpan dengan baik alamat lengkap yang sempat kamu berikan waktu itu.”

                   “Aku pikir, kamu sudah melupakanku, Wayne.”

                   “Aku benar-benar serius denganmu. Aku juga nggak tahu kenapa aku sangat menyayangimu. Aku menyayangimu begitu saja…”

                  Tanpa berkata-kata lagi, aku merangkul tubuh besar Wayne. Aku merangkulnya sekuat tenagaku. Ia pun melakukan hal yang sama. Aku benar-benar sangat merindukannya.

                    “Bagaimana penampilan baruku? Semoga orang tuamu menyukainya, ya.”

                    "Semua ini kamu lakukan untuk hari ini, Wayne? Aku benar-benar mencintaimu.”

                   Kami saling merangkul lagi. Entah rangkulan seperti apa yang akan meredahkan kerinduan yang mendalam di dalam hatiku dan hatinya. Aku bersyukur ada sebuah bahasa yang bisa kami sama-sama mengerti. Aku bersyukur karena ada sebuah bahasa yang menyatukan kami. Wayne-ku telah datang.

                     "Aku mengagumi setiap hal yang kamu lakukan. Mengaguminya bagai candu. Sulit sekali hari-hari yang kulewati setelah perpisahan kita. Hal yang mustahil, mengingat perkenalan yang sesingkat itu. Tapi hal itu benar-benar terjadi.” Wayne berkata dalam pelukku.

                     "Percaya atau tidak, aku pun merasakan hal yang sama,” balasku.

                     “Semua yang ada padamu begitu luar biasa bagiku. Hanya satu hal yang cukup mengangguku.” Wayne tertawa kecil.

                     “Apa?!” tanyaku kaget. Secara refleks , aku melepas pelukan Wayne.

                     “Semua barang milikmu yang bertuliskan “SyMy”. Hal bodoh macam apa itu, Syel?...”
                     Wayne tertawa lepas. Aku pun tersipu malu dengan kebiasaan bodohku itu.


(((CERPEN)))

Selasa, 21 Januari 2014

Pertemuan

      “Makasih, ya, kak,” kataku sembari sedikit memasukkan kepala ke jendela mobil dengan kaca yang terbuka lebar.

      “Jangan pulang malem-malem, ya. Kalau mau dijemput, telefon aja,” jawab wanita berparas cantik itu dengan tatapan datar.

      Ia memang memiliki paras yang cantik merona. Namun sejak hari itu, sekitar dua tahun yang lalu, semenjak kejadian itu, ia tak lagi sering memperlihatkan senyuman terindahnya. Wajahnya pun lebih sering terlihat murung. Intonasi suaranya, tidak seceria dahulu. Kejadian itu telah mengubah semuanya. Kejadian itu telah menyembunyikan dirinya yang sebenarnya. Seorang yang periang, pemalu tetapi menggemaskan, selalu tersenyum, dan merupakan salah satu penyemangat hidupku. Semua telah direnggut. Tidak ada lagi seorang yang seperti itu. Semuanya tertutupi oleh trauma kelam di masa lalu.

      “Sip, kak.” Aku tersenyum menatapnya.

      Kini, selalu tersenyum sudah menjadi tugasku. Aku pun harus menjadi seorang yang periang. Semuanya kulakukan, agar kakak bisa melihat seperti apa dirinya dulu. Dirinya yang luar biasa. Tidak seperti sekarang ini. Terlalu banyak diam, suka menghayal, juga tak peka lagi terhadap sekitar. Aku sangat sedih dengan semua itu. Apalagi, dia adalah kakakku satu-satunya. Tak perlu ditanya, aku sangat menyayanginya.

      Setelah mobil kakak berlalu, aku berjalan memasuki sebuah mol terbesar di kota ini, guna untuk bertemu dengan salah seorang temanku.

