Jumat, 29 Agustus 2014

Seharusnya...

         21 tahun telah berlalu sejak hari pertamaku menatap dunia. Namun, sampai pada saat ini, entah hal mana yang adalah cita-citaku yang telah kujadikan nyata. Rasanya belum ada. Ya, belum ada.
Banyak sekali keinginan, harapan, serta mimpi yang berkecamuk di hati dan kepalaku. Saling meronta-ronta bagaikan seorang yang kelaparan, namun tiada yang mengindahkannya. Tapi memang seharusnya begitu. Siapa yang lapar, dialah yang berkewajiban mengisi perutnya sendiri. Bukan orang lain. Sama sekali bukan orang lain.
         Mungkin begitu pula keinginan, harapan, serta para mimpi bekerja. Bukan untuk diindahkan oleh orang lain, melainkan si pemiliknya.
         Kesempatan. Mungkin itulah yang diharapkan untuk menjadi titik temu dari cita-cita dan jiwa yang ingin mewujudkannya. Namun bukankah kesempatan bukan untuk ditunggu, melainkan untuk diciptakan? Entahlah. Aku pun begitu. Ingin mewujudkan cita-cita, namun tidak berbuat apa-apa. Hanya termangu menunggu sang keajaiban.
         Itu mimpiku, Ini pun mimpiku. Namun tiada dari 'itu' dan 'ini' yang berhasil kuwujudkan sampai saat ini. Orang-orang yang lebih muda di luar sana yang telah berhasil mencatat manis mimpi-mimpi mereka, selalu menyentil relung hatiku. Tidak. Mereka tidak hanya menyentilnya, namun menamparnya keras. Tapi entah tamparan macam apa yang bisa menjadi pemacu diri ini untuk mengindahkan keinginan pribadi yang ada di dalam hati ini. Entahlah. Selalu begitu.
         Satu yang hampir berhasil kuukir dalam ingatanku, ingatan orang lain, serta ingatan mereka yang meremehkannya. Namun, sesuatu hal terjadi dan berhasil mengubur mimpi itu dalam-dalam. Bahkan lebih dalam dari sebelumnya. Bayangkan saja, persiapan sudah dilakukan dan begitu saja semuanya berakhir tanpa hasil. Entah kapan lagi kesempatan semacam itu akan datang menghampiriku. Aku benar-benar mengetik kalimat terakhir tadi dalam tangis yang bisu. Entah kapan, entah kapan, dan entah kapan. Kupikir, setidaknya akan ada satu yang berhasil kuwujudkan. Namun tidak. Sama sekali tidak. Entahlah.

Kamis, 07 Agustus 2014

Edelweis-ku

Mimpi itu, tak pernah sedikitpun menghianati benakku sampai saat ini.

Selalu menyatu dengan aliran darah.

Bagaikan sebuah kereta api, mimpi itu tak pernah berhenti berlari dalam otakku.

Bagai bunga-bunga indah yang tak pernah menghianati musim semi.

Bagai mentari yang terik saat musim panas.

Bagai daun-daun kering berwarna oranye yang tak pernah berhenti mendekorasi musim gugur.

Bagai salju putih nan lembut yang tak pernah absent saat musim dingin menjelma.

Bagai angin yang tak henti-hentinya menyejukkan hati.

Terbingkai indah dalam sebuah harap.

Dan akan terus seperti itu sampai kedua bola mata ini menyaksikannya.

Sampai kedua tangan ini menyentuhnya.

Sampai bibir ini mengecupnya.

Sampai jantung ini berdebar karenanya.

Sampai kaki ini berpijak padanya.

Sampai diri ini berhasil merasakannya.

Begitulah mimpi itu terus berada di dalam sini.

Di suatu tempat paling indah di dalam diri setiap manusia.

Sesuatu yang tanpa henti bergulir

Aku belum pernah tahu, mengapa ada sesuatu yang disebut waktu?
Aku belum pernah tahu, mengapa waktu selalu berubah sifat.
Kadang ia baik, lalu ia mendatangkan hal baik bahkan berkesan bagi setiap manusia.
Akan tetapi terkadang, ia malah merenggut kebahagiaan setiap manusia.
Mengapa manusia harus menunggu untuk sebuah 'waktu'?
Mengapa ada kutipan yang berbunyi, "Biar waktu yang akan menjawab"?
Mengapa manusia mempercayai sesuatu yang tidak berpendirian? Sesuatu yang dengan gampangnya berubah sifat. Berubah kepribadian.

KARENA kita tidak pernah memanfaatkan waktu yang ada.
KARENA waktu yang dibuang, waktu yang terbuang, atau entah apa, sudah terlalu banyak. Begitu banyak. Banyak sekali.