      Aku berjalan agak cepat sambil sesekali memalingkan wajah ke segala arah. Sehingga aku tertuju pada satu titik yang berjalan dari arah berlawanan. Ia sedang menelepon. Ia juga tidak terlalu mempedulikan sekitarnya. Ia hanya terus berbicara tanpa henti dengan seseorang di ujung telefon yang sedang mendengarkannya. Sampai pada akhirnya ia membelokkan tatapan lurusnya ke arahku. Matanya… begitu indah.

      “Hei, maaf, ya, telat,” kataku setelah sudah menduduki bangku tepat di depan temanku yang juga sedang duduk.

      “Nggak apa-apa kok, Rain. Mau pesen apa?” katanya sembari menyodorkanku sebuah daftar menu.

      “Males, ah. Bentar lagi, deh. Aku selesain makalah kita dulu. Biar tinggal kamu edit nanti,” kataku sembari mengeluarkan sebuah notebook dari dalam tasku.

      “Okay. Udah sampe mana, sih?”

      “Ini tinggal BAB III-nya. Bentar, ya,” kataku sambil dengan seriusnya menekan-nekan keyboard pada notebook dindepanku.

*

      “Nonton sendiri, deh. Si Feisha juga pake ada acara,” kataku menggerutu dalam hati.

      Aku sedang berdiri di dalam sebuah bioskop. Aku ingin sekali menonton sebuah film. Sampai akhirnya aku membuat janji dengan Feisha, temanku. Akan tetapi, saat aku baru saja memasuki gerbang bioskop, Feisha malah meneleponku dan membatalkan semuanya. Sedangkan aku tidak mungkin lagi membatalkannya. Ini salah satu film yang benar-benar kutunggu setahun belakangan.

      Mengajak kakak? Tidak mungkin. Semenjak kejadian itu, kakak tidak suka lagi pergi keluar dan bersenang-senang. Hanya duduk di rumah dan mematuhi semua permintaan mama. Saat kakak mengantarku saja beberapa hari silam, semua kakak lakukan karena permintaan mama.

      Temanku yang lainnya? Aku seharusnya membuat janji lebih awal. Maka kuputuskan untuk menontonnya seorang diri.

      Entah berapa banyak AC yang ada di dalam bioskop ini, membuat tubuhku menggigil kedinginan. Aku memang tidak terbiasa dengan alat pendingin ini. Aku lebih terbiasa dengan sebuah penyejuk alami yang kita sebut ‘angin’. Menurutku itu lebih menyejukkan.

      Aku terus saja mengepal-ngepalkan kedua tanganku hingga menjadi satu. Entah sudah berapa jam aku duduk di sebuah sofa dengan warna gelap tetapi cukup nyaman ini.

      “Mbak, film ini sudah dimulai, ya?” tanya seorang pria pada seorang karyawati. Mereka berdua berdiri tepat di depanku. Maka peristiwa ini kujadikan saja tontonan. Dari pada aku harus duduk diam, dan tanpa berbuat apa-apa. Aku memeperhatikan setiap detail yang mereka percakapkan.

      “Oh, sudah dimulai sekitar setengah jam yang lalu, Mas. Tapi, kalau Mas tetap mau masuk, tidak apa-apa. Silahkan masuk saja,” kata seorang karyawati dengan begitu ramahnya sambil sesekali mengeluarkan senyum tipis tapi manis miliknya.

      Laki-laki itu terlihat agak sedikit kecewa lalu terdiam. Mbak-mbak karyawatipun sudah pergi meniggalkannya sejak tadi. Tapi belum sedikitpun lelaki itu beranjak dari tempat ia berdiri.

      Satu hal yang membuatku terus memperhatikan wajah laki-laki itu. Wajahnya begitu familiar di mataku. Maka terus saja kutatap wajahnya yang tertunduk menghadap lantai.

      Tapi menurutku, Ia sangat mendramatisir keadaan. Baru juga setengah jam berlalu. Segera masuk saja kalalu masih mau menonton dan tidak mau lebih banyak ketinggalan cerita filmnya.

      Perlahan ia mengangkat wajahnya lalu memalingkannya kesamping kiri, tepat dimana aku duduk. Ya Tuhan, mata itu! Itu mata indah yang kulihat kemarin. Entah mengapa, mata sayunya yang mungkin menurut orang lain biasa saja, mampu membuat jantungku berdetak kencang. Sekali lagi, ia menatap mataku. Aku menatap matanya. Kami saling bertatapan.

      Kenapa dalam beberapa hari terakhir ini aku selalu dipertemukan dengannya? Ah, tidak. Pasti tidak ada apa-apa. Ini hanyalah sebuah hal kebetulan. Bukan salahnya juga kan berada di mol waktu itu, dan berada di sini, di bioskop ini sekarang? Ini memang kota besar. Tetapi tidak sebesar Ibukota. Jika sekarang ia berada di sini, pasti memang karena kemauannya. Karena hal itupun yang aku rasakan sekarang. Aku berada disini, karena aku memang ingin datang kemari.

      Lagipula, jika pertemuan-pertemuan itu disengaja oleh Tuhan, kenapa Tuhan tidak membiarkan kami berdua saling menyebutkan nama satu sama lain? Hanya membiarkan semuanya berlalu begitu saja tanpa arti. Tanpa bekas. Bahkan sekarang, setelah saling tatap tadi, dia sudah berlalu dari pandanganku. Semua terjadi begitu saja.

*

      Aku sedang berada di sebuah toko buku. Aku memang sangat suka sekali membaca. Apa saja, aku suka membacanya. Datang ke toko bukupun sudah menjadi sebuah rutinitas bagiku. Aku seperti sudah menjadwalkan harinya. Setiap hari minggu, aku pasti akan berkunjung ke sebuah toko buku. Tujuannya sendiri tentu saja untuk melihat-lihat dan membeli jika ada yang menarik hati.

      Dengan seksama, aku membolik-balik setiap buku yang mencuri perhatianku. Aku membaca sinopsisnya, melihat bagusnya cover, serta gaya penulisannya. Jika menarik bagiku, aku akan langsung membelinya dan terus merasa penasaran, sampai akhirnya aku sudah berada di rumah dan bersiap-siap untuk membacanya. Untuk mengetahui kisah macam apa yang tertulis rapi di dalamnya. Di atas kertas demi kertas yang dicetak dengan tinta begitu rapinya.

      "Brak!!!" Seseorang menabrakku. Sebuah buku yang kupegangpun terjatuh ke lantai.

      “Ini bukumu. Maaf, ya,” katanya sembari memberikan buku yang terjatuh tadi padaku.

      Tanpa berkata apapun, aku mengambil buku itu dari genggamannya. Iya tersenyum tipis padaku. Tapi, mata itu! Mata itu lagi! Bahkan sekarang, dari jarak yang semakin dekat. Aku yakin sekali, dialah pemilik mata itu. Mata yang membuatku jatuh hati.

      Setelah buku itu sudah berada digenggamanku, laki-laki yang menabrakku tadi langsung saja berjalan menjauh dariku. Ia seperti tidak memperdulikan apapun.

      Kita sudah bertemu beberapa kali. Tidakkah kamu mengingatku? Batinku. Aku terus menatapnya yang berjalan gontai ke rak buku sebelah.

      Aku terdiam, dan terus menatapnya tanpa henti. Ini sudah ketiga kalinya. Bahkan kali ini, ia berbicara padaku. Kami telah melakukan sebuah perbincangan singkat tadi. Aku tidak mau terus diam. Mungkin benar kalau Tuhan-lah yang sengaja mempertemukan kami dalam beberapa pertemuan yang hanya melibatkan kedua pasang bola mata kami.

      Aku berjalan mendekatinya. Aku tidak mau membiarkan pertemuan-pertemuan itu hanya berlalu begitu saja. Ini sudah kesekian kalinya. Sekarang aku benar-benar yakin kalau semua ini terjadi berkat campur tangan Tuhan.

      “Hey,” sapaku.

      “Hey,” balas laki-laki itu, bingung.

      “Apa kamu nggak sadar? Ini sudah kesekian kalinya kita bertemu,” jelasku.

      “Benarkah?”

      “Iya. Pertama, di mol saat kamu sedang menelepon. Kedua, di bioskop dua hari yang lalu. Dan hari ini, kita bertemu lagi disini, di toko buku ini.”

      Dia diam. Dia seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. Bola matanya terpendar kemana-mana. Ia benar-benar sedang berusaha keras untuk mengingat. Lama sekali. Lama sekali ia membiarkan aku menunggu. Sampai aku merasa menyerah karena mungkin dia memang tidak mengingatku sama sekali. Mungkin hanya aku saja yang memperhatikannya.

      “Mungkin benar. Muka kamu agak familiar, sih. Iya, mungkin benar.”

      “Aku Raina Shinta. Kamu sendiri?” Aku mengulurkan tangan kananku untuk dijabatnya.

      “Galaxy. Shan Galaxy.” Ia menjabat erat jemariku.

      “Kamu sedirian aja?” tanyaku.

      “Iya. Kamu juga? Suka baca buku, ya? Atau jangan-jangan kamu adalah seorang penulis?” Dia, yang katanya bernama Galaxy itu, menyerangku dengan cukup banyak pertanyaan. Sampai-sampai aku tidak tahu harus mulai menjawabnya dari mana.

      Aku sedikit tersenyum lalu menjawab, “Pertama, iya, aku sendiri kesini. Kedua, aku memang sangat suka sekali membaca buku. Tapi aku bukanlah seorang penulis. Hanya suka membacanya saja.” Akupun mengakhiri kalimatku dengan sebuah senyuman tipis. Aku tidak habis pikir, lelaki yang terlihat pendiam sepertinya, begitu saja melesakkan beberapa pertanyaan dengan cepatnya padaku.

      “Maaf, ya. Mungkin pertanyaannya terlalu banyak.” Diapun tersenyum.

      “Kamu suka buku jenis apa?” Aku bertanya lagi.

      “Aku suka membaca buku biografi tokoh-tokoh dunia. Aku tidak mempedulikan latar belakang tokoh-tokoh itu, namun aku yakin, mereka sangat berpengaruh bagi dunia ini. Maka mereka bisa terkenal di zaman ini sekalipun. Kamu?”

      “Kita berbeda. Aku lebih suka membaca novel atau bacaan santai lainnya.”

      Ia tersenyum sekilas, lalu, "Setelah ini, kita pergi makan, yuk. Kata kamu, kita sudah kesekian kalinya bertemu. Hal itu harus dirayakan, kan?”

      “Hal semacam itu harus dirayakan?” Aku sedikit merasa lucu sampai harus tertawa kecil.

      “Aku adalah seseorang yang sangat menghargai setiap hal. Buat aku, setiap hal itu adalah berkah yang diberikan Tuhan. Hal apapun akan aku hargai. Sekalipun hal buruk atau musibah yang terjadi. Tapi, pertemuan kita bukanlah sebuah musibah, kan?”

      “Baiklah, aku setuju.”

*

      “Kakak! Akhirnya aku bisa melihat lagi kakakku ini tersenyum di depan cermin sambil memoles tipis wajahnya dengan bedak. Akhirnya aku bisa melihat senyuman kakak lagi.” Aku merangkul kakak dari belakang.

      “Jangan berlebihan, ah. Kakak hanya sadar kalau kakak tidak seharusnya terus mengingat hal itu. Kakak iri dengan kamu. Kamu yang selalu tersenyum manis terhadap kehidupan ini. Pada kehidupan yang juga punya sisi buruknya. Sisi buruk yang sudah pernah berhasil kakak rasakan. Yaitu mengambil seseorang yang telah menjadi teman hidup kakak selama lebih dari 7 tahun. Yang menyayangi kakak tanpa henti walau cinta kami mungkin sudah usang dimakan waktu.” Kak Raisa Sylva, begitulah namanya, bercerita sambil terus mengelus kepalaku. Aku sedang berjongkok menghadapnya, menyandarkan pipiku pada kedua kakinya.

      “Syukurlah, kak. Raina sangat senang mendengarnya. Raina sangat merindukan kak Raisa yang seperti ini.” Aku tersenyum tulus menatap kak Raisa.

      “Tapi, kamu mau kemana, Rain? Kok sudah rapi begitu.”

      “Seperti biasa, kak. Ke toko buku.”

      “Oh, kakak antar, ya?”

      “Enggak usah, kak. Kakak di rumah aja, istirahat. Aku sudah telepon taksi, kok.”

      Setelah aku mendengar suara klakson sebuah taksi, aku beranjak berdiri, menciumi kedua pipi kakakku dan bergegas menuju taksi.

      Taksipun melaju ke sebuah toko buku favoritku. Sebuah toko buku yang menjadi saksi aku dan Galaxy saling mengucap nama satu sama lain, sembari berjabat tangan. Sebuah toko buku yang menjadi saksi bisu tatapan tajam antara kedua pasang bola mata kami. Sebuah toko buku yang mengakrabkan kami berdua. Bahkan, sebuah toko buku yang mengajak kami berdua untuk datang ke sana lagi hari ini. Tapi bukan karena sebuah pertemuan tak terduga lagi, melainkan karena kami memang sudah membuat janji untuk bertemu disana.

      Menurutnya, mempunyai seorang teman dengan hobi yang sama adalah menguntungkan. Kami bisa memberi informasi satu sama lain. Aku bisa menceritakan kisah-kisah romantic yang berhasil terekam kepalaku dengan baik padanya, juga dia bisa membagi semua pengetahuan mengenai buku-buku biografi yang ia baca. Atau kami berdua bisa juga saling bertukar, saling meminjamkan buku milik kami. Intinya, kami bisa saling berbagi informasi.

      Tapi perlakuannya padaku masih sangatlah biasa. Padahal kita sudah saling mengenal dan menjalin hubungan pertemanan dalam beberapa bulan terakhir ini. Apakah ia tak mempunyai perasaan lebih sedikitpun terhadapku? Apakah aku yang punya perasaan semacam itu terhadapnya? Entahlah. Aku hanya ingin terus, terus, dan terus bersamanya. Hanya bersamanya.

      Sekarang, Galaxy sudah seperti rumahku. Aku menempel bersama dengan bintang-bintang, mars, venus, jupiter, bahkan bumi. Aku telah menjadi sesuatu yang baru di sana. Akupun bisa melihat semua yang menjadi penghuni galaxy dengan begitu jelasnya. Berbinar-binar. Betapa indahnya.

      Hari ini, saat ini, sekarang, aku semakin yakin kalau Tuhan dengan sengaja memberikan beberapa pertemuan itu untukku dan Galaxy. Aku begitu terbuai, begitu terlena, dengan semua ini.

      Bahkan setelah lebih jauh mengenalnya, mengenal dirinya, mengenal Galaxy, aku semakin dibuatnya jatuh cinta. Lelaki yang pada awalnya aku pikir seorang yang pendiam, ternyata tidak sependiam itu. Bahkan sangat menyenangkan jika diajak mengobrol.

      Tapi, dia memperlakukanku sangat biasa. Seperti memperlakukan seorang teman. Tidak ada sedikitpun hal spesial atau semacamnya. Tapi mungkin saja dia masih malu-malu atau masih ingin meyakinkan perasaannya. Mungkin juga, aku hanya perlu menunggu sedikit lagi untuk sesuatu yang indah itu. Sesuatu yang aku tunggu-tunggu itu. Iya, mungkin sedikit lagi. Mungkin Galaxy masih berusaha untuk meyakinkan perasaannya. Lalu suatu saat nanti, Galaxy akan menyatakannya padaku, dan kami berdua hidup bahagia selamanya.

*

      “Galaxy!!” teriakku tidak percaya.

      “Raina!!” Galaxy berteriak sama kuatnya denganku.

      Aku merangkulnya begitu saja. Galaxy terdiam.

      “Ternyata kita satu kampus, ya? Semester berapa kamu?” tanya Galaxy.

      “Iya! Aku semester 4. Kamu?”

      “Semester 8. Sebentar lagi lulus. Amin, amin, amin.” Galaxy menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan miliknya, sambil mengamini kelulusannya.

      “Senior, dong? Ciyeeeeeh.” Aku menggoda Galaxy.

      Galaxy tertawa renyah, lalu, “Aku nggak nyangka, lho,  kita satu kampus,” kata Galaxy di sela-sela tawanya.

      “Apalagi aku, Gal!”

      “Kantin, yuk! Aku baru beli buku. Tapi aku beli buku genre kamu. Yang cinta-cintaan gitu deh,” katanya sembari berjalan menuju kantin. Akupun berjalan di sampingnya.

      “Ceritanya udah pindah genre, nih?”

      “Enggak-lah. Tapi bikin sebuah variasi itu, bagus, kan?”

      “Setuju, deh, sama kamu.” Kami tertawa senang.

      Tak kusangka, bahkan Tuhan memberikan kami tujuan yang sama. Kami berkuliah di jurusan yang sama, jurusan arsitektur. Itu artinya, kami ingin menjadi sesuatu yang sama. Kami suka hal yang sama. Kami ingin bekerja atau menjadi pekerja di bidang yang sama. Betapa indah rencana yang Tuhan berikan ini…

*

      “Gal, kok nggak bilang-bilang, sih, mau kesini?” Aku kaget melihat Galaxy yang begitu saja sudah berada di rumahku. Berdiri di beranda rumahku dan berbincang dengan kak Raisa.

      Mereka hanya menatapku dengan tatapan kaget tanpa bersuara. Kami hanya saling tatap-menatap dalam beberapa saat.

      “Kamu kenal Galaxy, dek?” tanya kak Raisa.

      Aku terdiam sejenak. Berpikir.

      “Oh, jadi kalian sudah saling kenal? Aku nggak perlu kenalin lagi, dong,” kataku.

      “Kalian kakak-beradik?” tanya Galaxy yang akhirnya membuka suara setelah beberapa saat terdiam.

      Aku hanya mengangguk penuh semangat.

      “Bagus bnaget, dong! Dia teman baik aku lho, Rais.” Galaxy merangkulku dengan tangan kanannya.

      Kak Raisa hanya tersenyum manis. Manis sekali. Seakan kakakku telah benar-benar kembali. Kembali dari perang melawan rasa traumanya. Perang melawan masa lalu.

      Sekitar 2 tahun yang lalu, kak Raisa sedang senang-senangnya, sedang ceria-cerianya untuk mempersiapkan sebuah pernikahan dengan seorang pria yang telah menemani hari-harinya selama kurang lebih 7 tahun. Tidak usah ditanya lagi. Kak Raisa begitu sangat mencintainya. Tapi takdir berkata lain. Takdir merenggutnya dari pelukan kakakku tersayang. Ia pergi keluar negeri untuk suatu pekerjaan, dan tak pernah kembali lagi. Ia mengalami kecelakaan hebat di sebuah negara, di bagian selatan Amerika. Mobil yang dikendarainya benar-benar hancur. Dan orang yang telah merajut mimpi-mimpi indahnya bersama kak Raisa itu meninggal seketika di tempat kejadian perkara. Bahkan kak Raisa tidak sempat lagi melihat wajahnya untuk terakhir kalinya. Jasadnya sudah tidak memungkinkan lagi untuk dibawa kembali ke Indonesia. Maka keluarganya sepakat untuk memakamkannya saja di sana.

      Kak Raisa begitu terpukul. Sangat terpukul. Hatinya begitu sakit. Bagai ditusuk-tusuk jarum yang berbentuk kecil tetapi dalam jumlah yang sangat banyak. Sakit. Sejak hari itu, kak Raisa sudah lupa bagaimana caranya mengukir senyum dan menjalani hidupnya seperti biasa lagi. Dia benar-benar terpukul.

      “Kamu sudah cerita?” tanya kak Raisa. Entah bertanya pada siapa.

      “Belumlah. Aku aja baru tahu hari ini kalau Raina-lah seorang adik yang sering kamu ceritakan itu,” jawab Galaxy.

      “Maksudnya apa?” Akhirnya aku angkat bicara.

      “Rainaku, jadi, aku dan kamu akan menjadi… maksudku, kamu akan menjadi adik iparku!” Galaxy teriak bahagia, lalu menatap wajah kak Raisa dan memberinya senyuman lebar.

      Jantungku berdetak kencang. Lebih kencang. Lebih kencang lagi. Seluruh organ tubuhku seakan berhenti melakukan aktivitasnya kecuali jantung. Tubuhku mematung. Wajahku memucat. Hanya menatap datar ke depan. Apa yang baru saja aku dengar? Galaxy? Kak Raisa?

      “Jadi, Galaxy adalah alasan di balik kembalinya senyuman kakak?” Aku bertanya pelan. Mataku hanya lurus tertuju pada mata kakak. Aku tidak menatap Galaxy lagi. Aku bahkan tidak sudi menatap mata Galaxy lagi. Aku tidak sanggup. Aku tidak mau tahu apapun tentangnya dan matanya lagi. Aku hancur sehancur-hancurnya.

*

      Aku memutuskan untuk tetap menyimpan perasaan yang dalam ini terhadap Galaxy. Aku memutuskan untuk diam. Aku memutuskan untuk menikmati rasa ini seorang diri. Bagaimana bisa aku sanggup menghancurkan kebahagiaan penyemangat hidupku, kakakku, kak Raisa. Bagaimana bisa aku membongkar seluruh perasaanku terhadap Galaxy dan melihat kakak tersayangku kembali ke hari-hari kelamnya? Bagaimana bisa seorang adik yang sangat menyayanginya melakukan semua hal itu?

      Aku memutuskan untuk terluka sendiri. Aku memutuskan untuk menahan sakit ini seorang diri hingga waktunya rasa sakit ini bosan dan pergi begitu saja meninggalkanku. Aku memutuskan untuk diam. Diam dalam kata.

      Kak Raisa sudah pernah merasakan betapa hancur hidupnya, betapa hancur hari-harinya, dan betapa hancur hatinya. Kak Raisa sudah melewati semuanya. Mungkin saja sekarang adalah giliranku. Giliranku untuk merasakan semua yang pernah mendera kak Raisa. Mungkin, agar aku tahu bagaimana rasanya. Aku hanya bisa berusaha ikhlas. Berusaha tersenyum di atas kepedihan hatiku sendiri. Memalsukan semua yang kasat mata.

      Tapi aku hanyalah seorang manusia biasa. Rasa sakit itu nyata aku rasakan. Menusuk-nusuk relung hatiku yang terdalam. Hingga hatiku menjerit-jerit dalam tangis. Mungkin aku akan berusaha mengikhlaskannya. Tapi belum sekarang. Luka di hatiku masih melebar dengan darah yang masih mengalir deras. Aku tidak sanggup untuk harus melihat Galaxy, mimpiku, dan kak Raisa, hidupku. Mimpi dan hidupku bertukar sebuah cincin yang menjadi lambang cinta mereka.

      Aku putuskan untuk tetap berada di sini. Untuk tetap berdiri di sini, di toko buku ini entah sampai kapan. Setidaknya sampai hatiku merasa cukup tenang dan cukup kuat untuk menyaksikan semua hal menyakitkan itu.

      Aku hanya memandangi sebuah buku yang ada di dalam genggamanku tanpa berniat untuk membuka atau membacanya. Aku sedang didera perasaan bimbang.

      "Brak!!!" Seseorang menabrakku. Sebuah buku yang kupegangpun terjatuh ke lantai.

      “Ini bukumu. Maaf, ya,” katanya sembari memberikan buku yang terjatuh tadi padaku.

      Tanpa berkata apapun, aku mengambil buku itu dari genggamannya. Iya tersenyum tipis padaku.


(((CERPEN)))